Banyak kalangan yang menyatakan bahwa demokrasi, telah mengalami pendangkalan. Yang bekerja bukan substansinya, melainkan (hanya) prosedurnya. Politik prosedural pada akhirnya memimpin pergerakan rakyat. Hasilnya tentu bukan apa yang dibayangkan, atau apa yang menjadi harapan, malah sebaliknya. Sejak beberapa dekade ini problem yang berkembang di tengah masyarakat belum bergeser, terlalu jauh, kendati desrupsi teknologi telah memberi guncangan baru, dan potensinya untuk memperburuk keadaan.
Problem utama yang dimaksud adalah
- krisis demokrasi itu sendiri – sebagian pihak memberi predikat kemunduran demokrasi, yang dalam praktek memperlihatkan suatu kecenderungan dimana “politik uang” justru makin dominan atau elemen kunci bagi penyelenggaraan demokrasi itu sendiri. Peristiwa politik seperti pemilu, menjadi saksi utama dari bekerjanya politik uang.
- krisis keadilan – sebagai akibat dari demokrasi yang makin memarjinalkan rakyat (sang demos), maka dengan sendirinya daya tawar rakyat sangat rendah. Rakyat seakan-akan sebagai obyek demokrasi, yang (hanya) berhak menerima bantuan, dengan ragam versinya. Rakyat yang seharusnya merupakan tenaga sejarah yang menciptakan kemakmuran, justru menjadi korban dari tidak meratanya sumber-sumber kemakmuran.
- krisis ekologi – yang kini makin terasa dan mengancam kelangsungan hidup rakyat. Bencana yang bersumber dari eksploitasi dan tata kelola sumberdaya alam, telah menjadi salah satu faktor kunci dimana hidup rakyat dalam ketidakamanan ekologi. Gerak pembangunan ekonomi makin mengabaikan akar keberadaanya, yakni realitas ekologi.
Secara umum, dapat dikatakan pula demokrasi konvensional yang menjadi kerangka dominan tata kelola modern —dengan fokus pada representasi elektoral, supremasi hukum, dan efisiensi administratif— makin kehilangan daya hidupnya dalam menghadirkan keadilan substantif, baik secara sosial maupun ekologis. Di banyak tempat, kekuasaan mengambang jauh dari kenyataan hidup masyarakat. Pemerintahan menjadi entitas eksternal yang hadir melalui proyek, regulasi, dan logika pembangunan yang tidak menyentuh nalar hidup warga yang diperintah.
Dalam konteks local (desa), gejala ini terlihat secara tajam dalam relasi antara negara dan desa. Desa, yang secara historis dan kultural merupakan entitas dengan ruang hidup yang khas, yang telah ada sebelum negara berdiri, perlahan-lahan direduksi menjadi unit administratif yang harus menyesuaikan diri dengan sistem birokrasi negara. Memang negara menyatakan mengakui, menghormati dan akan mengingati keberadaan desa. Namun, tentu saja yang utama bukan teks dalam dokumen, melainkan kinerja riil dari negara. Hukum asli (adat), yang telah ada sebelum ada hukum negara, sistem pengambilan keputusan kolektif, serta pengetahuan lokal tentang pengelolaan ruang dan sumber daya, terdesak oleh birokrasi dan kerja-kerja teknokratik, yang datang dari luar, dan seragam bekerja di seluruh desa – walaupun keragaman dikatakan dilindungi dan menjadi dasar dalam pembentukan ketentuan.
Ada tiga lokasi yang dapat menjadi arena refleksi, yang dapat dikatakat ikut bertanggungjawab atas marjinalisasi tersebut: Pertama, tentu adalah keberadaan hukum negara itu sendiri. Walau hukum pada dirinya menyatakan komitmen substantif, namun tidak terhindarkan bahwa hukum berlaku nasional, dan dengan demikian terjadi pula suatu kesamaan di semua tempat. Kenyataan ini merupakan hal yang niscaya dalam kerangka negara. Apakah negara dapat membuat pengecualian? Tentu saja dimungkinkan. Akan tetapi, suatu pengecualian memiliki keterbatasan yang melekat, yakni tidak berlaku umum, tetapi hanya untuk beberapa kasus tertentu.
Kedua, dalam hukum tidak terelakkan ada definisi (hukum). Suatu pengertian yang nampak hanya sebagai suatu definisi dalam kerangka aturan tersebut. Namun, dalam praktek definisi tersebut, menjadi rujukan pemikiran. Ketika desa ditanya, apa itu desa? Maka tentu tidak ada lagi kebebasan dalam membangun makna. Kata desa yang semula, mungkin saja berisi makna yang berbeda-beda, sesuai dengan realitas sosio-ekologi setempat dan pengalaman hidup warga, dengan adanya definisi hukum tersebut, mau tidak mau menjadi seragam. Hal ini tentu bisa bermakna lebih jauh, yakni desa makin tercerabut dari kenyataan hidupnya.
Ketiga, sangat wajar jika pusat hadir di desa dalam format pemerintahan desa. Bagi desa sendiri, jika melihat keberadaan pemerintahan desa dalam kerangka negara, tentu bukan hal yang aneh atau mengada-ngada. Sesuatu yang niscaya dan normal. Memang warga desa diberi hak untuk memilih pemimpinnya. Mungkin saja dalam proses pemilihan tersebut terdapat harapan, keluhan dan segala yang terkait dengan perjuangan hidup warga. Artinya, sangat mungkin proses pemilihan menjadi proses yang sengit dan keras. Namun, yang sangat jarang dipahami oleh warga adalah bahwa struktur pemerintahan desa adalah struktur baku yang berlaku nasional. Dan kewenangan desa ditentukan oleh pusat, dan bukan hasil dari proses politik di desa tersebut. Jadi, apapun problem yang ada di desa, akan diurus dengan “mesin yang sama”.
Dari ketiga Lokasi tersebut, dapat dikatakan bahwa desa yang semula merupakan entitas yang bersifat organik – tumbuh dalam ruang sosio-ekologi setempat, seiring waktu dan peristiwa, telah menjadi entitas yang makin berjarak dengan kenyataannya sendiri. Sebagian pihak menyebut situasi tersebut dengan banyak cara dan bukti. Ada yang menunjukkan meningkatnya arus urbanisasi, dan bahkan data menunjukkan bahwa pada tahun 2050, jumlah penduduk kota akan dominan. Keadaan tersebut, digambarkan sebagai situasi dimana desa telah tidak lagi menjadi harapan, atau tidak lagi dipandang sebagai masa depan oleh angkatan barunya. Masa depan ada di luar desa, dan desa sendiri dipandang sebagai masa lalu.
Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, dan dengan semangat menemukan jalan keluar yang berbasis pada kenyataan sosio-ekologi setempat, hendak ditawarkan suatu pemikiran, yang pada intinya: (1) bahwa dalam kerangka politik demokrasi, sang demos bukan lagi dipandang sebagai subyek lepas yang tidak “bersarang”. Sebaliknya, hendak ditegaskan bahwa “sang demos” secara riil bersarang di desa. Secara demikian, “sang demos” dipahami sebagai entitas yang memiliki “kehendak” (“bebas untuk”) di ruang abstrak, melainkan entitas dengan “kehendak” yang berakar dalam ruang sosio-ekologi setempat. (2) bahwa karena demos bersarang di desa, maka tentu saja “kratos” bukan lagi suatu system yang diletakkan di desa (seperti halnya logika UU No.5 tahun 1979), melainkan system yang tumbuh dalam ruang kongkrit dan otentik. Kratos dengan sendirinya tunduk pada nalar kehidupan setempat: nalar sosial yang menjelma dalam relasi kebersamaan, kepemimpinan kolektif, dan musyawarah; serta nalar ekologis yang menjelma dalam tata ruang, pengelolaan sumber daya, dan ritme hidup yang selaras dengan alam.
Itulah demokrasi organik. Konsepsi ini merupakan proposal pembaruan untuk membayangkan kembali demokrasi dari bawah, dari ruang-ruang yang selama ini dianggap perifer, tetapi justru menyimpan sumber kebijaksanaan dan ketahanan hidup. Ia adalah usaha untuk menggeser titik berat demokrasi dari prosedur ke kehidupan; dari negara ke komunitas; dari abstraksi hukum ke konkretitas tanahair, dan relasi sosial (bersambung). [Desanomia – 10.24 – TM]
Catatan: gagasan demokrasi organik merupakan pemikiran yang menyertai konsepsi desa cukup pangan. Dalam eksplorasi gagasan desa cukup pangan, makin disadari bahwa keadaan sekarang ini sebenarnya merupakan himpunan dari berbagai problem yang membentuk struktur yang menempatkan desa menjadi entitas marjinal. Pemikiran ini pada dasarnya datang dari aspirasi ingin menempatkan desa sebagai subyek politik masa depan, terutama untuk menghadirkan daya tahan dalam menghadapi perubahan iklim yang tidak terhindarkan.