Bumi Tempat Kita Menetap (1)

sumber ilustrasi: unsplash

22 Apr 2025 07.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Hari Bumi Internasional 22 April, rasanya baik jika dijadikan momen untuk melakukan refleksi yang lebih mendasar. Pertanyaan refleksi yang layak untuk diajukan adalah apakah benar kita merasa bahwa bumi adalah tempat kita tinggal, tempat kita menetap atau kita merasa hanyalah sebagai manusia pengungsi yang berpindah dari lokasi ke lokasi lainnya?

Bahwa manusia, dalam sejarah panjang evolusinya, membangun kehidupan dengan menanam “akar” di tempat tertentu. Ia membentuk komunitas, mengembangkan kebudayaan, dan menetap dalam lanskap yang bukan hanya memberi makan dan perlindungan, tetapi juga membentuk identitas. Kita hendak menyebut proses tersebut sebagai menetap atau bermukim.

Namun, dalam konfigurasi sosial-ekonomi modern, terutama sejak Revolusi Industri, cara hidup menetap mulai tergerus oleh logika mobilitas dan eksploitasi tanpa batas. Dunia hari ini menyaksikan manusia yang hidup seperti pengungsi ekologis. Atas nama pekerjaan, atau alasan lain, manusia berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Untuk bertahan hidup atau untuk kepentingan lain, sumberdaya alam dieksploitasi tanpa memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Selalu menatap ke luar, ke lokasi atau teknologi lain, sebagai solusi dari krisis yang diciptakannya sendiri.

Salah satu tantangan mendasar dari krisis lingkungan saat ini adalah sistem ekonomi global yang mengedepankan pertumbuhan tanpa batas. Dalam paradigma ini, alam diposisikan sebagai sumber daya yang dapat diambil sebanyak-banyaknya untuk mendorong akumulasi dan konsumsi massal. Segala bentuk kemajuan diukur dengan pertumbuhan produksi, sementara kerusakan ekologis dianggap sebagai biaya eksternal yang dapat diabaikan atau ditanggulangi nanti.

Dalam struktur semacam ini, manusia ditempatkan sebagai aktor ekonomi, bukan makhluk ekologis. Relasi dengan tanah, air, udara, dan makhluk hidup lainnya menjadi sekunder, bahkan terputus. Sistem produksi dan konsumsi yang tersebar secara global menciptakan jarak antara tempat asal sumber daya, tempat produksi, dan tempat konsumsi. Akibatnya, terbentuklah kesadaran ekologis yang terfragmentasi dan pasif; manusia tidak lagi memiliki keterikatan langsung dengan tempat tinggalnya, dan dengan demikian kehilangan dorongan untuk merawatnya.

Perkataan “pengungsi ekologis” umum digunakan untuk menggambarkan komunitas yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena bencana lingkungan. Namun, dalam pengertian yang lain, perkataan ini juga menggambarkan kondisi psikologis dan sosial manusia modern: manusia yang hidup di planet ini tanpa benar-benar merasa tinggal di dalamnya. Mereka menjadi warga sementara, bukan penghuni tetap. Pola pikir ini melahirkan alienasi terhadap lingkungan dan kehidupan bersama. Bumi bukan lagi dianggap sebagai rumah, tetapi sebagai lokasi fungsional yang bisa dieksploitasi selama masih memberi manfaat.

Keterputusan ini diperparah oleh narasi futuristik yang berkembang dalam imajinasi publik—bahwa jika Bumi rusak, kita bisa pindah ke planet lain seperti Mars, atau membangun koloni di bulan. Narasi ini, mungkin saja masuk akal secara ilmiah, namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa ide tersebut berbahaya karena menciptakan ilusi pelarian dari tanggung jawab ekologis. Padahal, seperti yang ditekankan dalam laporan ilmiah dari badan Antariksa dan lembaga-lembaga lingkungan global, tidak ada planet lain saat ini yang mampu mendukung kehidupan manusia secara utuh seperti Bumi.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa krisis iklim bukanlah ancaman masa depan, melainkan realitas hari ini. Suhu rata-rata global telah meningkat lebih dari satu derajat Celsius sejak era pra-industri, dengan dampak yang meluas: pencairan es di kutub, naiknya permukaan laut, peningkatan intensitas badai tropis, hingga ancaman terhadap ketahanan pangan global. Apa yang sangat memprihatinkan adalah bahwa respons terhadap krisis ini sering kali terbatas pada solusi teknokratis dan mekanisme pasar: perdagangan karbon, asuransi bencana, atau energi hijau yang dikomersialisasi. Alih-alih merombak cara hidup dan relasi manusia dengan alam, respons semacam ini justru memperkuat logika lama dengan wajah baru. Suatu logika bahwa alam adalah sumber daya untuk dikendalikan dan dikelola, bukan ruang hidup yang harus dirawat dan dihuni secara penuh.

Kita berpandangan bahwa alternatif dari krisis ini bukan hanya solusi teknologi, tetapi perubahan paradigma. Manusia harus membangun kesadaran baru, yakni kesadaran sebagai warga yang menetap di Bumi. Menetap berarti membangun relasi jangka panjang, memiliki rasa tanggung jawab, dan menciptakan sistem kehidupan yang regeneratif, bukan destruktif. Banyak tradisi lokal dan kosmologi desa menyimpan pandangan ini. Tanah tidak dipandang sebagai komoditas, melainkan sebagai ibu atau leluhur—sebagai entitas hidup yang membentuk identitas dan ikatan tanggung jawab. Dalam kerangka ini, kehidupan bukanlah proyek individu, melainkan bagian dari jaringan relasi yang melibatkan manusia, alam, dan generasi yang akan datang.

Kesadaran akan pentingnya hidup menetap juga membawa kita pada penolakan terhadap logika “eksternalisasi” yang selama ini dominan dalam ekonomi pasar. Kerusakan lingkungan tidak bisa terus-menerus dianggap sebagai biaya yang akan ditanggung generasi mendatang. Ia adalah konsekuensi langsung dari sistem hidup kita hari ini, dan karena itu harus ditanggung dan diperbaiki oleh generasi sekarang. Prinsip ini menuntut kebijakan publik yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan, tetapi juga pada keberlanjutan ekologis dan etika antar-generasi. Otoritas yang berorientasi ekologis adalah otoritas yang mengakui warga sebagai bagian dari sistem alam dan meletakkan tanggung jawab lingkungan sebagai bagian tanggung jawab bersama.

Dalam kerangka ini, tema Hari Bumi Internasional tahun ini, yakni “Our Power, Our Planet” hendaknya tidak hanya dipahami sebagai ajakan untuk lebih bijak menggunakan energi atau lebih aktif dalam daur ulang, tetapi sebagai seruan untuk membangun kembali relasi mendalam dengan bumi kita: sebagai tempat bermukim, bukan sekadar tempat tinggal sementara waktu. Dengan demikian, krisis lingkungan yang kita hadapi bukan sekadar krisis iklim, tetapi krisis kesadaran, krisis nilai, dan krisis sistem hidup. Selama manusia memandang dirinya sebagai warga sementara yang bisa berpindah kapan saja, maka ia tidak akan pernah merasa perlu menjaga dan memperbaiki rumah tempatnya menetap. (bersambung) [Desanomia – 22.4.25 – TM]

One thought on “Bumi Tempat Kita Menetap (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *