Sumber ilustrasi: unsplash
13 Mei 2025 11.25 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Catatan kecil
Ulasan tentang telah terjadinya perubahan ekonomi dan dampaknya pada desa, telah menyisakan pertanyaan strategis, yakni: Apakah masih ada harapan bagi desa? Atau, bagaimana desa membentuk harapan di tengah perubahan tersebut? (lihat Perubahan Ekonomi dan Desa, edisi Desanomia.id., 12 Mei 2025). Tentu saja pertanyaan tersebut sangat penting dan seharusnya mengundang diskusi dan kajian yang lebih serius. Bagi kita, masalah tersebut seharusnya menggugah pada pemikiran yang lebih mendasar, yakni apakah pilihan ekonomi dari negara telah cukup memadai? Jika diskusi diperluas ke negara-negera berkembang atau emerging market, maka mungkin akan terbuka banyak kemungkinan. Apa yang hendak dilihat di sini adalah suatu gambar besar, yakni gambar yang dilihat dari kacamata masyarakat kebanyakan. Tentu dengan asumsi bahwa memang soal-soal ini merupakan bagian dari kajian publik kebanyakan. Hal ini mengingat pada gilirannya publik juga yang akan terkena dampak atas pilihan ekonomi dari negara.
***
Banyak pihak mengatakan bahwa model ekonomi saat ini berdiri di atas fondasi yang semakin terbukti menyimpan kerapuhan, terutama ketika diterpa tekanan eksternal. Ketika tekanan tarif diberlakukan oleh negara-negara besar (maju) atau likuiditas global cenderung mengering akibat pengetatan moneter di pusat-pusat keuangan dunia, negara-negara emerging market “terhuyung”. Ketergantungan pada ekspor bahan mentah, utang luar negeri dalam denominasi dolar, serta arus modal jangka pendek yang sangat sensitif terhadap sentimen global menjadikan banyak negara seperti bangunan tembikar yang mudah pecah saat guncangan terjadi.
Ekonomi global yang mengutamakan efisiensi dan pertumbuhan PDB secara agregat justru telah membangun ketergantungan struktural. Negara-negara emerging market menjadi pasar bahan mentah dan tujuan investasi murah, sementara pusat nilai tambah tetap berada di negara-negara industri. Ketika terjadi gangguan di titik-titik strategis, seperti perang tarif, embargo teknologi, atau relokasi rantai pasok, efek domino segera terasa pada cadangan devisa, neraca transaksi berjalan, nilai tukar, dan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, model ekstraktif yang menyokong pertumbuhan selama ini justru menggali jurang keberlanjutan. Deforestasi untuk mendongkrak ekspor, eksploitasi tambang tanpa pemrosesan hilir, hingga pertanian monokultur berbasis ekspor telah memperlemah daya dukung ekologis dan mengikis sistem produksi pangan domestik. Ekonomi menjadi semakin terputus dari keseimbangan sosial dan ekologisnya. Negara menjadi regulator yang mengejar stabilitas makro dengan ruang kebijakan yang semakin sempit karena tekanan fiskal, sedangkan pasar terus memperluas logika pertukaran yang menjauh dari nilai-nilai keberlanjutan.
Struktur seperti ini tidak hanya rentan, tetapi juga menyimpan risiko ketimpangan sosial yang dalam. Ketika negara kehilangan kendali atas instrumen strategisnya dan pasar lebih mendengar suara kapital ketimbang suara rakyat, maka ketahanan ekonomi bangsa menjadi persoalan struktural, bukan sekadar siklus. Dalam konteks inilah, tekanan tarif dan arus modal keluar menjadi gejala dari krisis fondasi ekonomi nasional. Persis dalam situasi inilah, kita melihat absennya kekuatan ekonomi basis dalam arsitektur pembangunan. Yakni, kekuatan ekonomi yang memproduksi pangan, merawat sumber daya, dan menjaga kohesi sosial berada di pinggiran sistem. Ketika kekuatan ini tidak mendapatkan rekognisi dan ruang tumbuh, maka bangsa (akan) kehilangan kekuatan utamanya dalam menghadapi guncangan eksternal.
Untuk menjawab krisis struktural tersebut, sebagian kalangan berpandangan bahwa kita tidak cukup hanya memperkuat instrumen negara atau mengatur ulang pasar. Diperlukan paradigma ekonomi baru yang menjadikan kekuatan basis sebagai bagian dari penyangga pembangunan. Selama ini, diskursus ekonomi terjebak pada dua kutub dominan: negara sebagai pengatur dan pasar sebagai penggerak. Namun, pada kebanyakan kasus, nampak bahwa formasi yang ada, kurang menjamin keberlanjutan dan kedaulatan ekonomi. Dengan cara pandang ini, hendak dikatakan bahwa di antara dua kutub tersebut, terdapat kekuatan yang selama ini terabaikan, yakni desa (sebagai satu kesatuan). Desa, bukan sekadar entitas administratif, desa adalah basis produksi riil, ruang sosial, dan sumber daya yang menopang ketahanan sejati.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa desa menyimpan kekuatan tersembunyi yang sangat strategis. Sangat jelas bahwa desa mampu memproduksi pangan, berpotensi menghasilkan energi lokal (tenaga air, matahari, atau yang lain), kerajinan, serta menyimpan sistem sosial berbasis solidaritas dan kepercayaan. Ketika krisis global melanda, desa tetap bertahan dengan cadangan pangan lokal dan jaringan sosial yang kohesif. Desa tidak tunduk sepenuhnya pada fluktuasi harga pasar global, dan tidak pula sepenuhnya dikendalikan oleh kebijakan fiskal makro. Inilah bentuk otonomi riil yang seharusnya mendapat tempat sentral dalam arsitektur ekonomi nasional.
Model ekonomi dengan tiga penyangga [negara, pasar, dan desa], menawarkan jalan tengah yang berimbang dan lebih tahan terhadap guncangan eksternal. Negara tetap berperan sebagai pengatur dan pelindung kepentingan strategis, pasar tetap penting sebagai ruang pertukaran dan inovasi, namun desa diangkat sebagai pusat gravitasi baru ekonomi riil. Dalam kerangka ini, desa tidak lagi dilihat sebagai objek pembangunan yang harus “diberdayakan,” tetapi sebagai subjek strategis yang memiliki otoritas dan sumber daya untuk menopang ekonomi nasional.
Ketika desa diberi ruang dan rekognisi, ekonomi nasional menjadi lebih resilien. Produksi pangan lokal mengurangi ketergantungan impor, energi terbarukan berbasis desa memperkuat transisi energi, dan koperasi desa membangun kedaulatan finansial. Bahkan dalam konteks perang tarif dan disrupsi rantai pasok, desa mampu menciptakan jalur distribusi alternatif yang lebih pendek dan lebih efisien secara sosial. Ekonomi desa bersifat kontekstual, berbasis kebutuhan nyata, dan lebih berorientasi pada keberlanjutan daripada akumulasi.
Pembangunan yang berpijak pada desa juga menciptakan ruang desentralisasi produksi dan distribusi. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kedaulatan. Negara tidak lagi harus menopang pusat pertumbuhan yang sempit dan rentan, melainkan bisa membangun jejaring kekuatan lokal yang saling menopang. Di saat modal global mudah keluar karena ketidakpastian, ekonomi desa tetap tumbuh karena berakar. Di saat tarif dan proteksi perdagangan internasional meningkat, ekonomi desa mampu memproduksi kebutuhan dasar secara mandiri.
Transformasi semacam ini memerlukan komitmen inovasi politik dan reformasi kelembagaan. Sistem fiskal perlu didesentralisasi agar desa memiliki otoritas anggaran yang produktif. Poin ini membutuhkan studi komprehensif. Tentu saja desa tidak dilihat hanya dalam pengertian satu desa, melainkan kawasan atau jaringan antar desa. Infrastruktur digital dan logistik harus dibangun untuk menghubungkan desa ke pasar tanpa harus bergantung pada rantai distribusi panjang yang merugikan produsen. Pendidikan, teknologi tepat guna, dan pembiayaan mikro yang berpihak pada produsen kecil harus menjadi fondasi baru pembangunan. Lebih dari itu, literasi inklusi keuangan juga perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
Ekonomi masa depan bukan hanya dibentuk oleh strategi makro dan teknologi tinggi, tetapi juga oleh sejauh mana kita mampu metransformasikan kekuatan ekonomi basis. Desa bukan sisa masa lalu, melainkan fondasi masa depan. Dalam dunia yang semakin bergejolak, hanya bangsa yang kuat dari akarnya yang mampu berdiri tegak. Dan akar itu ada di desa.
***
Ketika “akar” itu diberi kesempatan tumbuh, bukan saja akan mampu menopang “batang dan cabang” sistem ekonomi nasional, tetapi juga menjadi poros penyeimbang dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Desa, dalam pengertian sebagai komunitas produksi dan reproduksi sosial, bukan hanya menyumbang bahan mentah bagi kota, melainkan membangun logika alternatif terhadap sistem ekonomi global yang rapuh: logika kecukupan, keadilan, keberlanjutan, dan kohesi sosial.
Dalam konteks perang tarif dan fragmentasi pasar global, desa dapat menjadi penopang utama untuk reorientasi ekonomi nasional ke dalam. Ketika arus barang dan modal dari luar terganggu, kekuatan lokal menjadi satu-satunya fondasi yang dapat diandalkan. Desa bukan lagi dipandang sebagai titik distribusi bansos, melainkan sebagai simpul produksi pangan, energi alternatif, dan produk bernilai tambah yang berbasis sumber daya lokal. Struktur ini menciptakan sirkuit ekonomi mandiri yang tidak tunduk sepenuhnya pada dinamika eksternal.
Namun, untuk mengaktualisasikan desa sebagai pilar ekonomi optimal, dibutuhkan transformasi kelembagaan dan narasi kebijakan. Selama ini, kebijakan terhadap desa masih diperlakukan secara sektoral dan administratif: dana desa, pelatihan teknis, atau program pemberdayaan jangka pendek. Yang dibutuhkan bukan sekadar intervensi proyek, tetapi pengakuan desa sebagai subsyek ekonomi yang memiliki posisi strategis dalam perencanaan pembangunan nasional.
Negara perlu mempertimbangkan memfasilitasi kemunculan ekonomi desa baru, bukan melalui birokratisasi, tetapi dengan menciptakan ruang inovasi ekonomi dan sosial. Pasar harus diarahkan bukan semata-mata ke ekspansi, tetapi ke sirkulasi nilai dalam sistem lokal. Desa harus memiliki ruang untuk menentukan jalur industrialisasinya sendiri, berbasis potensi dan kehendak komunitas, bukan sekadar mengikuti cetak biru pembangunan nasional yang seragam dan terpusat.
Di masa depan, desa-desa yang terhubung satu sama lain secara digital dan logistik, yang memproduksi kebutuhan dasar mereka sendiri, dan yang memiliki otoritas ekonomi serta keuangan yang mandiri, akan membentuk jaringan kekuatan ekonomi baru. Inilah ekonomi interdependen yang otonom: desa tidak berdiri sendiri, tetapi tidak pula bergantung sepenuhnya pada pusat. Mereka terhubung dalam ekosistem nasional yang menjadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan hambatan.
Konsepsi ini diharapkan juga dapat menawarkan jawaban terhadap ketimpangan struktural yang selama ini menjadi akar kerapuhan bangsa. Ketika pembangunan terpusat pada kota-kota besar dan kawasan industri ekspor, maka wilayah-wilayah lain hanya menjadi penyedia buruh dan bahan mentah. Sebaliknya, ketika pembangunan berporos pada kekuatan lokal yang sejajar, maka keadilan spasial dan kedaulatan ekonomi menjadi mungkin.
Dengan demikian, membangun ekonomi dengan tiga penyangga, yakni negara, pasar, dan desa, bukan sekadar menambah elemen dalam skema pembangunan. Ini adalah transformasi paradigmatik: menjadikan desa sebagai simpul utama dalam desain kebijakan, sebagai produsen utama dalam ekonomi nasional, dan sebagai pelindung utama dalam masa krisis global. Dari sini akan lahir model ekonomi baru yang tidak saja resilien, tetapi juga adil, lestari, dan berakar.
Di hadapan tantangan besar seperti perang tarif, krisis iklim, dan ketidakpastian keuangan global, hanya bangsa yang memiliki struktur ekonomi berbasis rakyat dan wilayah yang mampu bertahan. Desa bukan hanya fondasi alternatif, akan tetapi dapat diproyeksikan menjadi kekuatan berkelanjutan, karena memiliki tenaga kerja yang tangguh dan sumberdaya alam yang dijaga keberlanjutannya. Sudah saatnya desa bukan lagi disebut sebagai objek pembangunan, melainkan diakui sebagai subjek utama sejarah ekonomi nasional yang baru. Jika akar ini terus disuburkan, maka akan tumbuh batang yang kuat dan cabang yang meluas, menuju ekonomi yang tidak hanya bertahan, tetapi memimpin untuk terciptanya tata ekonomi yang berkecukupan, berkeadilan dan berkelanjutan. [Desanomia – 13.5.25 – TM]