Pertanian Vertikal: Meningkatkan Produksi Tanpa Mengganggu Lingkungan

Sumber ilustrasi: freepik

8 Mei 2025 08.55 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [08.5.2025] Penelitian terbaru yang dipimpin oleh TUMCREATE, platform riset di Singapura milik Technical University of Munich (TUM), mengungkap bahwa pertanian vertikal memiliki potensi lebih dari sekadar budidaya selada. Tim peneliti mengkaji enam kelompok pangan yang dapat dibudidayakan secara vertikal, yaitu tanaman, alga, jamur, serangga, ikan, dan daging hasil kultur. Hasil studi menunjukkan bahwa sistem ini berpengaruh positif terhadap hasil panen sekaligus mengurangi dampak lingkungan, memperkuat peranannya dalam menjawab tantangan ketahanan pangan global.

Pertanian tradisional, menurut penelitian ini, menghadapi keterbatasan dalam kondisi tertentu seperti cuaca ekstrem atau tingginya kepadatan penduduk. Di sinilah pertanian vertikal dianggap sebagai alternatif strategis karena mampu memproduksi pangan di dekat konsumen, tanpa tergantung musim, serta menggunakan ruang secara efisien. Dr. Vanesa Calvo-Baltanás dari TUMCREATE menyebutkan bahwa pendekatan ini memungkinkan produksi pangan yang lebih berkelanjutan di wilayah urban.

Sebagai bagian dari proyek Proteins4Singapore, studi ini meneliti potensi produksi enam kelompok pangan di dalam sistem pertanian vertikal sepuluh lantai. Temuan menunjukkan bahwa dibandingkan pertanian konvensional, hasil protein per area meningkat drastis—hampir 300 kali lipat untuk tanaman dan lebih dari 6.000 kali lipat untuk jamur dan serangga. Selain itu, sistem pertanian lingkungan terkendali ini mengurangi kebutuhan akan lahan, serta menghilangkan penggunaan pestisida dan antibiotik.

Studi ini mendukung visi strategis Singapura melalui program “30-by-30” yang menargetkan 30% kebutuhan pangan diproduksi secara lokal pada tahun 2030. Hasil riset menunjukkan bahwa pertanian vertikal dapat menjadi komponen efisien dari strategi tersebut dengan pendekatan yang hemat sumber daya dan ramah lingkungan.

Tim peneliti juga menekankan bahwa potensi pertanian vertikal belum sepenuhnya dimaksimalkan. Profesor Senthold Asseng dari TUM menyatakan bahwa selain hasil panen, efisiensi dapat ditingkatkan lebih jauh dengan mengintegrasikan budidaya jamur dan serangga yang mampu memanfaatkan limbah pertanian untuk diubah kembali menjadi makanan bergizi.

Selain itu, jamur dan serangga dinilai sebagai komoditas ideal karena tidak membutuhkan banyak cahaya untuk tumbuh. Dengan menanam pangan yang membutuhkan energi rendah, biaya operasional dapat ditekan dan tantangan utama pertanian vertikal—yakni konsumsi energi tinggi—dapat diatasi.

Namun, tantangan utama tetap ada. Peneliti menyoroti dua hambatan besar: tingginya konsumsi energi serta rendahnya penerimaan masyarakat terhadap pangan alternatif seperti alga dan serangga. Oleh karena itu, dibutuhkan kemajuan teknologi, penelitian lintas disiplin, insentif kebijakan, dan pendekatan edukatif yang komprehensif untuk mendukung implementasi sistem ini secara luas.

Dr. Calvo-Baltanás menilai bahwa pertanian lingkungan terkendali berpotensi merevolusi sistem produksi pangan dan menyebutkan bahwa studi ini telah menyediakan kerangka kerja yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan, industri, dan komunitas ilmiah dalam mengambil keputusan strategis menuju produksi pangan yang berkelanjutan.

Buah Pikiran

Studi ini menjadi bukti kuat bahwa pertanian vertikal merupakan solusi masa depan yang menjanjikan dalam mengatasi tantangan global terkait krisis pangan dan keterbatasan lahan. Pendekatan berbasis teknologi tinggi ini memungkinkan produksi pangan yang intensif dalam ruang sempit, bebas dari gangguan iklim, serta efisien secara sumber daya. Apalagi, peningkatan hasil protein yang signifikan membuka peluang besar untuk mengubah cara dunia memproduksi dan mengonsumsi pangan.

Akan tetapi keberhasilan inovasi ini sangat tergantung pada kesiapan masyarakat dan negara dalam menerima perubahan paradigma. Diperlukan transformasi sosial yang mendorong penerimaan terhadap pangan non-konvensional, seperti serangga dan alga, serta kerangka regulasi yang mendukung inovasi teknologi. Tanpa dukungan kolektif ini, potensi besar pertanian vertikal bisa saja hanya menjadi wacana ilmiah yang tak menyentuh realitas lapangan. (NJD)

Sumber: ScienceDaily

Link: https://www.sciencedaily.com/releases/2025/05/250505121752.htm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *