sumber ilustrasi: freepik
27 Apr 2025 08.10 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Bagian sebagian dari kita, nasi sambal, tentu bukan hal yang asing, bahkan mungkin sangat akrab. Nasi sambal adalah nasi (putih) plus sambal. Hanya itu. Lewat Wikipedia dapat diketahui informasi umum bahwa sambal merupakan tradisi pribumi khas pulau Jawa untuk membuat penyedap makanan, kata “sambal” itu sendiri sejatinya merupakan sebuah kata serapan yang berakar dari bahasa Jawa kuno yakni sambĕl yang memiliki arti “dihancurkan” atau “dilumatkan”, merujuk kepada proses pengolahan rempah ataupun cabai yang dilumatkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa terminologi tersebut dapat ditelusuri dalam berbagai prasasti maupun manuskrip Jawa kuno yang ditemukan di seantero pulau Jawa, beberapa di antaranya adalah kidung Sri Tanjung (dari abad ke-12), manuskrip Serat Centini (dari abad ke-16), dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sambal punya akar cukup kuat dalam tradisi masyarakat.
Mengapa hanya nasi plus sambal? Atau, mengapa nasi, sebagai panganan pokok, hanya dilengkapi dengan penyedap yang adalah sambal dan bukan yang lain? Apakah hal tersebut ekspresi dari kelimpahan pilihan atau sebaliknya? Bagi mereka yang mengetahui situasi dan kondisi kehidupan dari mereka ada di lapisan bawah struktur sosial, tentu komposisi panganan tersebut, bukanlah pilihan dari kelimpahan, melainkan pilihan dalam keterbatasan. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa keberadaan nasi sambal, adalah saksi dari keterbatasan itu sendiri. Sebagian kita barangkali dapat bercerita secara lebih lengkap, bagaimana praktek mengadakan nasi sambal. Yakni makan nasi yang hanya ditemani dengan sambal, Itupun, sambal dalam formasi yang sederhana, yakni cabe, bawang dan garam. Kadang ada yang menambahkan minyak jelantah, atau tambahan bumbu lainnya, yang bergantung pada ketersediaannya.
Mereka yang pernah menikmati nasi sambal, dalam posisi yang demikian itu, tentu akan dapat mendeskripskan dengan lebih jelas, yakni bagaimana makanan tersebut mampu mengatasi rasa lapar. Jika nasi yang tersedia cukup, maka sambal akan menjadi pendongkrak napsu makan, sehingga hanya dengan sambal, makan menjadi demikian lahap dan menghabiskan nasi dalam jumlah yang cukup. Pertanyaan tentang kecukupan gizi, dan turunannya, tentu tidak diperkenankan untuk ikut hadir. Semuanya itu, adalah tentang keterbatasan, di tengah kebutuhan mutlak metabolism tubuh. Nasi sambal bukanlah kelengkapan makan, melainkan keseluruhan makan itu sendiri. Atau dalam perkataan lain, nasi sambal bukan tentang (wisata) kuliner, melainkan strategi subsistensi – bertahan hidup. Maka tidak heran, jika sebagian dari mereka, menanam sendiri sebagian bahan pembuat sambal, untuk mengurangi pengeluaran. Hasil bumi pula yang memungkinkan nasi sambal, diperlengkap dengan “lalapan” atau lauk yang diambilnya sendiri dari kali, empang atau ternak yang dipelihara.
Apa yang hendak kita periksa lebih jauh adalah bahwa adalah ternyata, dapat dikatakan demikian, ada hubungan antara kehadiran nasi sambal dengan kenyataan hidup warga yang mengkonsumsinya. Nasi sambal dalam konteks ini, bukan tentang upaya pemenuhan gizi, atau tentang suatu ekspresi kulinari, melainkan juga suatu respons terhadap struktur ekonomi. Di tengah keterbatasan pilihan, masyarakat membangun jalan subsistensi untuk tetap bisa “menikmati” makan tanpa bergantung pada sumber daya yang tidak terjangkau. Dalam konteks desa, dengan hanya mengandalkan hasil tani dasar, warga mampu menciptakan hidangan yang terbatas tetapi tetap bernuansa. Kehadiran nasi sambal dengan demikian adalah bentuk adaptasi subsisten terhadap kenyataan, namun dalam batas-batas tertentu, sekaligus penegasan identitas sosial: sebuah pilihan yang lahir bukan dari kelimpahan, melainkan dari keterbatasan yang diterima sebagai kenyataan keras yang belum dapat diatasinya.
****
Apa yang kini dapat menjadi “obyek” studi adalah bahwa nasi sambal, telah hadir menjadi ikon kuliner yang punya daya tertarik tersendiri. Tentu yang dibicarakan di sini bukan kuliner tingkat tinggi, melainkan kuliner warga kebanyakan – yang setiap akhir minggu mampu membuat jalanan macet di kota-kota yang menjadi sasaran liburan pendek. Hampir sebagian besar, warung-warung atau resto, menyediakan nasi sambal, atau persisnya menyediakan “sambal” sebagai “produk” utamanya. Dan yang lebih menarik perhatian adalah kegairahan yang tidak terputus alias terus-menerus dari warga dalam memburu berbagai jenis sambal untuk disantap dengan nasi – yang telah makin bervariasi, mulai dari nasi merah, nasi jagung, dan lain-lain. Pada intinya, nasi sambal, berpindah dari meja warga yang penuh keterbatasan, ke meja-meja dari warung-warung atau resto, dalam kerangka wisata kuliner. Apa yang sesungguhnya yang sedang terjadi? Apakah suatu transformasi? Pergeseran biasa? Atau apa?
Ada beberapa hal yang makin menonjol ke permukaan: Pertama, tentu adalah apa yang ingin disebut di sini sebagai perpindahan: dari rumah ke luar rumah? Namun bagaimana yang dirumah-rumah itu sendiri? Apakah tetap bertahan, ataukah telah mengalami perbaikan? Kehadiran program makan bergizi, dari sudut yang lain, barangkali justru memperlihatkan adalah kemungkinan bahwa situasi tidak banyak berubah dan karena itu, suatu intervensi sengaja dilakukan secara massif. Kedua, tentang sang sambal, atau lebih spesifik hal tentang rasa pedas. Mengapa “rasa pedas”, secara tanpa disadari menjadi “rasa yang dominan”, setelah sebelumnya rasa manis mendominasi (segala-gala menggunakan rasa manis). Apakah penerimaan atas “rasa pedas” sebagai peristiwa budaya yang wajar, ataukah juga merupakan suatu respon atas suatu struktur ekonomi? Apa yang tengah direspon? Jika benar suatu respon, apakah ini adalah sejenis strategi kebudayaan yang tumbuh begitu saja sebagai peristiwa sosial, atau seperti apa? Yang jelas, harga cabe ikut menyumbang inflasi. Ketiga, tentang kenyataan dimana rasa pedas, kini telah mempunyai level kepedasan tersendiri, sehingga di tempat-tempat tertentu, pertanyaan tentang level kepedasan telah menjadi bagian dari dialog.
Kenyataan-kenyataan tersebut, sebenarnya hanya bagian kecil dari perubahan besar yang sedang berlangsung. Apa yang paling Nampak adalah bahwa nasi sambal telah mulai tidak lagi dipersepsikan sebagai makanan rumahan yang serba kekurangan, sebaliknya telah berkembang pandangan atau persepsi bahwa nasi sambal merupakan makanan “rumahan yang autentik”, atau “tradisional”, dan berbagai sebutan lainnya, yang intinya adalah bahwa nasi sambal merupakan kuliner yang bernilai positif dalam medan kuliner “modern”. Kesederhanaan nasi sambal dianggap sebagai jalan kembali ke akar, nostalgia terhadap kehidupan yang lebih murni dan apa adanya. Dalam restoran-restoran modern, nasi sambal tidak lagi dijual dengan citra keterbatasan, melainkan dengan citra rasa asli Indonesia yang perlu dibanggakan. Kesemuanya ini tentu bisa dianggap sebagai hal yang baik bagi kemajuan bangsa. Namun jika ditinjau lebih historis dan kultural, sangat mungkin dibalik itu semua terdapat sesuatu yang penting menjadi perhatian kita bersama. Mungkinkan kesemuanya itu ditelusuri dalam kerangka refleksi sosial? [Desanomia – 27.4.25 – TM]