sumber ilustrasi: freepik
Prinsip-prinsip
Jika pertemuan merupakan “dialog” yang setara dan saling mengubah, maka perjumpaan ini memerlukan prinsip-prinsip etik yang menjaga martabat, keterbukaan, dan transformasi timbal balik. Beberapa prinsip berikut mungkin dapat dipertimbangkan.
Pertama, prinsip kesetaraan epistemik. Pertemuan harus dilandasi oleh pengakuan bahwa tidak ada sistem pengetahuan yang superior secara mutlak. Pengetahuan ilmiah tidak lebih “benar” daripada kearifan lokal, dan pengetahuan lokal tidak otomatis lebih “otentik” daripada hasil riset akademik. Dengan demikian, proses dialog tidak dimulai dari asumsi siapa yang mengajari siapa, tetapi siapa yang mau belajar dari siapa. Lebih dari itu, prinsip ini mengharapan adanya semacam pelepasan ego akademik dan pembongkaran prasangka terhadap bentuk pengetahuan yang tidak terdokumentasi secara formal. Tentu demikian sebaliknya. Pengakuan terhadap nilai dan martabat semua cara tahu adalah syarat pertama dari kebersamaan yang otentik.
Kedua, prinsip kerendahan hati epistemologis. Kedua tradisi harus bersedia mengakui keterbatasannya sendiri: bahwa tidak ada satu cara tahu pun yang mampu memahami seluruh kompleksitas kehidupan. Dunia akademi tentu mengakui bahwa bahwa ilmu tidak selalu relevan di lapangan jika terputus dari konteks sosial-ekologis. Sebaliknya, tradisi desa juga harus secara jujur mengakui dan terbuka terhadap refleksi kritis yang dapat memperkaya dan merevitalisasi tradisi. Kerendahan hati epistemologis adalah ruang kosong tempat pengetahuan bisa bertumbuh bersama. Kedua belah pihak menghadapi tantangan yang tidak mudah. Dan kemampuan mengatasi tantangan tersebut akan merupakan jalan utama bagi pertemuan.
Ketiga, prinsip keterlibatan setara. Dialog tidak boleh bersifat representasional atau simbolik belaka — misalnya dengan hanya “menghadirkan” masyarakat desa dalam forum-forum kampus. Yang dituntut adalah keterlibatan sejati dalam proses berpikir, merumuskan masalah, dan menciptakan solusi. Masyarakat desa menjadi subjek pengetahuan, bukan objek studi. Sebaliknya, dunia akademi menjadi rekan belajar, bukan hanya pengamat. Tidak ada etika pertemuan tanpa pembagian ruang bicara dan ruang mendengar secara adil. Saling terlibat dengan basis kesetaraan dan sikap saling respek, tentu akan menjadi modal dasar dalam membangun formasi ideal dalam membangun pengetahuan baru sebagai hasil pertemuan dua tradisi tersebut.
Keempat, prinsip keberlangsungan relasional. Pertemuan epistemik bukan proyek sesaat atau kerjasama jangka pendek. Peristiwa ini akan merupakan suatu proses relasional yang memerlukan waktu, kepercayaan, dan perawatan. Hal ini berarti bahwa membangun ruang bersama yang berkelanjutan secara afektif dan struktural: seperti sekolah desa, forum reflektif bersama, atau laboratorium sosial. Relasi ini tidak boleh diputus setelah proyek atau dana penelitian selesai — karena pengetahuan tidak berkembang dalam logika termin dan output, tetapi dalam kontinuitas dan dialog. Pengetahuan tumbuh bukan di ruang konferensi, tetapi dalam pertemanan dan kepercayaan yang dijaga.
Kelima, prinsip transformasi timbal balik. Tujuan pertemuan bukanlah membuat sistem desa menjadi “lebih akademik”, atau menjadikan akademisi “lebih membumi” sebagai upaya kosmetik. Yang dituju adalah transformasi kedua belah pihak: agar keduanya menjadi lebih reflektif, lebih terbuka, dan lebih bijaksana. Tradisi desa bisa mengalami revitalisasi melalui dialog kritis, tanpa kehilangan jati dirinya. Tradisi akademi bisa mengalami dekonstruksi dan reorientasi nilai, agar lebih selaras dengan keberlanjutan dan keadilan. Pertemuan yang bermakna selalu menyisakan perubahan — bukan hanya pada isi pengetahuan, tetapi juga pada cara berpikir dan merasa.
Keenam, prinsip keadilan naratif. Bentuk narasi yang digunakan dalam pertemuan tidak boleh hanya memakai bahasa akademik. Bahasa desa — yang puitis, metaforis, simbolik — harus diakui sebagai cara bernarasi yang sah. Ini menuntut kerja penerjemahan epistemik: bukan sekadar mentransfer istilah, tetapi menciptakan ruang di mana berbagai bentuk pengungkapan makna bisa hidup berdampingan. Keadilan pengetahuan tidak hanya soal isi, tetapi juga soal bentuk dan cara pengungkapannya.
Ketujuh, prinsip komunalitas tujuan. Pertemuan ini harus diarahkan pada tujuan bersama yang lebih besar daripada sekadar pengakuan akademik atau pelestarian budaya. Tujuan itu adalah merawat kehidupan: kehidupan ekologis, sosial, dan spiritual dalam seluruh kedalaman dan keterhubungannya. Bukan hanya “kita saling belajar”, tetapi “bagaimana pengetahuan kita bisa melindungi dunia tempat kita bersama hidup”. Keutamaan tertinggi dari pertemuan epistemik adalah tanggung jawab bersama atas kehidupan.
Kita menyadari bahwa penyelenggaraan pertemuan dimaksud, pasti bukan perkara mudah. Ketujuh prinsip yang dikembangkan di atas, tentu hanya sebagian dari segi-segi prinsipil yang seharusnya menjadi pegangan dalam membangun dialog atau membangun pertemuan dua tradisi. Keutamaan dalam konteks ini bukan aturan moral dari luar, melainkan kondisi batin dan struktur sosial yang memungkinkan pertemuan dua sistem pengetahuan berlangsung sebagai gerak saling memperkaya. Kita menyadari bahwa hal tersebut tidak bisa dibentuk oleh niat baik semata, tetapi perlu dirancang secara sadar, dijaga secara kolektif, dan dirawat dalam waktu panjang. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan ilmu, tetapi masa depan kebijaksanaan — cara kita hidup, mengetahui, dan menghidupi dunia bersama. (bersambung). [Desanomia – 8.4.25 – TM]