Premanisme dan Pendidikan Kita

Sumber ilustrasi: unsplash

Oleh: Syamsudin, M.A.
7 Mei 2025 15.45 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Belum lama ini, masalah premanisme muncul sebagai sesuatu yang seakan-akan menginterupsi obrolan di kalangan masyarakat luas. Mulai dari berita tentang lingkungan sekitar, kekerasan di jalan, gangguan pada industry, hingga ke wilayah politik. Publik barangkali memahami premanisme sebagai istilah yang merujuk pada praktik kekuasaan informal yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang menggunakan cara “paksa” dengan segala bentuknya, untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok, di luar kerangka hukum sah.

Pada kesempatan ini, kita tidak hendak membatas premanisme dalam sudut legal-formal, akan tetapi menempatkannya sebagai problem sosial-politik dan edukasi. Mungkin kini waktu yang baik bagi publik untuk melakukan refleksi dengan cara berbeda. Yakni secara lebih jujur, memeriksa keberadaan premanisme dari sudut pandang pendidikan. Dari sudut ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah benar premanisme adalah masalah pendidikan?

Dampak

Apa dampak yang ditimbulkan ketika premanisme terus berkembang dan meluas? Secara keilmuan, dapat didekati dengan pandangan “anarki”, yang dalam hal ini, dipandang sebagai kondisi dimana power dijalankan di luar otoritas yang punya hak konstitusional untuk bertindak “paksa”, dan lebih dari itu, suatu kondisi dimana power dijalankan dengan tanpa norma keadilan dan kemanusiaan. Tentu saja kita tidak bisa menutup mata bahwa para pelaku sudah barang tentu memiliki pandangannya sendiri yang membenarkan tindakan tersebut. Namun jika dilihat dari kacamata bernegara, maka masalah ini sudah barang tentu menjadi masalah yang sangat serius.

Apabila dilihat dari sudut pandang hegemoni, maka premanisme akan terlihat bahwa praktek yang menghidupkan hegemoni kekuasaan informal yang menundukkan warga melalui kekuatan budaya dan tekanan fisik. Sementara itu, apabila ditinjau dari sudut pandang yang menganggap bahwa kekuasaan tidak hanya yang formal, atau kekuasaan sebenarnya ada dimana-mana, maka premanisme menjadi bentuk kongkrit dari pandangan itu. Yakni bahwa sesungguhnya ada kerja dari suatu “kuasa informal” dan bagaimana kuasa tersebut tidak hanya bekerja dari atas (negara), tetapi juga dari bawah dalam bentuk kontrol sosial informal.

Keberlangsungan premanisme, tentu akan punya dampak besar, jauh di luar soal “tindakan paksa”nya. Beberapa dampak dapat ditunjukkan di sini, antara lain: Satu, bahwa keberadaan premanisme, akan mudah dibaca sebagai ketidakhadiran negara. Secara demikian, akan mengerosi kepercayaan publik terhadap negara hukum (rule of law). Dua, bahwa di kalangan masyarakat kebanyakan, tentu akan berkembang rasa takut, dan pada gilirannya akan membentuk budaya ketakutan dan subordinasi. Tiga, bahwa di atas itu semua, praktek tersebut, akan berpotensi merusak legitimasi negara sebagai pelindung hak warga negara.

Problem Struktural

Apakah premanisme sepenuhnya cermin dari problem kriminalitas sebagaimana kacamata konvensional selama ini melihatnya? Ataukah masalah tersebut, sebenarnya merupakan cermin dari masalah yang lebih mendasar? Para ilmuwan sosial sebenarnya telah lama melihat masalah ini sebagai problem yang serius, yang tidak dapat dilepaskan dari realitas struktur sosial. Bahkan ada yang mengatakan bahwa keberadaan premanisme seakan-akan memberi petunjuk tentang apa yang ada “di bawah bukit es”. Premanisme tidak hanya dibaca sebagai gejala kriminalitas, melainkan dapat dibaca sebagai sebuah ekspresi dari ketimpangan struktural dalam masyarakat.

Satu, keberadaan premanisme seakan-akan menunjukkan tidak optimalnya tindakan otoritas dalam menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam masyarakat yang adil dan merata, tindakan kekerasan informal tidak memiliki ruang. Dua, berdasarkan itu semua, dapat dikatakan bahwa masyarakat seakan-akan belum tersusun sebagai institusi dengan prinsip keadilan distributif. Premanisme muncul justru ketika distribusi sumber daya, peluang, dan perlindungan hukum sangat timpang. Artinya, premanisme semacam tanda bahwa prinsip keadilan belum dijalankan dengan benar. Tiga, dalam situasi yang masih terus berlangsung, tidak terhindarkan berkembangnya pandangan yang seakan-akan ada pembiaran, dan bahkan sebagian mengatakan ada “perlindungan” dari oknum-oknum yang mengingkari sumpah jabatannya.

Pendidikan Kita

Sebagai awal kajian, hendak diusulkan di sini, untuk melihat masalah kompleks tersebut, menjadi bagian dari masalah pendidikan. Usulan ini sudah barang tentu tidak hendak menyederhankan, atau mengalihkan, melainkan justru hendak secara kreatif menemukan jalan utama bagi suatu penyelesaian yang lebih bersifat fundamental. Yakni, dengan menempatkannya sebagai bagian dari problem pendidikan.

Pandangan ini sekaligus sebagai refleksi kembali pendidikan kita pada momen peringatan Hari Pendidikan yang telah lalu. Pada titik inilah, kita barangkali perlu mengungkap dua aspek utama yang telah menjadi perhatian publik, yakni:

Satu, apa yang disebut sebagaireduksi peran pendidikan, yang dikatakan terlalu berfokus pada kognisi, lupa pada etika. Peran mulia, yakni membentuk manusia (humanisasi) seutuhnya, bergeser menjadi sekadar penghasil tenaga kerja dan penyedia skill. Akibatnya, munculnya premanisme tidak dianggap sebagai problem pendidikan, karena pendidikan hanya mengukur keberhasilan lewat angka dan nilai, bukan lewat watak sosial atau keadilan kolektif.

Dua, apa yang dapat kita sebut sebagai minimnya narasi etis dalam pendidikan. Premanisme, dalam bentuk paling dalamnya, adalah “kegagalan etika”. Subyek bertindak tanpa orientasi pada kebaikan bersama. Jika pendidikan tidak lagi mengajarkan dan menghidupi terus-menerus moral, etika sosial, dan kewargaan reflektif, maka wajar apabila kapasitas publik untuk mencegah yang merusak etika sosial, tidak tersedia secara optimal.

Keduanya, yang walaupun tidak mewakili kompleksitas problem, namun jika mendapatkan perhatian bersama, maka akan terbuka harapan dimana utama kita dapat diselesaikan pada jangka panjang. Perbaikan kedua hal tersebut, akan merupakan cara strategis dalam membangun masyarakat yang setia pada moral dan etika publik.

(Artikel ini telah terbit di harian Kedaulatan Rakyat, 6 Mei 2025)

Syamsudin, M.A.
Dekan Fisipol Universitas Proklamasi ‘45

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *