Sumber ilustrasi: unsplash
11 Mei 2025 14.00 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Pada edisi lalu [Dialog (10)], telah ditampilkan percakapan kesembilan, yakni tentang ciri kesembilan, yakni relasional. Apa yang telah dipercakapkan adalah ciri pengetahuan setempat (selanjutnya, tahupat) yang memandang atau memahami realitas tidak terdiri atas objek terpisah, tapi jaringan relasi. Sebagai contoh adalah, bahwa gunung bisa hidup, sungai bisa mendengar, batu bisa menyimpan pesan, dan hal-hal lainnya. Yang hidup dan yang mati, yang tampak dan yang gaib saling berkait, dalam suatu jalinan makna. Adapun pada edisi ini, kita akan membahas ciri kesepuluh, yang terkait dengan hak. Yakni bahwa keberadaan tahupat, akan atau telah membawa tuntutan hak untuk tahu dan untuk diakui. Dalam dunia yang didominasi ilmu pengetahuan yang bersifat universal, tahupat, tidak terhindarkan akan menjadi bentuk resistensi epistemik. Menuntut ruang untuk cara tahu yang lain, tanpa harus tunduk pada rasionalitas hegemonik.
Sejak percakapan pertama [Dialog (1)], apa yang disebut sebagai “ketegangan” pandangan sudah terlihat. Dan sebenarnya, dialog dihadirkan untuk dapat membayangkan bagaimana jika dua “cara berpikir” bertemu. Pandangan ini tentu tidak dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa kedua cara berpikir tersebut, tidak pernah bertemu atau belum pernah bertemu. Sebutan pengetahuan lokal, adalah suatu kesaksian terhadap keberadaan “cara berpikir” yang disebut pengetahuan mainstream sebagai pengetahuan lokal. Artinya, jika ada anggapan bahwa pengetahuan mainstream menolak keberadaan pengetahuan lokal, tentu saja tidak benar. Meskipun memang, ada kesan yang sulit untuk diabaikan, yakni bahwa pengetahuan mainstream menjadi dominan, dan karena itu muncul kesan mengeksklusi yang lokal. Namun, kenyataan masalah krisis lingkungan global, masalah-masalah yang bersifat spesifik di suatu lokasi tertentu, masalah-masalah terkait dengan keterbatasan pengetahuan mainstream dalam “mengurus” masalah-masalah yang muncul secara lokal, sesungguhnya telah membangun kesadaran bahwa tidak mungkin ada jenis pengetahuan yang menguasai segala-gala. Untuk itulah, kehadiran pengetahuan lokal “diadakan” – dengan cara pengetahuan tersebut disebut sebagai pengetahuan lokal, untuk membedakan dengan pengetahuan mainstream yang bersifat universal dan obyektif. Dan dari sisi internal pengetahuan mainstream, kritik dan refleksi tidak berhenti, baik untuk menunjukkan kekeliruannya, maupun untuk memperlihatkan batas yang dapat dicapainya.
Percakapan imajiner yang dihadirkan di sini sebenarnya berangkat dari semangat menerima kenyataan bahwa kenyataan demikian kompleks, dan dalam kenyataan itu, disadari penuh bahwa mengetahui kenyataan sebagaimana adanya merupakan harapan dan bukan kenyataan itu sendiri. Para bijak dimasa lalu, mengatakan: bahwa ada banyak hal yang kita alami namun hanya sedikit yang bisa kita ketahui, dan ada banyak hal yang diketahui namun hanya sedikit yang bisa dikatakan. Bila diperkenankan, maka kita akan mengatakan bahwa pengetahuan mainstream adalah upaya untuk “mengatakan” apa yang telah diketahui, dengan cara mengembangkan “pikiran” yang daripadanya dapat diungkapkan apa yang (telah) diketahui. Dalam upaya tersebut, mungkin dapat dikatakan bahwa suatu resiko yang ditempuh, yakni mengambil jalan “menyederhanakan” yang kompleks, untuk menemukan segi-segi umum (universal), sehingga diperoleh pengetahuan yang mampu menjelaskan kenyataan secara “lebih baik”. Barangkali dari sinilah masalah muncul, yakni suatu masalah ketika pengetahuan mainstream berhadapan dengan pengetahuan yang berkembang bukan karena melakukan “penyederhanaan”, melainkan pengetahuan yang menerima kompleksitas sebagaimana adanya, dan mengetahui kompleksitas tersebut dengan “mengalami”nya.
Apakah hal tersebut benar-benar suatu masalah? Ataukah masalah tersebut sebenarnya hanya konstruksi yang timbul dari analisis. Atau, masalah tersebut hanya imajinasi yang sebenarnya tidak perlu, ketika membayangkan perjumpaan antara pengetahuan mainstream dan pengetahuan lokal (yang dalam serial Dialog ini, disebut sebagai pengetahuan setempat atau tahupat). Kita berharap, yang terakhir itulah yang sesungguhnya terjadi. Oleh sebab itu, rintisan kearah perjumpaan dua “cara berpikir” dikembangkan. Sangat disadari bahwa hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Dialog imajiner, dalam batas-batas dialog itu sendiri, telah memperlihatkan ketidakmudahan itu sendiri. Mengapa? Pertama tentu perlu kejelasan tentang apa yang disebut sebagai pengetahuan mainstrem, yang dalam dialog sering disebut secara bergantian, kadang ilmu, kadang ilmu pengetahuan dan kadang sains. Apakah pengetahuan mainstrem tersebut, termasuk ilmu-ilmu kealaman dan teknologi, ataukah hanya ilmu-ilmu sosial? Kejelasan ini sangat dibutuhkan, agar pokok problem atau hal yang potensial menjadi problem dapat diidentifikasi dengan baik. Kedua tentu pula perlu kejelasan apa yang disebut sebagai tahupat? Apakah semua jenis pengetahuan di luar yang mainstream, ataukah hanya tertentu saja, yakni pengetahuan desa (baca: sistem pengetahuan desa – SPD)? Kita mengetahui persis bahwa yang disebut sebagai pengetahuan lokal sangat kaya, dan sangat mungkin dari segi metode juga sangat kaya.
Dua hal tersebut, diakui hanya sebagian dari ketidakmudahan dalam merintis jalan bagi pertemuan dua tradisi pemikiran. Tidak hanya itu. Disadari pula bahwa inisiatif ini, berpotensi untuk disebut sebagai “berlebih-lebihan” atau bahkan disebut sebagai “tidak pada tempatnya”. Dari sudut akademi, bisa saja prakarsa ini dianggap “gangguan”, karena dipandang terlalu menggeneralisir. Lain dari itu, mungkin akan dikatakan bahwa inisiatif ini, terkesan tidak mengetahui persis duduk persoalan. Sementara di pihak akademi sendiri, terus melakukan refleksi dan kritik diri, untuk agar lebih “membumi” atau makin dekat dengan kenyataan, yang memang menjadi salah satu maksudnya adanya, yakni dengan ilmu pengetahuan mencapai kenyataan dan kebenaran. Sementara itu, dari sudut tahupat atau SPD, barangkali inisiatif ini, justru dianggap sebagai langkah yang kurang sesuai dengan apa yang kini tengah diupayakan, yakni berintegrasi penuh dengan pengetahuan mainstream. Hal ini nampak dari arus urbanisasi, hilangnya sebagian peralatan bertani dan digantikan dengan peralatan modern, bekerjanya “kalender eksternal, menggantikan kalender setempat, dan banyak lagi perubahan yang lain. Adanya dana desa, dan berbagai proyek pembangunan, yang membawa ide kemajuan, telah mentransformasi desa, dan dalam situasi yang demikian, desa tampak menerima hal tersebut sebagai arah masa depannya, dan bukan hal yang harus dihindarinya.
Apakah kenyataan kompleks tersebut, akan membuat inisiatif ini surut? Tentu saja tidak. Karena inisiatif ini berangkat dari dua pokok, yakni (1) ada masalah besar yang mengancam kehidupan kita bersama, baik desa maupun luar desa, yakni perubahan iklim, yang dari hari ke hari makin banyak memakan korban. Apa yang ingin kita sebut sebagai “bencana artifisial”, atau bencana yang muncul akibat intervensi berlebihan dari manusia pada alam, telah makin tinggi dari segi frekuensi kemunculan dan makin luas dari segi wilayah. Banjir, tanah longsor, polusi dan tata ruang yang membuat warga hidup dalam keterancaman, merupakan kenyataan yang makin tidak dapat diabaikan. Bukan hanya itu, kebutuhan pangan yang makin bergantung kepada rekayasa, dan artinya makin sulit untuk mengandalkan tahupat, merupakan kenyataan lain yang membuat upaya menahan laju perubahan iklim makin sulit. Apa yang sangat dikhawatirkan adalah ketika perubahan iklim benar-benar menyerang produksi pangan, dan akibatnya aka nada krisis pangan yang tidak bisa diatasi dengan pengetahuan mainstream, sementara tahupat telah hilang; dan (2) makin lebarnya kesenjangan sosial, sebagai akibat pemusatan sumber-sumber kemakmuran, dan pada saat yang bersamaan, warga makin tidak mampu melihat dan menemukan sumber-sumber kemakmuran yang tersedia ditempatnya bermukim. Apa yang sangat dikhawatirkan adalah keadaan dimana cara-cara dengan wisdom telah tidak tersedia, dan sebaliknya distribusi yang didasarkan pada kecukupan, keadilan dan keberlanjutan, tidak kunjung berjalan.
Atas dasar dua masalah yang paling menonjol itulah, dan atas dasar keyakinan bahwa para pihak juga dalam semangat yang sama, bahwa kita membutuhkan lebih banyak pengetahuan untuk menghadapi dunia yang makin “tidak bersahabat”. Pernyataan tidak bersahabat di sini, tidak perlu diartikan sebagai sikap bermusuhan dengan dunia, melainkan untuk menggambarkan bahwa kita telah makin tidak mengenali dunia itu sendiri, dan akibatnya dunia juga makin tidak bersahabat. Ebiet G Ade, punya frasa yang bijak, ketika dia mengatakan: “mungkin alam telah bosan”. Pada titik inilah, kesadaran baru dibutuhkan. Suatu kesadaran untuk melakukan refleksi bersama. Suatu refleksi yang dilakukan dengan jujur dan tulus. Suatu refleksi yang diharapkan mampu membimbing kita kepada kesadaran yang dibutuhkan, untuk merawat kehidupan dengan kecukupan, keadilan dan keberlanjutan. Bagi dunia akademi, barangkali inilah “jalan” untuk mencapai apa yang dulu pernah diucapkan, yakni menemukan akar keIndonesiaan, dalam cara berpikir, yang sekaligus memperlihatkan adanya suatu “kedaulatan epistemik” [pandangan ini mengacu pada lahirnya perguruan tinggi pada masa revolusi, yang mengatakan kehadirannya berdasarkan cita-cita bangsa, dasar negara dan kebudayaan Indonesia]. Bagi desa, barangkali inilah “jalan” untuk menemukan kembali kekuatan utamanya, yakni sebagai basis utama bangsa, sebagaimana yang diakui negara ketika hendak didirikan, bahwa desa telah ada sebelum negara ada. [catatan: bagian ini akan diulas secara khusus, dalam Dialog 12 – yang merupakan catatan seluruh seri dialog]
Dalam kesadaran baru pula, kita sampai pada ujung dialog, yang akan mempercakapkan apa yang disebut hak. Yakni ketika keberadaan tahupat dengan seluruh ciri yang telah diuraikan, tiba pada apa yang disebut sebagai aspirasi politik. Sebutan aspirasi politik tentu saja kurang tepat dan terasa sekali tidak mampu menangkap realitas yang kompleks. Penggunaan frasa ini lebih untuk memberikan “penonjolan” agar urgensi tampil ke permukaan. Apa yang diharapkan adalah suatu rekognisi. Namun tidak sekedar teks yang termuat dalam ketentuan atau peraturan, melainkan suatu praktek nyata yang dijumpai dalam realitas sosial. Pengakuan yang berwujud nyata dalam kehidupan kongkrit. Dalam nuasa itulah, kita tutup seluruh percakapan. Dan beginilah percakapan umum atas masalah tersebut:
X:
Sebagai ujung percakapan, hendak dikatakan di sini, bahwa seluruh argumentasi mengenai keberadaan tahupat sebagaimana yang telah ditunjukan dengan sembilan ciri, dan percakapan ini menjadi ciri kesepuluhnya, merupakan upaya menampilkan tahupat secara utuh. Tidak bisa diingkari, bahwa upaya ini, terlalu menyederhanakan masalah yang kompleks dan tidak terkatakan. Dan harus diakui, bahwa cara penyederhaan adalah metode yang dikritik, namun terpaksa juga digunakan. Kesemuanya ditempuh, dalam upaya agar keberadaan tahupat diketahui secara lebih persis, dipahami, diterima dan diakui, serta menjadi pengakuan yang berwujud nyata. Karena keterbatasan itulah, sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya: satu, terasa disana sini terdapat pengulangan, yang sebenarnya bukan pengulangan, melainkan penegasan dan penekanan, terhadap hal fundamental; dua, terasa kesulitan untuk mengatakan yang tidak terkatakan, karena itu, banyak dijumpai diksi negara, seperti “bukan”, “tidak”, dan seterusnya, yang bagi sebagian kalangan, terasa seperti terus dibayang-bayangi oleh cara berpikir yang dikritiknya; dan tiga, tidak terhindarkan, bahwa bangunan argumentasi yang disusun, memiliki kemiripan atau setidak-tidaknya akan dituding “mencontek” metode ilmu dalam mengungkapkan suatu pengetahuan. Dengan keterbatasan itu, tahupat akan menuntaskan argumentasi, begini:
Tahupat tidak pernah benar-benar bisu, meski hadir dalam lanskap wacana yang tidak menyebut namanya. Tidak selalu berteriak, tidak menyusun manifestonya dalam jurnal akademik, dan tidak menampilkan dirinya dalam rancangan kebijakan publik. Namun dalam kerjanya yang tak henti, yakni dalam siklus musim, dalam nama-nama tempat, dalam cara membaca langit dan menandai arah angin, tahupat sesungguhnya mengandung dimensi politik. Tidak menentang dengan senjata logika diskursif, melainkan dengan keteguhan untuk tetap hadir, dengan cara sendiri, di dunia yang terus mencoba melupakannya.
Jika di sini disebut dimensi politik, maka jangan terburu-buru dimaknai sebagai hasil dari strategi yang tengah dirancang untuk menggugat secara terbuka. Dimensi tersebut lahir dari ketegangan yang dibiarkan mengendap lama: antara yang berbicara dan yang tetap diam, antara yang dijadikan pusat dan yang dikesampingkan, antara yang diakui dan yang disingkirkan dari struktur pengakuan. Ketika sistem pengetahuan dominan, yang hadir sebagai ilmu modern, pendidikan formal, hukum negara, dan bahasa kebijakan, tidak memberi tempat bagi cara tahu yang berbeda, maka bertahan dengan pengetahuan sendiri adalah tindakan politik. Bukan dalam arti partisipasi dalam kontestasi kekuasaan formal, tetapi dalam makna yang lebih mendasar: mempertahankan hak untuk mengetahui dunia dengan horizon makna yang tidak direduksi oleh norma eksternal.
Tahupat, dalam konteks ini, bukan sekadar sistem informasi alternatif. Namun, jika boleh dikatakan begitu, merupakan ruang otonomi epistemik yang berakar pada relasi hidup. Ketika suatu komunitas menamai tanahnya dengan istilah yang hanya bisa dipahami dalam bahasa mereka sendiri, mereka sedang menyusun peta yang tidak hanya menunjuk lokasi, tetapi juga mengikat sejarah, perasaan, dan tanggung jawab. Ketika mereka menandai datangnya musim melalui suara burung, warna daun, atau bentuk awan, mereka tidak hanya membaca alam, tetapi juga menyatakan bahwa hidup tidak harus tunduk pada kalender yang dicetak dari luar. Dalam tindakan-tindakan (yang mungkin dianggap) kecil ini, terdapat posisi: bahwa cara mengetahui yang mereka warisi dan rawat layak hidup, bukan karena disahkan oleh pihak luar, melainkan karena telah teruji oleh kehidupan itu sendiri.
Namun, dunia tempat tahupat hidup adalah dunia yang tak selalu ramah. Lokalitas secara riil berhadapan dengan struktur negara yang cenderung menyeragamkan, dengan sistem pendidikan yang tidak menampung bahasa ibu, dengan proyek pembangunan yang menganggap tradisi sebagai hambatan. Dalam situasi ini, keheningan bukan sekadar ketiadaan suara, tetapi strategi bertahan. Tahupat belajar untuk menyembunyikan dirinya di tempat-tempat yang tak tersentuh: dalam ritual yang tidak terdokumentasi, dalam praktik pertanian yang disebut “kuno”, dalam nyanyian yang hanya dinyanyikan di ladang, atau dalam doa yang tak tercatat. Mungkin terasa dramatik, namun realitas berjalan seperti itu. Maka jika boleh berkata, mungkin tahupat akan berkata: kami tidak punah, tetapi hanya berpindah ke wilayah yang tidak mudah didekati oleh aparatus dominasi.
Karena itu, perlu dipahami secara jernih, bahwa keheningan dalam tahupat bukanlah bentuk kepasifan, melainkan artikulasi yang berbeda. Ini adalah bahasa yang tidak selalu terbaca oleh struktur modernitas, tetapi penuh dengan cara untuk menyatakan keberadaan, hak, dan daya. Dalam keheningan ini, terkandung penolakan terhadap bentuk legitimasi tunggal yang mengklaim hak atas definisi pengetahuan. Hal ini bukan romantisasi tentang masa lalu, tetapi tawaran cara hidup yang mengandung alternatif: bahwa dunia bisa dibaca dengan cara lain, dan bahwa keberadaan bisa dirawat dengan pengetahuan yang tidak selalu tampil dalam format dominan.
Politik dari tahupat adalah “politik representasi”. Pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang memegang kuasa, tetapi siapa yang boleh dianggap tahu. Siapa yang dipercaya untuk menjelaskan suatu wilayah? Siapa yang diundang ke meja pengambilan keputusan tentang hutan, tanah, dan air? Terlalu sering, suara komunitas hanya hadir sebagai “data”, bukan sebagai narrator dari yang berhak; sebagai “informan”, bukan sebagai pembentuk teori. Maka membuka ruang agar tahupat bicara dalam bahasanya sendiri bukan hanya tindakan inklusi, namun mungkin adalah pembongkaran atas struktur eksklusi epistemik yang selama ini berjalan halus dan sistemik.
Karena itulah, mempertahankan tahupat bukan sekadar soal konservasi budaya, tetapi bentuk pengakuan terhadap keberagaman cara tahu sebagai fondasi keadilan epistemik. Dalam dunia yang makin tergantung pada narasi tunggal dan logika universalitas yang sempit, tahupat menyodorkan sesuatu yang tak mudah dikalkulasi: kewajiban untuk mendengar yang tak memaksa, dan komitmen untuk melihat tanpa mendominasi. Kesemuanya itu realitas yang mengingatkan bahwa dunia tidak harus dikendalikan untuk dipahami, dan bahwa tidak semua kebenaran bersuara dengan lantang. Sebagian justru tinggal dalam diam (bermukim) yang sabar, dalam ingatan kolektif yang menolak dijinakkan oleh katalog akademik.
Tahupat, dalam seluruh keheningannya, adalah kekuatan yang menegaskan keberlanjutan bukan sebagai proyek, tetapi sebagai warisan tanggung jawab. Tahupat tentu menolak dilenyapkan, namun bukan dengan perlawanan frontal, tetapi dengan tetap hidup, tetap diwariskan, dan tetap membentuk cara manusia merawat dunia. Inilah bentuk politik yang tidak bising, tetapi mendalam. Bukan karena tidak mampu berteriak, tetapi karena memilih menyatakan diri lewat keberadaan yang tak tergantikan. Dan dalam dunia yang terus mengabaikan suara yang tidak menyerupai dirinya sendiri, tahupat menghadirkan semacam kehadiran yang tak bisa diabaikan, yakni tetap di sana, tak tersentuh oleh kebijakan, tak terbaca oleh statistik, tapi terus menyusun dunia dari akar.
Y:
Ilmu pengetahuan, dengan rasa ingin tahunya, tentu mendengarkan dengan seksama, semua dalil dan argumentasi yang diajukan tahupat, termasuk tentang dimensi politik dimana tahupat menyampaikan suatu wacana yang kuat mengenai eksistensi pengetahuan di luar struktur dominan, terutama ilmu dan sistem akademik formal. Apa yang disuarakan adalah tentang pentingnya kehadiran bentuk-bentuk tahu yang tidak mengandalkan artikulasi diskursif, tidak tampil dalam ruang otoritatif, dan tidak tunduk pada kerangka pengesahan formal. Ilmu memandang bahwa penjelasan tersebut, telah bergerak dari argumenasi menuju aspirasi. Ada tertangkap kuat keinginan untuk dapat diterima. Dan sebagai suatu cara tahu, yang telah dipergunakan komunitas, tentu saja tidak ada salahnya untuk diterima sebagai kenyataan budaya.
Soalnya tentu bukan realitas budaya. Yang menjadi soal, adalah ketika cara tahu itu, tidak sekedar suatu kenyataan budaya, namun menjadi suatu sistem pengetahuan tersendiri, yang pada dirinya, termuat eksklusivitas atas nama lokalitas. Terhadap hal tersebut, ilmu akan mengatakan bahwa argumentasi yang sebenarnya adalah aspirasi, sebenarnya menunjukkan sejumlah kelemahan epistemik yang mendasar. Dan khusus terkait masalah yang diangkat, yakni soal politik, maka yang dipersoalkan adalah dalam caranya mempersepsikan kekuasaan, memaknai “diam”, serta menyusun legitimasi kebenaran tanpa menyediakan alat konseptual untuk pertanggungjawaban bersama. Apa yang dihindari adalah eksklusivitas.
Pertama, meskipun dalam kasus ini, ilmu berniat memperlihatkan bahwa tahupat mengandung resistensi yang sunyi terhadap struktur dominasi, dan terlalu mudah mengasumsikan bahwa keheningan itu sendiri adalah bentuk artikulasi yang cukup. Kritik ilmiah terhadap asumsi ini tidak dimaksudkan untuk menolak keberadaan artikulasi non-verbal atau simbolik, tetapi untuk menegaskan bahwa dalam ranah pengetahuan, ketertutupan terhadap pengujian, penjelasan, dan pengungkapan konseptual menjadi masalah serius ketika klaim kebenaran diajukan. Jika pengetahuan hanya dimengerti sebagai “yang dijalani dalam kesunyian” dan “yang diwariskan tanpa ditafsirkan ulang”, maka bagaimana kita membedakan antara yang bermakna dan yang sekadar dipertahankan karena tidak sempat atau tidak boleh dipertanyakan?
Sekali lagi, ilmu tidak menolak bahwa ada cara tahu lain, tetapi menuntut agar semua cara tahu, apa pun asal-usulnya, hendaknya bisa dihadirkan dalam ruang dialog yang memungkinkan kritik dan klarifikasi. Tahupat yang menyebut dirinya sebagai ruang “otonomi epistemik” nampak menolak keterbukaan ini, atas nama melindungi konteks. Tapi dari perspektif ilmiah, konteks bukan tameng untuk menolak tanggung jawab intelektual. Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa tidak semua yang dikatakan “berakar pada kehidupan” serta-merta memiliki kebenaran konseptual atau manfaat praktis. Apalagi jika pengetahuan itu hendak dijadikan dasar bagi kebijakan publik atau pengelolaan sumber daya bersama. Keengganan untuk mendefinisikan, menjelaskan, dan membuka diri terhadap pertanyaan bukan bentuk kebijaksanaan, melainkan kekurangan dalam kerangka validasi bersama.
Kedua, narasi yang dikembangkan telah membingkai relasi antara ilmu dan tahupat secara dikotomis dan politis: satu adalah dominasi, yang lain adalah keberlanjutan diam-diam. Tapi pembacaan seperti ini mengabaikan kenyataan bahwa ilmu sendiri bukan monolit kuasa, melainkan ekosistem reflektif yang terus-menerus mengoreksi dirinya. Banyak cabang keilmuan modern, terutama dalam sosiologi ilmu, ekologi kritis, antropologi partisipatif, justru mengangkat pentingnya suara setempat, metode partisipatif, dan refleksi terhadap bias kolonialisme epistemik. Menyederhanakan ilmu sebagai sistem kekuasaan semata adalah reduksi ideologis yang tidak hanya salah sasaran, tetapi juga menutup kemungkinan kerja sama antara dua tradisi epistemik ini.
Ketiga, hendak dikatakan di sini bahwa ilmu sebenarnya mengidealkan tahupat sebagai kekuatan yang hidup “di luar statistik dan kebijakan”, dan karena itu bersih dari kooptasi. Tapi pertanyaannya adalah: apa yang terjadi jika bentuk pengetahuan seperti itu dibutuhkan dalam ruang keputusan yang menyangkut banyak orang? Dalam pengelolaan sumber daya alam, perencanaan desa, atau mitigasi bencana, tidak cukup bagi suatu komunitas untuk mengatakan bahwa mereka “tahu secara diam-diam”. Mereka perlu mengartikulasikan pengetahuan itu, bukan agar kehilangan makna, tetapi agar bisa diuji, disandingkan, dan dipertimbangkan bersama pengetahuan lain. Politik pengetahuan bukan hanya soal representasi, tetapi juga soal akuntabilitas epistemik. Suara setempat yang tidak bisa diuji atau dijelaskan tidak bisa menjadi dasar bagi keputusan kolektif yang adil.
Keempat, gagasan bahwa keheningan adalah bentuk perlawanan mengandung potensi jebakan romantisasi. Dalam sejarah, terlalu banyak keheningan yang bukan pilihan sadar, melainkan hasil dari represi struktural, keterbatasan ekspresi, atau ketimpangan pendidikan. Menyebut semua bentuk “diam” sebagai kekuatan tanpa menggali secara kritis konteksnya berisiko memelihara ketertinggalan dalam wujud resistensi. Ilmu pengetahuan mempertanyakan itu bukan karena tidak menghargai bentuk lain dari artikulasi, tetapi karena meyakini bahwa keberdayaan epistemik juga mencakup kemampuan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan, bukan hanya bertahan dalam ketakterbacaan.
Akhirnya, narasi yang menempatkan tahupat sebagai satu-satunya alternatif etis dalam menghadapi dunia yang “mengabaikan suara yang tak menyerupai dirinya sendiri” juga menutup kemungkinan bahwa ilmu pun sedang berjuang untuk menjadi lebih reflektif, plural, dan terbuka. Klaim seperti “ia tetap di sana, tak terbaca oleh statistik” mungkin puitis, tetapi dari sisi ilmu, menjadi “tak terbaca” bukan keistimewaan, melainkan keterbatasan. Jika kita ingin memperjuangkan keadilan epistemik, maka semua bentuk pengetahuan, tahupat maupun ilmiah, perlu berani bertanya: bagaimana kita bisa didengar tanpa menutup diri dari perbandingan dan pengujian? Itu bukan tuntutan dominasi, tapi panggilan untuk menjadikan pengetahuan benar-benar bertanggung jawab, bukan hanya terhadap warisan, tetapi terhadap masa depan bersama. Apakah hal seperti ini sudah diterima?
X:
Kritik dari ilmu pengetahuan terhadap dimensi politis tahupat, tampak sebagai upaya untuk menyerukan rasionalitas, keterbukaan, dan akuntabilitas epistemik. Kita perlu berterus terang, bahwa dari perspektif yang lebih reflektif dan kritis, argumentasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari bias epistemologis yang mengakar dalam paradigma ilmu modern: yaitu kepercayaan mendalam terhadap obyektivitas dan universalitas sebagai prasyarat sah bagi segala bentuk pengetahuan. Kritik ini secara tak langsung mempertahankan posisi epistemik dominan, bahwa pengetahuan harus bisa diuji, direplikasi, dan dikomunikasikan melalui sistem representasi formal agar layak dianggap benar. Di sinilah justru letak masalahnya: ilmu telah menempatkan dirinya bukan hanya sebagai satu bentuk pengetahuan di antara yang lain, melainkan sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang dapat menetapkan syarat bagi pengetahuan lain.
Kita perlu menegaskan dan kalau perlu mengulang-ulang, bahwa konsepsi tentang objektivitas dalam ilmu sering diasumsikan netral, padahal sejatinya dibentuk oleh sejarah, bahasa, dan struktur kekuasaan tertentu. Gagasan bahwa pengetahuan harus dapat dijelaskan dan diuji secara intersubjektif berasal dari konteks historis pembentuknya, di mana pemisahan antara subjek dan objek, antara fakta dan nilai, menjadi fondasi filsafat ilmu. Ketika prinsip ini dipaksakan sebagai standar universal, maka secara diam-diam terjadi proses monopoli epistemik: hanya bentuk-bentuk pengetahuan yang kompatibel dengan format logis-rasional dan metodologis-analitik yang diberi ruang dalam forum kebijakan, pendidikan, dan sirkulasi keilmuan global. Maka, permintaan agar tahupat “mengartikulasikan diri” dalam kerangka ilmu suatu bukanlah permintaan netral, tetapi suatu proses asimilasi epistemik yang mengharuskan bentuk tahu lain untuk membungkus dirinya dalam logika dominan.
Kritik ilmu terhadap keheningan sebagai artikulasi epistemik pun menyingkap bias ini. Keheningan dalam tahupat bukanlah penolakan terhadap pertanggungjawaban, melainkan cara mempertahankan makna dari bentuk reduksi dan dekontekstualisasi. Tidak semua bentuk tahu ditujukan untuk disebarluaskan atau diuji oleh yang tak berbagi dunia hidup yang sama. Ketika ilmu menuntut agar semua klaim disampaikan dalam kerangka proposisional, maka yang terjadi bukan pembukaan dialog, melainkan pembentukan hierarki komunikasi, di mana hanya yang dapat dijelaskan dalam bahasa dominan yang akan didengar. Dalam dunia yang terdiri dari begitu banyak komunitas hidup, bahasa yang terlalu cepat menuntut “pengujian terbuka” justru mengabaikan bahwa banyak pengalaman tidak dibangun untuk ditransmisikan, melainkan untuk dijalani bersama dalam keheningan yang reflektif. Mengapa hal yang demikian jelas, terasa sulit dimengerti?
Ilmu pengetahuan menyebut dirinya reflektif, terbuka terhadap kritik, dan tidak monolitik, dan memang, ada banyak usaha internal dalam ilmu untuk mengoreksi bias kolonial, patriarkal, dan antroposentris. Namun refleksi tersebut tetap berlangsung dalam ruang epistemiknya sendiri, dan sangat jarang benar-benar menyerahkan kriteria sah pengetahuan kepada sistem lain. Bahkan ketika ilmu bersikap “inklusif” terhadap tahupat, sikap itu terasa bersifat instrumen: tahupat digunakan sejauh dapat dimobilisasi untuk memperbaiki akurasi data iklim, mendukung konservasi, atau mengefisienkan tata ruang. Dalam hal ini, tahupat tidak dilihat sebagai epistemologi yang utuh, tetapi sebagai sumber data kualitatif atau perangkat kebudayaan yang perlu “ditafsirkan” ke dalam bahasa ilmiah.
Keengganan tahupat untuk menyesuaikan diri dengan format formalistik bukan karena ketakutan terhadap kritik, melainkan karena kesadaran akan ketimpangan epistemik yang telah berlangsung lama. Sejarah panjang penaklukan epistemik, di mana cara hidup, bahasa, dan sistem simbol masyarakat setempat disingkirkan demi sistem pengukuran, klasifikasi, dan perencanaan modern, telah meninggalkan luka struktural. Oleh karena itu, tahupat yang memilih untuk tetap dalam bentuknya, yang tidak mudah diakses atau dibakukan, justru sedang mengajukan tantangan filosofis: bahwa ada cara untuk mengetahui, yang tidak lahir dari dominasi jarak, tetapi dari kedekatan, kesetiaan, dan kesabaran terhadap dunia.
Lebih dari itu, kritik terhadap apa yang disebut sebagai “ketertutupan” atau “romantisasi diam” dalam tahupat sering mengabaikan fakta bahwa ilmu pun memiliki zona-zona ketertutupan yang sangat kuat. Banyak proses produksi pengetahuan terjadi di balik institusi yang eksklusif, menggunakan bahasa teknis yang tidak bisa diakses oleh publik luas, dan tidak selalu responsif terhadap dampak sosial dari temuan-temuannya. Maka, jika keterbukaan menjadi ukuran utama nilai epistemik, maka ilmu pengetahuan juga harus membuka ruang bagi bentuk artikulasi lain yang tidak selalu verbal, proposisional, atau metodologis. Ilmu pengetahuan harus bersedia mendengar dalam bentuk-bentuk keheningan, simbol, dan praktik yang tidak bisa direduksi menjadi data atau teori.
Dalam situasi epistemik global yang masih sangat asimetris, ajakan untuk “menyandingkan dan menguji” antar pengetahuan menjadi kontradiktif jika syarat penyandingan dan pengujian hanya ditentukan oleh satu paradigma. Maka, permintaan dari tahupat agar didekati dengan kepekaan etnografis, bukan dengan instrumen rasional-formal, bukanlah bentuk resistensi irasional, melainkan permintaan untuk keadilan epistemik yang sungguh-sungguh. Jika ilmu benar-benar ingin membangun ruang bersama, maka harus mulai dari melepaskan klaim-klaim epistemologis yang diselubungi jargon netralitas, dan mengakui bahwa keterbukaannya selama ini belum menyentuh struktur dasarnya: asumsi tentang apa yang layak disebut sebagai “tahu”.
Dengan demikian, respon balik terhadap kritik ilmu ini bukan penolakan terhadap ilmu itu sendiri, tetapi seruan untuk membongkar bias epistemiknya yang terus mereproduksi diri dalam bentuk “kewajaran metodologis” dan “rasionalitas universal”. Tanpa refleksi radikal terhadap posisi dan pretensinya sendiri, ilmu akan terus menampilkan dirinya sebagai mediator netral, padahal adalah bagian dari sistem kekuasaan simbolik yang menentukan siapa yang boleh bicara, dengan bahasa apa, dan dalam kerangka siapa. Dalam dunia yang sungguh plural, kesetaraan epistemik tidak bisa hanya berarti membuka ruang bagi suara lain, tetapi menuntut perombakan terhadap siapa yang selama ini menentukan bentuk ruang itu sendiri. Mungkinkah kesetaraan epistemik diwujudkan?
Y:
Tahupat, dalam tanggapannya terhadap kritik ilmiah, menampilkan narasi yang menggugah tentang marginalisasi epistemik, dominasi metodologis, dan hegemoni rasionalitas modern. Bahkan di ujung menyampaikan pertanyaan penting: Mungkinkah kesetaraan epistemik diwujudkan? Sangat terasa suatu keberatan fundamental. Keberatan bahwa ilmu, dengan tuntutan objektivitas dan universalitasnya, telah memaksakan kerangka kebenaran yang tidak memberi ruang bagi bentuk-bentuk pengetahuan lain yang bersifat kontekstual, simbolik, atau terbenam dalam praktik hidup komunitas. Bagi ilmu, kritik semacam itu, betapapun kuat secara retoris, dapat dikatakan sebagai kritik yang didasarkan pada kesalahpahaman mendasar tentang apa itu ilmu, bagaimana caranya bekerja, dan apa yang menjadi cita-cita epistemologisnya.
Pertama dan yang paling penting: ilmu tidak pernah mengklaim netralitas absolut. Justru yang menjadi kekuatan utama ilmu bukanlah klaim “pasti benar” atau “tidak memihak”, melainkan bahwa ilmu pengetahuan menyusun dirinya sedemikian rupa agar setiap klaim dapat dipertanyakan, dikoreksi, dan disempurnakan secara terbuka. Inilah yang membedakannya dari sistem pengetahuan lain yang sering kali mempertahankan klaim kebenaran dalam kerangka yang tak dapat ditinjau ulang secara bebas. Ketika tahupat mengkritik ilmu karena mendasarkan dirinya pada prinsip verifikasi dan pengujian lintas konteks, yang sebenarnya dikritik adalah komitmen ilmu pengetahuan terhadap tanggung jawab publik atas klaim-klaimnya. Tanpa prinsip ini, tidak ada cara membedakan antara keyakinan yang didukung oleh bukti dan yang tidak.
Kedua, tuduhan bahwa ilmu secara diam-diam memaksakan bentuk universalitas dan menghapus pluralitas epistemik merupakan simplifikasi yang gagal membedakan antara kerangka kerja universal dan isi partikular. Ilmu memang beroperasi dengan kerangka kerja yang memungkinkan penyandingan dan pengujian lintas konteks, tetapi isi dari pengetahuan ilmiah, temuan, interpretasi, dan hipotesis, terus berubah, dibentuk oleh tempat, oleh sejarah, oleh kebutuhan. Menganggap bahwa prinsip uji dan replikasi adalah bentuk dominasi adalah seperti menyalahkan jembatan karena ilmu meminta struktur agar dapat berdiri tegak.
Tanpa kejernihan, dan lebih-lebih dengan pandangan yang telah penuh prasangka, akan membuat ilmu mudah disalahpahami, antara lain dituduh melawan keragaman. Ilmu bukan melawan keragaman, tetapi berusaha membuat keragaman itu bisa dibicarakan bersama, dan ini membutuhkan bahasa bersama, bukan untuk menyeragamkan makna, tetapi untuk menjamin bahwa setiap klaim bisa dibaca, diuji, dan dipahami tanpa harus hidup dalam pengalaman yang sama.
Ketiga, tahupat dalam kritiknya tampak memperlakukan bentuk artikulasi, yakni pemodelan, kategorisasi, abstraksi, sebagai bentuk kekerasan epistemik. Ini adalah salah kaprah. Proses abstraksi dalam ilmu bukan upaya menghapus makna, melainkan usaha membedakan antara aspek-aspek realitas yang bisa digeneralisasi dan aspek-aspek yang bersifat setempat atau kontekstual. Tanpa proses ini, tidak mungkin ada pertukaran pengetahuan lintas wilayah atau kolaborasi lintas disiplin.
Ketika tahupat menolak artikulasi atas nama “melindungi makna”, justru menutup pintu bagi bentuk kerjasama epistemik yang lebih luas, yang seharusnya bisa memperkuat suara setempat itu sendiri. Ilmu tidak pernah menuntut bahwa semua pengalaman harus diterjemahkan secara sempurna, tetapi kita memerlukan indikator, parameter, dan konsep agar pengalaman-pengalaman itu bisa dijadikan dasar untuk tindakan kolektif.
Keempat, klaim bahwa ilmu memiliki monopoli epistemik karena menentukan apa yang layak disebut pengetahuan mengabaikan fakta bahwa dalam ilmu pengetahuan sendiri penuh dengan perdebatan internal mengenai kriteria kebenaran. Dalam sejarahnya, ilmu selalu berevolusi, “meninggalkan” teori Newton “demi” relativitas Einstein, membuka ruang bagi teori chaos, mengadopsi epistemologi kuantum yang bertentangan dengan determinisme klasik. Dan banyak lagi perdebatan dan penemuan baru. Jika ilmu tampak tegas dalam menetapkan syarat-syarat pengetahuan, itu bukan karena kesombongan, tetapi karena tanggung jawab: setiap pengetahuan yang disebarluaskan, yang berdampak pada kebijakan publik, lingkungan, dan kehidupan manusia, harus dapat diuji di luar batas kepercayaan setempat atau pengalaman partikular. Ini bukan bentuk dominasi, tetapi komitmen terhadap keterbukaan dan uji silang yang menjaga agar pengetahuan tidak terjebak dalam bias atau dogma.
Kelima, romantisasi “diam” sebagai bentuk artikulasi epistemik juga perlu ditinjau ulang. Tidak semua keheningan adalah kebijaksanaan. Dalam banyak konteks, diam bisa berarti ketertinggalan infrastruktur komunikasi, keterbatasan dalam menyusun bahasa konsep, atau bahkan ketakutan karena represi politik atau sosial. Ilmu mempertanyakan “diam” bukan karena tidak menghargai makna simbolik, tetapi karena dalam dunia yang terhubung, keputusan bersama membutuhkan suara yang dapat didengar, diuji, dan dibandingkan. Bila pengetahuan hanya hidup dalam lingkup yang tak bisa dipertanyakan dari luar, bagaimana ia bisa membangun solidaritas epistemik dengan komunitas lain yang berbeda konteks? Bagaimana ia bisa dipakai dalam pengambilan keputusan yang melibatkan lebih dari satu cara hidup? Jika pandangan ini terasa diulang, maka harus dipahami bahwa pengulangan merupakan bentuk yang tidak terhindarkan untuk menjelaskan hal yang demikian gamblang.
Ilmu tidak menolak adanya tahupat. Justru sebaliknya: ilmu membuka diri terhadap data, praktik, dan intuisi yang lahir dari komunitas. Tapi agar tahupat bisa memberi kontribusi yang bertahan, maka perlu berani masuk dalam arus percakapan epistemik global. Ini bukan berarti harus menyerahkan diri pada bentuk rasionalitas tertentu, melainkan bahwa ia harus siap untuk dibaca, ditantang, dan dikembangkan, bukan hanya dijaga sebagai warisan yang tak boleh disentuh. Ilmu tidak meminta pengakuan mutlak. Apa yang diharapkan adalah bahwa jika suatu klaim ingin dipercaya dan digunakan bersama, maka klaim itu harus bertanggung jawab secara epistemik kepada lebih dari sekadar komunitas asalnya.
Dalam hal ini, kesalahpahaman utama tahupat terhadap ilmu adalah menyamakan disiplin epistemik dengan dominasi ideologis. Padahal ilmu, dalam bentuk terbaiknya, adalah cara untuk menjaga agar pengetahuan tetap rendah hati, karena tahu, bisa salah, dan karena itu membangun mekanisme untuk dikritik terus-menerus. Sekali lagi, bukan monopoli, tapi justru bentuk paling radikal dari keraguan: ilmu tidak percaya kepada siapa pun, termasuk kepada dirinya sendiri, kecuali melalui proses yang bisa diuji bersama. Dan justru karena itu, ilmu terbuka untuk mengundang siapa pun, termasuk tahupat, untuk masuk, bukan untuk menyerah, tetapi untuk bertemu. Dengan syarat yang sama bagi semua: siap untuk ditanya, dan bersedia menjawab.
Z:
Percakapan antara tahupat dan ilmu dalam menafsirkan makna, status, dan politik dari pengetahuan, khususnya dalam konteks ciri kesepuluh, yakni keheningan sebagai bentuk artikulasi epistemik, telah membawa wacana ini ke dalam ketegangan yang nampak makin sulit untuk dibuka “dialog”. Di satu sisi, tahupat menyoroti bagaimana suara yang tidak diformulasikan dalam kerangka formal mudah dipinggirkan, bahkan diabaikan sepenuhnya oleh sistem pengetahuan dominan. Sementara di sisi lain, ilmu menegaskan pentingnya keterbukaan terhadap pengujian, penalaran sistematis, dan akuntabilitas konseptual dalam membentuk apa yang sah disebut sebagai pengetahuan. Kedua posisi ini, meskipun berangkat dari niat yang sah, tetapi berbicara dalam ranah yang tidak sepenuhnya kompatibel. Justru di sinilah kita melihat adanya persoalan mendasar: keduanya, pada momen-momen tertentu, bersikukuh pada keutuhan epistemologisnya masing-masing, sehingga ruang dialog menjadi sempit dan penuh praduga.
Salah satu substansi penting dari tahupat dalam argumentasinya adalah penekanan pada pengetahuan sebagai pengalaman yang dialami secara langsung, dijalani dalam konteks hubungan hidup, dan diwariskan dalam bentuk praktik, ritus, dan simbol. Pengetahuan ini tidak mengejar artikulasi verbal yang eksplisit karena mengandaikan bahwa makna tidak selalu harus dinyatakan dengan kata, melainkan bisa hadir dalam bentuk tindakan, diam, atau bahkan pantangan. Dalam logika ini, keheningan adalah cara merawat kedalaman makna, bukan bentuk absennya pemahaman.
Lebih dari sekedar suatu pengetahuan dan ekspresinya, namun tahupat terasa sangat ingin menunjukkan bahwa upayanya merupakan bentuk respons terhadap sejarah panjang eksklusi epistemik. Yang dikatakannya adalah bahwa upayanya tidak hanya membicarakan pengetahuan dan kebenaran, tetapi juga penghormatan terhadap cara hidup yang telah bertahan di luar logika pengukuran dan verifikasi eksternal. Dengan demikian, bagi tahupat suatu pengalaman adalah sumber otoritas, bukan sebagai objek studi.
Bagi kita yang ada di luar itu, memang akan melihat bahwa upaya tahupat mempertahankan diri, seperti tidak memberi cukup ruang bagi pertanyaan dari luar — seolah keterlibatan dan pengalaman adalah satu-satunya prasyarat untuk memahami. Di titik ini, kita melihat adanya risiko dimana tahupat seperti tengah membangun dinding yang sama tinggi dengan tuduhannya kepada ilmu.
Sebaliknya, kritik ilmu terus-menerus menggarisbawahi bahwa setiap bentuk pengetahuan, jika ingin digunakan bersama, perlu membuka dirinya terhadap pertanyaan dan pembacaan ulang. Dalam dunia yang saling terhubung dan menghadapi krisis kolektif, ilmu melihat bahwa suara yang hanya bisa dipahami oleh yang mengalaminya secara langsung sulit menjadi dasar untuk keputusan lintas komunitas. Oleh karena itu, ilmu menuntut artikulasi, parameter, dan mekanisme validasi agar pengetahuan dapat ditransmisikan dan diuji secara intersubjektif.
Bagi kita yang berada di luar perdebatan, dapat dengan jelas melihat adanya potensi dalam praktek, yakni bahwa pendekatan tersebut dapat membawa serta cara berpikir yang menganggap bahwa jika sesuatu tidak dapat diartikulasikan dalam format ilmiah, maka belum cukup menjadi pengetahuan. Di sinilah kita melihat bias epistemik muncul secara samar, namun akan berdampak: ilmu secara tidak langsung menempatkan dirinya sebagai penjaga gerbang terhadap apa yang boleh masuk ke dalam ruang pengetahuan formal.
Apa yang sangat jelas dapat kita saksikan adalah bahwa kedua belah pihak sesungguhnya sedang dan terus berusaha menjaga integritas masing-masing. Sayangnya, cara tersebut, justru berpeluang menutup kemungkinan dialog sejati.
Sebagai contoh. Ketika ilmu berbicara dari ruang tanggung jawab epistemik yang telah teruji, yakni bahwa dalam keterbukaan dan keraguan sistematislah pengetahuan tumbuh dan direvisi. Memang ilmu tidak menolak makna atau simbol, tetapi mengajukan syarat: makna harus bisa ditransmisikan, simbol harus bisa ditafsirkan, dan tafsir harus bisa dikritik.
Dalam kerangka ini, ilmu seperti tidak melihat bahwa tidak semua kebenaran hadir untuk dibuktikan, dan tidak semua pemahaman ingin dikonversi menjadi model universal. Ada bentuk-bentuk tahu yang lahir bukan untuk dikomunikasikan secara luas, tetapi untuk dijalani dalam kedalaman setempatitasnya. Menuntut semua itu agar terbuka, tanpa mempertimbangkan relasi kekuasaan yang melingkupinya, adalah bentuk pengabaian terhadap sejarah ketimpangan yang lebih besar.
Sampai sini, kita akan merasakan kesulitan yang ditimbulkan oleh posisi masing-masing. Oleh sebab itu, kita dalam percakapan ini hendak menawarkan cara membaca yang berbeda, yaitu bahwa ketegangan tersebut tidak bisa diurai hanya dengan menyuruh keduanya “bertemu di tengah”. Yang diperlukan adalah kerendahan hati dari kedua belah pihak.
Tahupat perlu mengakui bahwa tanpa keterbukaan terhadap dialog dan pembacaan lintas ruang, berisiko menjadi pengetahuan yang hanya berlaku di ruang kecilnya sendiri, sulit berperan dalam percakapan publik yang lebih luas. Sementara ilmu perlu mengakui bahwa logikanya sendiri dibentuk oleh sejarah tertentu dan tidak netral sepenuhnya. Universalitasnya bukan tanpa akar ideologis, dan objektivitasnya tidak bebas dari politik representasi.
Bagi kita, dalam dunia yang dilanda krisis iklim, ketimpangan sosial, dan disrupsi ekologi yang meluas, kita tidak bisa bergantung hanya pada satu jenis pengetahuan. Kita memerlukan pluralisme epistemik yang sejati, bukan sebagai slogan inklusif, tetapi sebagai kerja keras untuk menciptakan ruang dialog yang setara. Itu berarti tidak semua suara harus berbicara dalam bahasa yang sama, tetapi setiap suara harus punya tempat untuk didengar—tanpa syarat yang membungkam bentuk keberadaannya. Di ruang seperti itu, keheningan bisa dibaca sebagai undangan untuk hadir lebih peka, dan artikulasi bisa diterima sebagai bentuk tanggung jawab, bukan pemaksaan.
Dengan demikian, kritik kita pada keduanya, tidak diarahkan untuk meratakan perbedaan, tetapi untuk menunjukkan bahwa pertarungan epistemik ini bukan soal mana yang lebih benar, melainkan mana yang bersedia mengakui bahwa kebenaran, dalam dunia yang majemuk, selalu lahir dari relasi—bukan dari dominasi, dan bukan dari isolasi. Pekerjaan pengetahuan hari ini adalah membuka ruang itu, bukan menutupnya dengan batas metodologis atau batas kebudayaan. Sebab hanya dengan ruang yang betul-betul terbuka, kita bisa belajar bukan hanya tentang dunia, tetapi tentang bagaimana hidup bersama di dalamnya, dengan “cara tahu” yang mungkin berbeda, namun tetap setara dalam kehormatan.
Sampai sini. [Desanomia – 11.5.25 – TM]