Gizi dan Politik

Oleh: Syamsudin, M.A.

Program “Makan Bergizi Gratis” kini telah berjalan. Sebagai awalan tentu masih banyak tantangan yang muncul. Namun, jika terus dilakukan perbaikan, sangat diharapkan program tersebut menjadi kesadaran yang mengubah perilaku public, terutama terkait pentingnya asupan gizi yang cukup dan baik, demi menjamin kaulitas tubuh, kualitas pribadi dan pada gilirannya kualitas bangsa secara keseluruhan. Pada masa depan, telah dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi pada bangsa, ketika manusia Indonesia penuh kapasitas, yang membuatnya mampu mengubah seluruh potensi menjadi kekuatan yang dasyat yang membuat nasibnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dalam situasi yang demikian, tentu dibutuhkan kualitas politik yang juga baik. Karena itu, perlu dipikirkan gizi yang baik untuk politik kita.

Politik.

Politik merupakan pilar utama dalam kehidupan bernegara, yang menentukan arah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, sebagaimana tubuh manusia yang membutuhkan gizi seimbang agar tetap sehat, sistem politik juga memerlukan asupan nilai, prinsip, dan kebijakan yang berkualitas agar tetap berjalan dengan baik. Politik yang kekurangan “gizi” dapat mengalami berbagai “penyakit” seperti korupsi, populisme kosong, dan otoritarianisme, yang berakibat pada melemahnya demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.

Apa itu gizi bagi politik. Beberapa dapat disebutkan, antara lain: Pertama, integritas, yang berfungsi seperti laksana protein dalam tubuh manusia, membangun kepercayaan dan legitimasi sistem politik. Tanpa integritas, politik menjadi rapuh dan rentan terhadap korupsi. Kedua, transparansi dan akuntabilitas, yang berperan laksana aliran darah dalam tubuh, memungkinkan informasi mengalir dengan baik antara pemerintah dan masyarakat.

Ketiga, partisipasi publik, yang mungkin dapat dibayangkan seperti serat dalam makanan, memastikan proses demokrasi berjalan lancar tanpa tersumbat oleh kepentingan oligarki. Dan keempat, keberlanjutan dan keadilan sosial, yang berfungsi seperti vitamin yang memperkuat sistem imun, memastikan bahwa kebijakan berpihak pada kesejahteraan jangka panjang, bukan sekadar kepentingan sesaat.

Keempat hal tersebut, hanya sebagian dari kebutuhan “kecukupan gizi” yang lebih luas pada tubuh politik bangsa. Tentu masalah ini menjadi tantangan kita bersama, sebagai bangsa. Meskipun dunia politik sendiri memiliki kewajiban lebih untuk melakukan tindakan yang memungkinkan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, agar politik sepenuhnya merupakan representasi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Kampus.

Apa yang tidak diinginkan adalah politik yang kurang gizi. Pada titik inilah, kita memandang bahwa kampus, semestinya dapat memainkan peran strategis. Mengapa? Karena tridharma, pada khususnya dharma ketiganya, memberikan dasar pembenar untuk ambil bagian mempersiapkan masyarakat masa depan, dimana politik menjadi bagian daripadanya.

Beberapa aspek yang bisa dipertimbangkan adalah: Pertama, peran edukasi public, yakni mengembangkan pendidikan politik kewarganegaraan, melalui berbagai saluran yang ada. Pada intinya adalah meningkatkan kualitas literasi politik masyarakat.

Bentuk kongkritnya, antara lain: (i) literasi politik, yaitu pendidikan tentang sistem pemerintahan, proses legislasi, dan hak serta tanggungjawab warga negara; (ii) penyebaran informasi berbasis data, untuk melawan disinformasi dan propaganda politik yang menyesatkan; dan (iii) kajian yang melibatkan akademisi, masyarakat, dan pembuat kebijakan agar terjadi dialog yang lebih terbuka dan berbasis fakta.

Kedua, kritik, baik yang bersifat akademik, maupun yang bersifat sebagai opini publik. Sebagai pelengkap dan penguat dari pendidikan politik, kampus dengan kebebasan akademiknya, dapat memainkan peran sebagai “pengawas kebijakan” dan menyampaikan kritik berbasis riset. Suatu evaluasi kebijakan adalah langkah membantu publik untuk mengukur keberhasilan program berbasis data.

Langkah lain yang bisa dilakukan adalah mendampingi masyarakat dalam melalukan mendorong perubahan kebijakan. Upaya yang demikian ini, yang meskipun saat ini kurang populer, ke depan akan menjadi peran yang sangat baik, karena dengan demikian kampus benar-benar menjadi bagian dari kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Ketiga, metode ilmiah, yakni mendorong agar proses pengambil kebijakan lebih berbasis sains. Adapun peran kongkrit yang dapat dikembangkan adalah (i) menyediakan data dan analisa hasil riset; (ii) eksperimen sosial atau program rintisan, untuk menguji efektivitas kebijakan sebelum diterapkan secara luas; dan (iii) pendekatan interdisipliner, dalam merancang kebijakan yang lebih komprehensif dan bermakna.

(Artikel ini telah terbit di harian Kedaulatan Rakyat, 11 Februari 2025)

Syamsudin, M.A.
Dekan Fisipol Universitas Proklamasi 45

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *