Pernahkah anda menyelenggarakan mudik? Maksudnya, pernah anda berposisi sebagai pemudik? Atau anda bukan masuk dalam kategori pemudik? Mungkin anda termasuk pribadi yang sepanjang hayat tetap tinggal di kampung halaman? Jika anda masuk dalam kategori tersebut, maka bayangkan bagaimana anda menyambut kedatangan yang mudik, dan sebaliknya, jika anda masuk dalam kategori pertama, maka rasakan pengalaman budaya tersebut, agar bisa menemukan makna di balik peristiwa rutin setiap tahun.
Kota
Mengapa orang harus meninggalkan kampung halaman dan mengadu nasib di negeri orang? Atau mengapa orang desa harus pergi jauh ke kota? Apakah desa yang berubah, atau karena kota yang menjanjikan lebih dari apa yang bisa dijanjikan desa? Jika demikian, apa sebenarnya janji kota?
Apabila kita masuk ke dalam hidup nyata orang kota, maka mungkin bisa diperoleh pengalaman kebudayaan yang sangat unik. Mereka yang datang dari desa jelas harus menyesuaikan diri. Bukan kota yang dipaksa mengikuti kebiasaan desa, namun sebaliknya. Orang desa harus mengubah dirinya. Mulai dari tutur kata, tingkah laku, pakaian, dan bahkan cita rasa.
Apa yang terjadi selanjutnya? Perubahan tidak hanya fisik, melainkan juga cara pikir dan mungkin rasa pikiran. Secara sederhana orang desa telah bertransformasi menjadi orang kota. Suatu transformasi yang tidak disadarinya. Dan baru akan dimengertinya ketika kembali ke kampung halaman, mudik.
Mudik
Mengapa harus mudik? Yang di kampung tentu memanggil-manggil, mengharapkan kehadiran yang di kota. Secara “verbal” dikatakan bahwa kehadiran yang di kota adalah penting. Suatu proses budaya. Suatu tanda, bahwa ikatan tetap terjalin. Meskipun telah jauh merantau, tetapi kampung lah tempat merasa senang. Demikian itu makna dari lagu Ibu Sud.
Namun demikian itulah yang nyata-nyata berlangsung? Sebagian mungkin saja begitu. Namun sebagian yang lain mungkin berbeda. Mudik sebenarnya adalah kesaksian utama bahwa jarak kebudayaan telah terbentuk. Tidak ada cara yang lain untuk mengatasi jarak kecuali dengan pulang atau kembali, dan tinggal selamanya di kampung. Namun tentu hal itu bukan pilihan yang diharapkan. Baik bagi orang di kampung maupun buat di pemudik.
Mengapa? Karena yang di kota telah bertransformasi. Cita-cita telah bergeser. Cita rasa juga telah berubah. Artinya, tidak mungkin pulang kampung. Demikian juga dengan yang di kampung. Mereka menyadari bahwa lapangan kerja tidak mudah. Jika yang di kota kembali, bukankah itu sama artinya akan menambah jumlah pengangguran di desa? Rasa “malu” juga akan bersarang pada keluarga.
Karena itulah mudik menjadi jalan utama yang baik. Mudik artinya kembali untuk sementara waktu. Mudik artinya pergi ke kampung dalam masa tertentu. Dan setelahnya kembali lagi ke kota. Jadi, dapat dikatakan bahwa mudik adalah jembatan dari jarak yang telah terbentuk. Itulah sebab, mengapa mudik adalah kesaksian bahwa jarak telah terbentuk.
Jeda Kebudayaan
Mereka yang di kota tentu menyadari bahwa jarum jam bergerak dengan kecepatan yang berbeda. Orang di kota, merasa waktu lebih cepat dibandingkan mereka yang ada di desa. Mengapa? Karena setiap hari diburu kerja. Karena hanya dengan kerja keras kekayaan bisa dihasilkan. Mungkin hal ini berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor pertanian.
Keadaan itu membuat yang di kota seperti terdera target dan terasa hidup dalam ketegangan terus-menerus. Tidak tersedia waktu rileks, kecuali hari libur panjang. Belum lagi target-target tempat kerja yang tidak jarak menerjang hari libur. Dan kesemuanya tidak bisa ditolak. Panggilan kerja melampaui agenda apapun, bahkan keperluan keluarga.
Karena itulah ketika ada kesempatan untuk meninggalkan “dunia kerja”, maka kesempatan tersebut laksana jeda kebudayaan. Yang dimaksud adalah adanya kesempatan untuk sementara waktu meninggalkan kesibukan kota, dan melepas kepenatan kota yang bertemu dengan melepas rindu kepada kampung halaman.
Kampung halaman dengan demikian dapat bermakna sebagai arena “refresh” atau arena penciptaan kembali daya kreasi dan spirit yang mungkin tergerus. Apa yang dibawa sebagai oleh-oleh, baik panganan kota, uang atau harga benda lain, mungkin dapat menjadi “kredit” moral bagi yang mudik. Dan bukan hanya itu, segala cerita dapat meningkatkan rasa bangga, yang diharapkan ikut memberi senang keluarga.
Namun apa yang mungkin luput dari perhatian adalah bahwa momen jeda kebudayaan adalah juga momen transmisi budaya. Yang dari kota, dengan superioritasnya telah melakukan penetrasi lebih jauh. Lebih ketika dia mampu menawarkan lapangan kerja kepada keluarga atau tetangga. Dengan itu, desa telah menjadi masa lalu. Atau desa telah bukan menjadi masa depan.
Selamat mudik. Semoga selamat di jalan dan bertemu rasa senang bersama keluarga dan handai tolan. [Desanomia – 24.3.25 – TM]