sumber ilustrasi: unsplash
23 Apr 2025 08.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Jika pada bagian pertama, secara serba umum, mengulas tentang pentingnya merawat Bumi dengan kesadaran sebagai penghuni tetap, maka uraian ini bermaksud ini mengembangkan dimensi spasial dan struktural dari konsep “menetap.” Menetap bukan hanya soal menyadari bahwa Bumi adalah rumah satu-satunya, tetapi juga soal bagaimana manusia membangun ruang hidupnya secara berkelanjutan. Gagasan dasar yang hendak disodorkan untuk menjadi bagian kajian dan refleksi bersama adalah tentang kemungkinan membuat integrasi antara tempat tinggal, tempat kerja, ruang sosial budaya, dan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Kita berpandangan bahwa integrasi tersebut, akan menjadi kunci untuk mewujudkan kesadaran ekologis dalam hidup nyata yang berkelanjutan. Tanpa integrasi ini, manusia tetap akan hidup secara terfragmentasi: terputus dari komunitas, terputus dari lingkungan, dan akhirnya terputusa dari tanggung jawab ekologis itu sendiri.
• Kota-kota modern saat ini dibangun dalam paradigma pemisahan fungsi: area hunian dipisahkan dari zona industri, tempat kerja berjauhan dari tempat tinggal, sementara fasilitas sosial, seperti rumah sakit, sekolah, atau pusat budaya, tersentralisasi dan tidak merata. Akibatnya, manusia menjalani kehidupan yang terpecah-pecah: tinggal di satu tempat, bekerja di tempat lain, mencari layanan kesehatan atau pendidikan di lokasi berbeda, dan mengalami waktu tempuh harian yang panjang, konsumsi energi tinggi, serta tekanan mental yang besar. Mereka yang ada di kota metropolitan menjadi saksi hidup bagaimana waktu berjam-jam harus dihabiskan di jalan dengan rasa tidak pasti, dikejar-kejar jadwal, dan terpapar polusi yang sebenarnya sudah tidak diijinkan dari kesehatan tubuh. Model pembangunan semacam ini tidak hanya tidak efisien secara ekologis, karena meningkatkan ketergantungan pada kendaraan bermotor dan memperluas jejak karbon, tetapi juga melemahkan ikatan sosial dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. Manusia tidak lagi merasa terikat dengan tempat tinggalnya karena sebagian besar aktivitas hidupnya terjadi di tempat lain. Banjir yang tidak terselesaikan, merupakan saksi bagaimana rasa tanggungjawab atas keadaan lingkungan telah tidak lagi menjadi bagian dari tanggungjawab manusia. Padahal, banjir merupakan buah dari cara hidup dan disain kota.
• Apa yang dibayangkan sebagai kehidupan yang terintegrasi secara spasial adalah hidup bersama yang memungkinkan terbentuknya hubungan ekologis dan sosial yang lebih utuh. Dalam model ini, setiap warga dapat mengakses pekerjaan, sekolah, fasilitas kesehatan, taman, pusat budaya, dan ruang bersama dalam jarak yang bisa dijangkau berjalan kaki atau bersepeda. Ini tidak hanya mengurangi polusi dan emisi, tetapi juga membangun komunitas yang saling mengenal, saling bergantung, dan bekerja sama dalam menjaga lingkungan lokal. Jika seseorang tinggal, bekerja, dan berpartisipasi dalam kegiatan budaya di satu wilayah yang sama, maka akan tumbuh rasa keterikatan, kepemilikan, dan tanggung jawab terhadap tempat tersebut. Apa yang dibayangkan sebagai hal yang tidak terhindarkan adalah bahwa mereka yang menetap tidak akan mungkin menghancurkan atau merusak tempat tinggalnya sendiri. Jadi, tidak mungkin warga merusak sungai, karena sungai adalah sumber kehidupan; tidak mungkin membuang sampah di sembarang tempat, karena akan merusak ekosistem dan mengancam kesehatan manusia; dan berbagai ketidakmungkinan lainnya. Inilah dasar dari etika menetap.
• Imajinasi dapat diperluas ruang eksplorasinya. Kita bisa membayangkan bahwa dengan kehidupan yang terintegrasi juga membuka ruang bagi ekspresi seni, budaya lokal, dan praktik keberlanjutan. Ketika seni dan budaya tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari, masyarakat akan lebih mudah membentuk identitas ekologis yang berbasis komunitas. Misalnya, festival setempat, pertunjukan seni di ruang terbuka, atau kegiatan gotong royong bukan hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga menghidupkan kembali cara-cara hidup yang selaras dengan alam. Demikian pula, ketika fasilitas kesehatan dan pendidikan mudah diakses dalam lingkungan tempat tinggal, maka masyarakat tidak hanya memiliki kualitas hidup yang lebih baik, tetapi juga lebih sadar akan pentingnya merawat lingkungan demi keberlangsungan komunitasnya sendiri. Keadaan yang demikian itu, sudah barang tentu akan membuat semua penghuni menjadi subyek yang otentik, penuh martabat dan terjaga dimensi paling dalam dari kemanusiaannya. Pada kebanyakan dari mereka dapat diduga tidak akan punya mimpi jauh di sana, sebaliknya akan bermimpi menetap dalam keberlanjutan.
• Untuk mewujudkan integrasi ruang tersebut, diperlukan pembaruan yang dasarnya adalah kesadaran sosio-ekologi setempat. Cara berpikir konvensional yang menganggap bahwa seluruh problem tersebut dapat diselesaikan dengan “kebijakan” tata ruang dan derivasinya, hendaknya ditinggalkan. Mengapa? Karena cara berpikir tersebut tidak mengubah keadaan: bahwa masalah yang ada merupakan tanggungjawab tiap-tiap subyek dan sekaligus tanggungjawab bersama. Masalah ini bukan masalah kepemimpinan, atau masalah pemerintahan, melainkan masalah cara hidup. Jika masalah tersebut masih hendak diselesaikan dengan cara konvensional, maka yang akan terjadi adalah suatu kompetisi kepentingan dalam mempengaruhi kebijakan publik. Tidak hanya, mungkin juga akan terjadi kontestasi konsepsi perencanaan. Dan semua itu, akan terjebak dalam skema kompetisi yang berbasis daya beli. Hanya mereka yang punya daya beli tinggi, akan dapat mempertahankan kepentingannya. Dalam keadaan yang demikian, hampir dapat dipastikan yang akan berlangsung bukan perbaikan dan pemulihan, melainkan pemburukan. Oleh sebab itulah, kita mengatakan bahwa masalah ini bukan masalah tata kelola pemerintahan, tetapi masalah cara hidup.
• Hendak kembali ditegaskan di sini bahwa gagasan integrasi antara tempat tinggal, tempat kerja, ruang budaya, dan fasilitas dasar bukan hanya tentang strategi perencanaan kota, tetapi tentang fondasi ekologis dari kehidupan menetap. Dalam ruang yang terintegrasi, manusia dapat hidup lebih sadar, lebih dekat dengan sesama, dan lebih terhubung dengan alam. Mereka bukan hanya warga administratif, tetapi warga ekologis—yang memiliki, merawat, dan mewariskan ruang hidupnya. Dalam konteks krisis iklim dan sosial global, membangun sistem kehidupan yang terintegrasi adalah langkah strategis menuju keberlanjutan yang sesungguhnya. Karena hanya dengan hidup dalam keterhubungan yang nyata—antar manusia dan dengan lingkungan—konsep “menetap” akan memiliki makna yang utuh, bukan sekadar geografis, tetapi juga ekologis, sosial, dan kultural. (bersambung) [Desanomia – 23.4.25 – TM]
One thought on “Bumi Tempat Kita Menetap (2)”