Pasar Saham vs Ekonomi Real

sumber ilustrasi: pixabay

22 Apr 2025 10.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [22.4.2025] Perlu diketahui bahwa, meskipun sumber untuk artikel ini berasal dari pertengahan tahun 2020, saat pandemi COVID-19 mengguncang ekonomi global, isinya tetap sangat relevan hingga hari ini. Bahkan, dapat dikatakan bahwa apa yang terjadi pada masa itu bukan hanya fenomena sesaat, melainkan titik awal dari struktur pasar dan ketimpangan ekonomi yang terus berkembang hingga saat ini.

Sejarah pasar saham selalu dipenuhi dengan drama dan gejolak: dari kehancuran pasar tahun 1929, Black Monday 1987, hingga ledakan dotcom pada 1999. Namun, delapan minggu pada awal 2020 menciptakan babak tersendiri. Setelah mengalami kejatuhan sepertiga nilainya antara 19 Februari hingga 23 Maret, indeks S&P 500 Amerika Serikat justru melonjak tajam tanpa jeda berarti, memulihkan lebih dari setengah kerugiannya dalam waktu singkat. Pemicu utama rebound ini adalah langkah Federal Reserve yang mengumumkan akan membeli obligasi korporasi, menyelamatkan arus kas perusahaan-perusahaan besar.

Fenomena ini menciptakan kontras mencolok antara optimisme pasar saham Wall Street dan kenyataan ekonomi di Main Street. Sementara harga saham melonjak dan perusahaan besar mendapat akses mudah terhadap likuiditas, jutaan warga Amerika kehilangan pekerjaan. Tingkat pengangguran naik drastis dari 4% menjadi sekitar 16%, tertinggi sejak pencatatan dimulai pada 1948. Di sisi lain, usaha kecil kesulitan mengakses bantuan pemerintah, membuka kembali luka-luka lama dari krisis keuangan 2008. Kritik pun muncul dari berbagai pihak, termasuk kandidat presiden Joe Biden kala itu, yang menyatakan bahwa rakyat sekali lagi harus “menyelamatkan perusahaan besar.”

Aksi cepat The Fed—yang bahkan membeli obligasi junk dan menyuntikkan dana luar biasa ke pasar—memang berhasil menghindari gelombang kebangkrutan besar. Namun, langkah tersebut juga memperkuat ketimpangan yang telah ada sebelumnya. Investor besar mengalihkan dananya ke saham teknologi besar seperti Apple, Amazon, dan Microsoft, sementara pasar Eropa dan Inggris tertinggal karena portofolio industri yang lebih rentan. Lebih dari sekadar euforia, kenaikan harga saham saat itu merupakan hasil dari pilihan terbatas para investor: imbal hasil obligasi terlalu rendah, bahkan negatif di banyak negara maju.

Namun, di balik lonjakan harga tersebut, tersimpan risiko-risiko besar yang saat itu mulai disadari sebagian pelaku pasar. Di antaranya adalah potensi gelombang kedua pandemi, resesi berkepanjangan, dan praktik keuangan yang mencurigakan. Beberapa skandal pun mulai terkuak, seperti kasus Luckin Coffee di Tiongkok dan Hin Leong di Singapura. Yang paling mengkhawatirkan adalah potensi reaksi politik terhadap dominasi korporasi besar—terutama jika mereka terbukti menyerap subsidi secara tidak proporsional di tengah krisis nasional. Seruan untuk pajak balasan, pembatasan merger, hingga peninjauan kembali insentif pajak bagi perusahaan besar mulai terdengar di Kongres AS.

Meski investor saat itu percaya bahwa The Fed akan selalu “menjaga” pasar, dinamika bisa berubah dalam sekejap. Satu bulan pasar bearish tentu belum cukup untuk benar-benar merefleksikan dampak besar dari pandemi dan ketidakpastian yang dibawanya. Drama pasar saham 2020, seperti yang terbukti hingga hari ini, hanyalah awal dari babak-babak lanjutan yang masih terus bergulir dalam perekonomian global.

Buah Pikiran:

Lonjakan pasar saham yang terjadi dalam waktu singkat ini memang mengesankan, tetapi juga mengkhawatirkan. Ketika investor membanjiri saham, terutama dari sektor teknologi besar, mereka sebenarnya sedang bereaksi terhadap kebijakan pelonggaran moneter ekstrem dari The Fed, bukan pada fondasi ekonomi riil yang sehat. Kinerja pasar yang begitu cepat pulih menimbulkan kesan semu bahwa ekonomi juga akan segera normal kembali, padahal indikator makro seperti pengangguran dan penurunan konsumsi menunjukkan sebaliknya.

Ketimpangan antara pasar saham dan ekonomi riil juga memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi. Sementara perusahaan besar mendapat suntikan dana dan bisa mengakses likuiditas murah, usaha kecil dan menengah masih bergulat dengan prosedur bantuan yang rumit dan minim dukungan. Jika ketimpangan ini terus melebar, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi akan semakin terkikis, mendorong munculnya kebijakan fiskal agresif seperti pajak tambahan, larangan merger, atau pembatasan buyback yang selama ini menjadi ciri dunia korporat.

Sebagai refleksi, pasar keuangan memang perlu alat bantu dari bank sentral dalam masa krisis, tetapi pemulihan yang tidak inklusif hanya akan menciptakan bom waktu sosial dan politik. Pemerintah dan otoritas pasar perlu memastikan bahwa intervensi yang diberikan tidak hanya menyelamatkan angka-angka di bursa, tetapi juga menjamin keberlangsungan pelaku ekonomi secara menyeluruh. Tanpa hal tersebut, pasar akan kembali ke siklus lama: euforia yang meledak, dan kemudian hancur, karena kehilangan pijakan pada realitas. (NJD)

Sumber: economist

Link: https://www.economist.com/leaders/2020/05/07/the-market-v-the-real-economy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *