Ketika negara, dalam Penjelasan Pasal 18 UUD’45 menyatakan pengakuannya dan penghormatannya pada desa, sebenarnya menyisakan pertanyaan tersendiri, terutama jika dikaitkan dengan konsepsi demokrasi. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka yang menjadi pertanyaan adalah “siapakah itu sang demos”? Apakah demos mendahului demokrasi? Ataukah sebaliknya?
Kita periksa kembali pernyataan negara sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 18 UUD’45: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Keterangan tersebut, secara implisit mengakui bahwa desa telah lebih dahulu dari negara. Artinya, desa bukan hasil konstruksi negara. Bahkan, jika diperbolehkan melakukan eksplorasi pemikiran, sangat mungkin keadaan tersebut juga bermakna sebaliknya, yakni bahwa dalam batas-batas tertentu, desa-desa sesungguhnya ikut mengkonstruksi negara. Jadi, ketika ditanyakan, apakah demos mendahului negara, maka dengan lebih menyakinkan kita akan menjawabnya bahwa memang demos mendahulu negara dan demokrasi.
Untuk memperdalam, kita bisa datang pada teks Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945) dan teks Pembukaan UUD’45 (18 Agustus 1945). Pada teks proklamasi diketahui bahwa bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan, yang secara demikian, bangsalah yang melahirkan kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia”. Adapun teks pernyataan kemerdekaan disampaikan kehadapan public melalui Proklamator Soekarno-Hatta. Pada teks Pembukaan UUD’45, dikatakan: “…, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, ….” Dari dua teks resmi tersebut nampak bahwa sang demos (bangsa) mendahului kemerdekaan dan juga mendahului negara, dan dengan demikian juga demokrasi (kedaulatan rakyat).
Desa
Apabila pandangan tersebut digunakan, maka pertanyaan lebih jauh layak untuk diajukan, yakni siapakah sesungguhnya sang demos itu, atau siapakah sebenarnya bangsa itu? Tidak terhindarkan pentingnya kajian komprehensif untuk menjawab masalah tersebut? Mengapa, karena substansi masalah ini, akan memberikan pengaruh terhadap cara kita melihat negara. Jika benar dan sepenuhnya benar, maka segala pemikiran yang mengarah pada pandangan bahwa negara bersifat otonom, atau negara telah tidak lagi mendengar suara rakyat, merupakan keadaan yang tidak dikenal oleh pandangan tersebut. Negara tidak mungkin terlepas atau negara tidak mungkin bisa melepaskan dirinya dari rakyat, sebagai akar atau sebagai ibu kandungnya.
Dalam semangat untuk ikut mengkaji substansi tersebut, kita hendak mengajukan pandangan lain, yang sebenarnya relevan, namun besar kemungkinan telah “ketlingsut” dalam keriuhan pemikiran tentang demokrasi. Problem yang diajukan adalah apakah sang demos, mengikuti pengertian sebagaimana pemikiran konvensional? Yakni pemikiran yang menempatkan sosok sang demos, sebagai entitas abstrak dan universal. Atau, demos bukan entitas yang bergantung pada ruang-waktu, kultur dan realitas ekologi setempat.
Dengan adanya pengakuan negara pada desa, maka sebenarnya terbuka kemungkinan untuk memahami sang demos, secara lebih unik, yakni bukan entitas yang abstrak, melainkan entitas kongkrit, yang “bersarang” atau “berumah” di desa. Adapun desa dalam pengertian ini bukan sekedar wilayah administratif, melainkan ruang hidup yang ikut menentukan kehidupan didalamnya. Jika pandangan ini bisa diterima maka demos dapat ditransformasikan menjadi desa. Apa implikasi dari transformasi ini?
Demokrasi
Jika demos berumah di desa, maka artinya kratos pun demikian. Pemerintah(an) dalam kerangka ini, bukan lagi dilihat atau dipahami secara konvensional, yang suatu system universal, yang dapat berlaku dimana saja. Dengan menyatakan bahwa “kratos” berumah di desa, maka dengan sendirinya, seluruh mekanisme “kratos” tidak lagi bersifat universal, dan tunduk pada dirinya sendiri, melainkan ada di dalam desa. Hal ini membawa implikasi fundamental, bahwa “kratos” merupakan system yang punya akar, atau system yang menyadari kedudukan di dalam ruang sosio-ekologi setempat. Kratos, dari sesuatu yang umum, menjadi sesuatu yang berdimensi “kesetempatan”.
Sampai di sini, diskusi berpeluang untuk melebar dan mendalam. Sebagai contoh. Apakah pandangan ini dapat menjadi dasar bagi pandangan partikularistik, yang di masa lampau digunakan negara dalam menghalau kritik global atas tindakan koersif yang melanggar hak asasi manusia. Atau, kritik global atas eksploitasi sumberdaya alam, yang dipandang ikut memberikan sumbangan pada akselerasi krisis lingkungan global? Tentu saja. Justru, jika disiplin dalam pemikiran, maka sangat tidak mungkin kratos yang berakar pada realitas sosio-ekologi setempat, akan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan dasar keberadannya. Hendak dikatakan bahwa sebagai pemikiran awal, maka ide kratos yang bersarang di desa sangat perlu mendapatkan porsi perdebatan publik yang menyingkap apa yang masih tersembunyi.
Salah hal yang penting untuk mendapatkan perhatian yang lebih seksama adalah suatu kenyataan bahwa jika demos dan kratos berumah di desa, maka segala pandangan tentang demokrasi (konvensional), amat perlu ditinjau kembali. Sebagai bahan kajian, ada tiga yang perlu untuk dieksplorasi bersama, yakni: Pertama, tentang demos itu sendiri ketika ada di dalam desa. Tentu, desa yang kita rujuk dalam kajian ini, bukanlah desa feodal, atau desa yang tersusun dalam formasi hirarki. Sebaliknya, demos di desa, tidak lagi dipahami sebagai kumpulan individu, tapi jaringan sosial yang saling terikat melalui nilai, adat, dan praktik gotong royong. Demos adalah komunitas terhubung (relasional). Apakah ini sesuai dengan kenyataan, ataukah merupakan aspirasi?
Tujuan
Kedua, tentang tujuan. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan komunitas desa? Apakah kemajuan? Benarkah “ide kemajuan” kompatibel dengan desa, yang berakar pada realitas ekologi setempat? Jika di desa dikatakan tidak mengenal ide kemajuan? Apakah benar demikian? Benarkah desa pada dirinya, atau inheren pada dirinya, terdapat “ide kemajuan”? Ataukah ide kemajuan merupakan sesuatu dari luar, yang kini mungkin telah makin menyebar dan mengisi ruang pikiran dari sang demos?
Mengapa hal ini perlu dikaji dan diperdebatkan? Hal ini mengingat bahwa pada kenyataannya, desa tetap tidak mampu mengikuti atau melayani ide kemajuan. Segala daya upaya desa, tetap dianggap tidak memenuhi target. Bahkan, kini ada sebutan khusus: desa tertinggal. Istilah desa tertinggal berkembang pada awal 90an, dan bahkan telah menjadi proyek negara, melalui IDT atau Inpres Desa Tertinggal. Keberadaan proyek tersebut, jika dikaitkan dengan pernyataan negara tentang keberadaan desa, tentu tidak sepenuhnya tepat. Karena itu, dalam kasus UU No.5 tahun 1979, kita dapat memahami bahwa pada akhirnya negara memberikan koreksi atas apa yang dipandang tidak sesuai dengan jiwa UUD’45.
Apabila benar bahwa ide kemajuan sebenarnya tidak kompatibel dengan desa, karena akan bertabrakan dengan realitas sosio-ekologi setempat, lantas apa yang paling kompatibel? Dengan begitu, apa sebenarnya tujuan desa atau masa depan seperti apa yang menjadi aspirasi terdalam dari desa? Ketika desa menjadi bagian dari negara, apakah telah dalam kesadaran bahwa bagaimana pun aspirasi masa depan desa, tidak mungkin lepas dari tujuan negara. Dan jika mengacu pada Penjelasan Pasal 18 UUD’45, maka seharusnya demikian pula halnya dengan negara. Artinya, negara tidak mungkin menyusun tujuan yang akan membuat desa mengkhianati realitas sosio-ekologinya. Jadi apa sebenarnya tujuan desa: kemajuan atau keberlanjutan?
Musyawarah
Ketiga, mekanisme pengambilan keputusan, atau jika boleh dikatakan: “kinerja politik”. Ketika suatu masalah muncul, dan karena itu dibutuhkan langkah menyelesaikannya, dan dengan itu suatu keputusan diambil, maka yang menjadi pertanyaannya adalah apa yang akan menjadi pegangannya? Lebih jauh dari itu, apa sebenarnya dasar dari penyelenggaraan suatu musyawarah? Apakah musyawarah dimaksudkan agar diperoleh keputusan yang terbaik, sedemikian rupa sehingga kemajuan dapat dicapai? Ataukah, musyawarah dimaksudkan agar keputusan yang diambil menghindari suatu keadaan yang tidak diinginkan? Jadi, musyawarah “untuk mencapai” atau “untuk menghindar”?
Pertanyaan tersebut diakui tidak mudah menjawabnya. Apalagi jika semua pikiran konvensional masih berkuasa penuh. Untuk menjawabnya, dibutuhkan kemampuan untuk mengambil jarak terhadap pemikiran konvensional. Atau, jika boleh digunakan istilah “unlearn”. Mengapa, agar kita bisa melakukan eksplorasi pemikiran secara lebih luas. Dalam konteks memahami musyawarah, yang dikatakan merupakan metode pengambilan keputusan yang unik, kita tetap perlu melihatnya dengan cara yang berbeda. Yang dimaksud adalah suatu terobosan untuk dapat menempatkan musyawarah, bukan hanya peralatan “untuk mencapai” sesuatu keadaan, akan tetapi terbuka kemungkinan bahwa musyawarah adalah peralatan “untuk menghindari” sesuatu.
Pada yang pertama (“mencapai sesuatu”), maka pencapaian menjadi tolak ukur utama, atau menjadi haluannya. Ketika musyawarah menemukan kebuntuan, maka jalan keluar harus ditemukan. Bahkan mungkin jika dengan membuang musyawarah itu sendiri, yakni dengan cara voting. Penggunaan voting ketika keadaan buntu ditemui, menjadi hal yang wajar dan dipandang masuk akal. Karena tidak mungkin proses berlarut-larut tanpa kejelasan. Pada masa yang lampau terdapat contoh, yang memperlihatkan bahwa ketika musyawarah dianggap berlarut-larut, dan dapat membahayakan kelangsungan bangsa, maka tindakan darurat dibenarkan untuk diambil. Yakni dalam peristiwa pembentukan UUD paska pemilu 1955, yang akhirnya diselesaikan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sebaliknya, jika pengertian kedua yang digunakan, yakni bahwa musyawarah merupakan “peralatan” “untuk menghindar” dari suatu keadaan yang tidak diinginkan, apa maknanya? Jika keadaan yang tidak diinginkan adalah perpecahan, atau ketidakberlanjutan, maka tentu proses menjadi sangat berbeda. Dan kita hendak menegaskan di sini, bahwa seharusnyalah musyawarah dimengerti sebagai peralatan untuk mencapai sesuatu, sebaliknya adalah peralatan untuk menghindari sesuatu, yang dalam kerangka hidup bersama sebagai suatu bangsa, musyawarah adalah sarana untuk menghindari perpecahan, ketidakutuhan dan kehancuran.
Oleh sebab itulah dalam sila keempat, musyawarah dipimpin oleh hikmah dan bukan oleh jumlah. Dalam kerangka ini sangat jelas bahwa apabila keadaan buntu, bukan voting yang akan dilakukan, melainkan kembali berembug dengan kematangan hingga akhir keputusan bersama yang bulat dapat diperoleh. Dengan pengertian ini, musyawarah lebih kompatibel dengan desa yang menyadari keberadaannya dalam ruang sosio-ekologi setempat. Musyawarah menjadi sarana yang sangat memadai, agar keputusan yang diambil bukan keputusan yang mengorbankan keberlanjutan desa (bersambung) [Desanomia – 10.24 – TM].
Catatan: Dari Demos ke Desa, merupakan bagian dari gagasan “demokrasi organik”. Gagasan tersebut merupakan pemikiran yang menyertai konsepsi desa cukup pangan. Dalam eksplorasi gagasan desa cukup pangan, makin disadari bahwa keadaan sekarang ini sebenarnya merupakan himpunan dari berbagai problem yang membentuk struktur yang menempatkan desa menjadi entitas marjinal. Pemikiran ini pada dasarnya datang dari aspirasi ingin menempatkan desa sebagai subyek politik masa depan, terutama untuk menghadirkan daya tahan dalam menghadapi perubahan iklim yang tidak terhindarkan.
One thought on “Dari Demos ke Desa”