Oleh: Untoro Hariadi
23 Apr 2025 16.10 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Di tengah derasnya arus transformasi digital, dunia pertanian berada pada titik persimpangan. Di satu sisi, teknologi menawarkan berbagai janji: efisiensi produksi, akses pasar yang lebih luas, dan prediksi cuaca yang akurat. Di sisi lain, ada warisan panjang berupa kebijaksanaan lokal dan nilai-nilai tradisional yang telah mengakar dalam praktik bertani masyarakat Indonesia. Sayangnya, kedua sisi ini sering kali dipertentangkan. Seolah-olah kita harus memilih: antara pacul dan platform, antara tradisi dan inovasi.
Padahal, pertanian adalah cerita panjang tentang adaptasi. Sejak zaman nenek moyang, petani Indonesia telah beradaptasi dengan perubahan alam, sosial, dan teknologi. Dulu, mereka menggunakan alat kayu sederhana untuk mengolah lahan. Kemudian hadir bajak sapi, lalu mesin traktor. Mereka pernah mengandalkan ilmu titen—pengetahuan membaca gejala alam—sebelum akhirnya mengenal informasi prakiraan cuaca dari radio, lalu dari ponsel. Semua bentuk adaptasi itu tidak menghapus pengetahuan lama, justru membangun di atasnya. Itulah bukti bahwa tradisi dan inovasi sebetulnya tidak pernah benar-benar bertentangan. Mereka bisa berjalan beriringan.
Namun dalam gelombang digitalisasi yang semakin kencang, muncul kegelisahan. Banyak program digital pertanian diluncurkan—dari e-commerce hasil tani, aplikasi manajemen lahan, hingga sensor IoT untuk pemantauan kelembaban tanah—tapi keberhasilannya masih tambal sulam. Kementerian Pertanian mencatat, pada tahun 2023 hanya sekitar 10 persen petani yang secara aktif memanfaatkan teknologi digital dalam kegiatan budidaya mereka. Padahal jumlah petani Indonesia mencapai lebih dari 33 juta jiwa.
Teknologi Tidak Membumi
Salah satu persoalan mendasarnya adalah pendekatan yang top-down. Teknologi sering kali datang dari luar desa, dirancang tanpa memahami konteks lokal. Petani hanya menjadi penerima, bukan perancang. Mereka diundang dalam pelatihan, diberi bantuan alat, lalu ditinggalkan begitu saja. Tak jarang, teknologi yang diperkenalkan terlalu rumit, tidak cocok dengan kondisi lahan, atau tidak menjawab kebutuhan utama petani.
Sebagai contoh, banyak aplikasi pasar digital pertanian gagal digunakan karena petani lebih nyaman berinteraksi secara langsung dengan pembeli tetap yang sudah dikenalnya. Sementara itu, logistik hasil panen dari desa ke kota masih menjadi tantangan besar yang tidak bisa diatasi hanya dengan teknologi. Begitu pula sistem pencatatan hasil panen berbasis aplikasi yang tidak kompatibel dengan kebiasaan dan alur kerja harian petani.
“Teknologi bukan soal kecanggihan semata, tapi soal keterhubungan dengan kenyataan,” ujar Gunawan Wiradi, sosiolog pedesaan, yang dalam banyak tulisannya mengingatkan bahwa modernisasi pertanian yang mengabaikan manusia dan budaya petani akan menemui jalan buntu.
Bottom up
Satu hal yang perlu kita tegaskan: petani bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang seharusnya memimpin perubahan. Mereka adalah pemilik lahan, penjaga pangan, dan pewaris pengetahuan. Digitalisasi pertanian tidak boleh melucuti peran mereka, apalagi mengubah mereka menjadi buruh dari sistem yang tidak mereka pahami. Sebaliknya, mereka harus dilibatkan sejak awal dalam proses perancangan teknologi, agar teknologi yang dihasilkan benar-benar relevan dan membumi.
Laporan dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) tahun 2022 menyebutkan bahwa keberhasilan adopsi teknologi digital di sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pelibatan komunitas lokal, pendampingan teknis yang berkelanjutan, dan kesesuaian dengan konteks sosial-ekonomi petani. Artinya, tanpa partisipasi aktif petani, sehebat apapun platform digital yang dibangun, tetap berisiko tidak digunakan.
Kita membutuhkan model pembangunan yang berangkat dari bawah—bottom-up—di mana teknologi menjadi alat bantu, bukan tujuan akhir. Teknologi harus merendah kepada tradisi, bukan mengklaim sebagai penyelamat tunggal.
Bisa Bersanding
Pacul bukan sekadar alat pertanian. Ia adalah simbol. Simbol dari kerja keras, relasi yang intim dengan tanah, dan warisan nilai kolektif. Namun itu tidak berarti kita harus menolak platform digital. Justru sebaliknya—kita bisa menjadikan platform sebagai alat untuk memperkuat nilai-nilai itu. Platform bisa digunakan untuk memperpendek rantai distribusi, memperkuat koperasi tani, membuka akses ke informasi dan pembiayaan, hingga membangun jejaring antarpetani lintas wilayah.
Beberapa inisiatif lokal menunjukkan bahwa sinergi antara pacul dan platform sangat mungkin terjadi. Di Banyuwangi, misalnya, platform Karsa berhasil mempertemukan petani kecil dengan konsumen kota melalui sistem pre-order berbasis komunitas. Di Sleman, koperasi petani muda memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk organik sambil tetap menjaga prinsip pertanian alami dan keberlanjutan.
Contoh-contoh ini membuktikan bahwa desa tidak harus memilih antara masa lalu dan masa depan. Desa bisa punya semuanya: kebijaksanaan tradisional dan kecanggihan teknologi. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan kebijakan, keberlanjutan pendampingan, dan kesediaan semua pihak untuk mendengar suara petani.
Membangun Jembatan
Di sinilah tantangan kita: membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jembatan yang bukan hanya infrastruktur fisik seperti jaringan internet atau menara BTS, tetapi juga jembatan pengetahuan dan nilai. Kita harus memastikan bahwa dalam setiap kebijakan pertanian berbasis digital, ada ruang untuk refleksi budaya, partisipasi petani, dan penghargaan terhadap lokalitas.
Jika tidak hati-hati, digitalisasi bisa menjadi bentuk baru kolonialisme data. Petani menjadi penyedia informasi, tapi tidak punya kendali atas data mereka sendiri. Mereka diukur, dipantau, tapi tidak didengar. Maka, digitalisasi yang adil harus menjamin kedaulatan data, kedaulatan pasar, dan tentu saja: kedaulatan petani.
Penutup
Kedaulatan pangan bukan semata tentang swasembada atau ekspor beras. Ia adalah tentang siapa yang memegang kendali atas tanah, benih, pengetahuan, dan hasil panen. Dalam konteks inilah, pacul dan platform harus dipertemukan bukan dalam konflik, tetapi dalam kerja sama.
Kemajuan sejati bukan ketika petani dipaksa menjadi “teknokrat ladang”, tetapi ketika teknologi hadir sebagai perpanjangan dari tangan, hati, dan pikiran mereka. Inilah saatnya membalik arah pembangunan: dari petani untuk teknologi, bukan sebaliknya.
Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra