Jamu

sumber ilustrasi: kibrispdr

16 Apr 2025 09.10 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apakah jamu adalah obat? Pandangan dan cara hidup (selanjutnya cara hidup)? Ataukah kedua-duanya? Jika jamu adalah obat, mengapa setelah minum jamu, bagi yang memakainya, tidak diperoleh efek langsung (instan) sebagaimana setelah minum obat (yang dibeli di apotek)? Bukankah sesuatu disebut obat (oleh pengetahuan umum tentang pengobatan) jika dan hanya jika dapat segera menyembuhkan apa yang dirasakan sebagai sakit oleh tubuh. Kita bisa melihat bagaimana iklan obat berbicara: “apakah ada waktu untuk sakit kepala”? Artinya, produk tersebut ingin mengatakan bahwa seketika setelah minum obat tersebut, maka rasa sakit kepada akan hilang, dan dengan demikian dapat langsung bekerja kembali. Dengan kacamata iklan tersebut, jelas jamu bukan obat. Karena hampir pasti tidak bisa cespleng, kecuali “obat” yang berselimut jamu.

Jika bukan obat, apakah dapat dikatakan bahwa jamu merupakan cara hidup? Artinya, jamu adalah bagian dari pola hidup yang dibimbing oleh nilai, keyakinan, dan relasi seseorang atau suatu komunitas dengan dunia di sekitarnya. Kesemuanya itu berwujud dalam kebiasaan, pilihan, ritme harian, serta cara merespons kehidupan, baik secara praktis maupun spiritual. Bagi yang hidup di pedesaan, minum jamu artinya proses sebelum, pada saat dan setelah. Kebiasaan minum jamu rutin dengan sendirinya mengharuskan ketersediaan bahan bakunya. Hal ini mengharuskan menanam, merawat dan memanenya secara cukup (tidak berlebihan), dan mengolahnya setiap kali dibutuhkan, sehingga fresh ketika dikonsumsi. Pilihan waktu yang rutin, membuat pola pada tubuh, dan dengan sendirinya membuahkan disiplin waktu. Setelahnya, membuat diri dan tubuh menjaga, sedemikian sehingga tidak mengkonsumsi yang akan merusak tubuh dan tidak akan mengkonsumsi secara berlebihan karena berbahaya bagi tubuh. Inilah yang disebut di sini sebagai cara hidup.

Apa makna yang sebenarnya? Apakah sebagai publik kebanyakan kita dapat mengeksplorasi makna tersebut? Beberapa titik berikut, barangkali dapat menjadi titik masuknya, yakni: Pertama, dalam kosmologi “tradisional”, dunia dipandang sebagai suatu jaringan keterhubungan antara manusia, alam dan kekuatan spiritual atau Ilahi. Kesehatan dalam pandangan ini bukan sekadar bebas dari penyakit, melainkan kondisi seimbang antara unsur panas-dingin, kering-basah, serta antara dunia lahir dan batin. Yang disebut seimbang bukanlah sesuatu yang universal, karena setiap pribadi tentu memiliki keseimbangannya sendiri, yang dibentuk dari proses hidup dan tempat bermukimnya. Kita ingin mengatakan bahwa jamu sangat mungkin lagir dari cara pandang ini: bukan sekadar “menyembuhkan”, tetapi pertama-tama menyeimbangkan. Dalam pandangan ini pula, tubuh manusia dilihat sebagai cerminan semesta: mikrokosmos dalam makrokosmos. Maka, jika bumi rusak, tubuh manusia ikut terganggu; dan jika jiwa kotor, tubuh pun sakit. Oleh karena itu, penggunaan jamu bukan hanya berorientasi fisik, tetapi juga moral dan spiritual.

Kedua, dalam banyak komunitas tradisional, penggunaan jamu disertai dengan laku, yakni bentuk disiplin hidup:, seperti bangun pagi, menjaga pola makan, menjaga hubungan dengan sesama dan alam. Minum jamu bukanlah tindakan sesaat, melainkan bagian dari ritus harian yang menyatu dengan pola hidup. Dalam cara pandang ini, dapat dikatakan pula bahwa kebiasaan jamu menuntut manusia untuk mampu mendengar bahasa alam (dalam arti yang luas, termasuk peringatan dari tubuh). Apa yang tumbuh di sekitar kita bukanlah kebetulan, melainkan petunjuk. Kebiasaan minum jamu yang sadar akan mendorong manusia menjadi pribadi yang mampu membaca alam sebagai teks kebijaksanaan. Namun kemampuan tersebut dan pengetahuan yang diperolehnya, bukanlah sesuatu yang diungkap, melainkan sesuatu yang dialami dan terselenggara secara alami.

Ketiga, mereka yang terbiasa dengan ekonomi komersial, mungkin akan memandang bahwa jamu tidak ubahnya komoditas lainnya. Yang dibuat dengan motif ekonomi. Tentu pandangan ini tidak benar. Dalam sudut pandang jamu, penyembuhan bukanlah proses mekanis, melainkan tindakan yang sarat niat, kehadiran batin, dan tanggung jawab moral. Dalam tradisi jamu, meramu jamu (sebagai obat) tidak cukup hanya dengan keahlian teknis, tetapi memerlukan doa, niat baik, dan kesadaran akan keterhubungan antara tubuh, batin, dan dunia sekitar. Penyakit dipahami bukan semata sebagai kerusakan biologis, melainkan bisa bersumber dari kegelisahan jiwa, disharmoni sosial, atau ketidakseimbangan relasi dengan alam. Maka, penyembuhan melalui jamu adalah juga laku spiritual: jalan kembali pada keseimbangan batin, keteraturan hidup, dan bahkan bentuk pencerahan kecil dalam kehidupan sehari-hari.

Tantangan ke Depan

Jika demikian halnya, mengapa jamu tidak berkembang menjadi mainstream. Dari waktu ke waktu, jamu terpinggirkan. Apa yang terjadi? Lewat lensa kepublikan, barangkali dapat ditemukan penyebabnya. Beberapa dapat disebutkan di sini: Satu, apa yang dapat disebut sebagai ketergantungan epistemik. Komunitas tradisi sering mengalami inferioritas di hadapan apa yang disebut-sebut sebagai modernitas. Sebagai contoh, dalam ruang pendidikan, jamu tidak ditempatkan sebagai bagian dari “ilmu bermukim” yang harus dipertahankan. Sebaliknya, hanya bagian dari “keunikan” yang harus dilestarikan. Kalaupun digunakan maka jamu bagian dari “alternatif”, bukan yang utama.

Dua, harus diakui bahwa keahlian membuat jamu tidak diwariskan melalui system Pendidikan formal dan nasional. Pengetahuan jamu diwariskan secara eksklusif, dan lisan. Akibatnya, jamu menjadi pengetahuan yang terputus dan terpisah dari kehidupan komunitas. Tatkala komunitas bergeser dari kehidupan lama kepada kehidupan baru, praktik mengkonsumsi pun kehilangan habitatnya, dan tentu pula kehilangan tanah dimana tanaman jamu dapat tumbuh dengan daya dukung lingkungan yang baik. Tanaman jamu tumbuh sebagai dekorasi taman, atau sekedar proyek pemerintah, dan bukan bagian dari kesadaran komunitas.

Tiga, ketika jamu diangkat, maka yang kerapkali terjadi adalah suatu proses yang menjadikan jamu sebagai komoditas pasar, tanpa menjaga kerangka filosofis dan spiritualnya. Bahkan, yang ditampilkan dalam layar promosi adalah kecanggihan prosesi, yang artinya meninggalkan tata cara lama yang merupakan bagian dari kebiasaan hidup warga. Akibatnya, jamu menjadi bagian dari dinamika pasar komuditas. Jamu bangkit sebagai komunitas, dengan seluruh nilai yang menyertainya tertinggal di desa-desa. Minum jamu bukan ekspresi kebijaksanaan hidup, melainkan hasil dari kerja intelegensia.

Apakah akhirnya jamu akan menjadi sejarah? Ataukah pada akhirnya kesadaran bermukim akan kembali mendapatkan tubuhnya? [Desanomia – 16.4.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *