Oleh: Untoro Hariadi
Catatan Redaksi:
Untuk memperkaya pemikiran terkait desa, redaksi menurunkan catatan refleksi atas demokrasi yang berjudul “Demokrasi Organik – Dari Demos ke Desa (TM, Oktober 2024) dimuat pada Rabu 26 Maret 2025. Redaksi merencanakan menerbitkannya secara serial, mengingat keterbatasan ruang untuk menampilkan secara utuh. Bagian awal tersebut, ternyata telah mengundang respon. Adalah Dr. Untoro Hariadi memberikan tanggapan berjudul: Catatan Filosofis Tentang “Demokrasi Organik: Dari Demos ke Desa”. Atas tanggapan ini, redaksi membuka kemungkinan bagi perdebatan pemikiran. Dengan semangat memperluas pemahaman tentang desa. (red)
________________________________________________________________________________________________________________
Dalam lanskap politik kontemporer yang seringkali kehilangan jiwanya, artikel tentang Demokrasi Organik (TM, desanomia.id 26 Maret 2025) membuka jendela pada sebuah kemungkinan baru – sebuah paradigma yang mengembalikan demokrasi kepada napas aslinya. Perjalanan pemikiran ini bermula dari diagnosis kritis terhadap praktik demokrasi yang telah terperangkap dalam lilitan prosedural, di mana substansi sejati telah tergantikan oleh mekanisme formal yang hampa makna.
Bayangkan sebuah desa – ruang hidup yang organik, bermakna, dan penuh kompleksitas – yang perlahan-lahan tergerus oleh mesin birokrasi negara. Artikel ini mengungkap proses pencabutan makna di mana desa tidak lagi dipahami sebagai entitas hidup, melainkan sekadar unit administratif yang dapat diatur dengan logika seragam. Politik uang telah menggantikan dialog demokratis, di mana suara rakyat dapat “dibeli” dan “diatur” seperti komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Krisis yang dihadapi tidak sekadar krisis prosedural, melainkan krisis eksistensial. Demokrasi telah kehilangan koneksinya dengan realitas hidup. Rakyat – sang demos – tidak lagi dipandang sebagai subjek yang memiliki kehendak, melainkan sekadar objek dari sistem yang tidak manusiawi. Mereka termarjinalkan, tidak memiliki daya tawar, dan pada akhirnya menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Kritik filosofis yang diajukan membongkar arsitektur kekuasaan modern. Hukum negara yang berlaku secara nasional, definisi administratif yang seragam, dan struktur pemerintahan yang kaku telah mencabut keberagaman pengalaman lokal. Desa tidak lagi memiliki kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Pengetahuan lokal, hukum adat, dan sistem pengambilan keputusan kolektif terdesak oleh logika teknokratik yang datang dari luar.
Demokrasi Organik (DO) yang diusulkan bukanlah sekadar kritik, melainkan sebuah proposisi rekonstruksi radikal. Ia mengajak kita untuk membayangkan kembali demokrasi dari bawah, dari ruang-ruang yang selama ini dianggap perifer namun sesungguhnya menyimpan kebijaksanaan, pengetahuan dan ketahanan hidup. Demos tidak lagi dipahami sebagai abstraksi lepas, melainkan sebagai entitas yang “bersarang” dalam ruang sosio-ekologis tertentu.
Gagasan kekuasaan (kratos) pun dimaknai ulang. Ia bukan lagi sistem eksternal yang diimplemen dari atas (top-down), melainkan sesuatu yang tumbuh dari nalar sosial dan ekologis setempat. Kepemimpinan kolektif, musyawarah, dan harmoni dengan alam menjadi basis dari praktik demokratis yang sesungguhnya.
Proposisi ini memiliki dimensi filosofis yang mendalam. Ia adalah undangan untuk melakukan “de-proseduralisasi” politik, mengembalikan demokrasi dari prosedur ke kehidupan, dari negara ke komunitas, dari abstraksi hukum ke konkretitas tanah air. Ia mengajak kita untuk melihat bahwa demokrasi sejati tidak dibangun di ruang-ruang steril parlemen, melainkan di kebun-kebun, ladang-ladang, sawah-sawah, dan ruang-ruang hidup konkret di mana manusia saling berbicara, saling mendengar, dan saling memahami.
Catatan akhir penulis membuka dimensi yang lebih mendalam dari gagasan Demokrasi Organik (DO). Konsep ini bukanlah sekadar teori abstrak, melainkan respons konkret terhadap marjinalisasi desa dalam arsitektur kekuasaan modern. “Desa cukup pangan” tidak hanya berbicara tentang ketahanan pangan, melainkan tentang ketahanan eksistensial – bagaimana komunitas lokal dapat membangun kembali kedaulatannya di tengah kompleksitas krisis global.
Perubahan iklim membuka ruang kesadaran baru: bahwa masa depan tidak terletak pada teknologi canggih atau sistem global, melainkan pada kemampuan komunitas untuk merancang ulang hubungannya dengan alam, dengan cara memposisikan desa bukan sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek politik yang memiliki kearifan dan daya tahan intrinsik. Dengan demikian, Demokrasi Organik (DO) adalah undangan filosofis untuk membongkar struktur marjinalisasi, sekaligus menawarkan epistemologi alternatif di mana pengetahuan lokal, praktik ekologis, dan kedaulatan komunitas menjadi fondasi utama dalam merancang masa depan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Uiversitas Janabadra