Pertumbuhan Produksi Pertanian

sumber ilustrasi: pixabay

Oleh: Pandu Sagara
13 Mei 2025 14.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika otoritas mengumumkan bahwa telah berlangsung “lonjakan” produksi pertanian, maka informasi tersebut perlu menjadi bahan refleksi bersama. Apalagi jika narasi lonjakan diletakkan dalam kerangka pencapaian pertumbuhan ekonomi. Posisi tersebut tidak saja akan memberi makna bagi upaya yang telah dilakukan, namun juga akan menjadi signal intentifikasi (dengan segala cara). Pada titik inilah kita perlu memeriksa kembali. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan, atau justru akan menjadi hal yang berkebalikan, terutama jika melihat dengan jernih, dari sudut realitas daya dukung ekologi. Dalam perspektif daya dukung ekologi, terutama jika mendasarkan pada kenyataan bahwa daya dukung ekologi terbatas dan tidak mungkin bertambah, maka yang terlihat jelas adalah masalah besar menunggu. Inilah saatnya kita membuat refleksi yang jernih dan jujur.

***

Pertumbuhan produksi pertanian dalam kondisi lahan tetap adalah masalah yang secara struktural tidak dapat dihindari. Pokok persoalannya terletak pada fakta dasar ekonomi bahwa pertanian berlangsung dalam ruang yang terbatas, dan bahwa lahan sebagai faktor produksi utama tidak dapat diperbanyak. Ketika narasi pembangunan tetap bersikeras mendorong pertumbuhan output pertanian secara terus-menerus, maka kebijakan dan praktik yang lahir darinya pasti akan bertabrakan dengan batas-batas fisik, ekologis, dan sosial yang tidak bisa dinegosiasikan. Jika dipaksakan, akan menimbulkan “ilusi pertumbuhan”: keyakinan bahwa produksi dapat terus ditingkatkan melalui efisiensi, teknologi, dan investasi modal, tanpa menyadari bahwa semua upaya itu tetap bergantung pada fondasi ruang yang tak berubah.

Secara teoritis, fungsi produksi yang menggunakan lahan tetap sebagai input akan mengalami hukum hasil tambahan yang menurun. Artinya, setiap penambahan input lain, seperti tenaga kerja, modal, atau teknologi—akan menghasilkan tambahan output yang makin kecil, hingga akhirnya mendekati nol. Dalam kondisi ekstrem, produktivitas marginal bisa menjadi negatif, yaitu ketika intensifikasi justru merusak daya dukung ekologis lahan. Dalam kerangka ini, tidak ada penambahan modal, kecepatan mekanisasi, ataupun kecanggihan teknologi yang bisa meniadakan kenyataan bahwa output pertanian selalu terikat pada kapasitas lahan yang terbatas atau kenyataan bahwa lahan tidak bertambah, bahkan mungkin berkurang karena alih fungsi lahan yang tidak bisa dibendung.

Janji bahwa pertumbuhan produksi dapat dipertahankan melalui peningkatan produktivitas hanyalah bentuk penyangkalan terhadap kenyataan ini. Produktivitas memang dapat ditingkatkan dalam jangka pendek, tetapi kenaikannya akan menghadapi batas teknis, ekologis, dan bahkan sosial. Secara teknis, inovasi awal akan memberikan hasil besar, tetapi selanjutnya akan memberikan hasil tambahan yang makin kecil. Secara ekologis, intensifikasi pertanian akan menimbulkan degradasi tanah, overekstraksi air, dan hilangnya biodiversitas. Secara sosial, tekanan untuk terus meningkatkan hasil dalam ruang terbatas menciptakan beban kerja yang makin berat bagi petani, tanpa jaminan peningkatan pendapatan yang sebanding.

Gagasan perluasan lahan pertanian, yang kadang ditawarkan sebagai solusi, tidak lebih dari perpanjangan dari ilusi yang sama. Di sebagian besar wilayah, ekspansi lahan tidak lagi memungkinkan tanpa mengorbankan hutan, kawasan konservasi, atau wilayah adat. Secara ekologis, pembukaan lahan baru memperparah krisis iklim dan mengganggu keseimbangan sistem alami. Secara sosial, ekspansi lahan seringkali berarti konflik agraria, penggusuran masyarakat lokal, dan peningkatan ketimpangan penguasaan tanah. Maka, solusi dengan menambah lahan adalah bentuk eksternalitas ekologis dan sosial yang ditransfer demi mempertahankan narasi pertumbuhan.

Dari sini menjadi jelas bahwa masalah utama dalam pembangunan pertanian bukanlah kurangnya produktivitas atau inovasi, tetapi paradigma yang keliru: bahwa pertanian dapat dijadikan mesin pertumbuhan output secara terus-menerus. Paradigma inilah yang harus ditinggalkan. Pertanian dalam ruang tetap tidak dapat dijadikan lokomotif pertumbuhan kuantitatif tanpa membebani fondasi ekologisnya. Yang dibutuhkan bukan lagi strategi untuk meningkatkan produksi, melainkan strategi untuk menjaga keseimbangan antara produksi dan daya dukung lahan, serta pengelolaan konsumsi.

Solusinya adalah memikirkan ulang orientasi pembangunan pertanian. Pertama, pengakuan terhadap batas produksi fisik harus menjadi dasar dari semua perencanaan. Tidak ada program peningkatan produksi yang seharusnya dirancang tanpa mempertimbangkan batas regeneratif lahan dan sistem ekologis yang menopangnya. Kedua, pembangunan harus beralih dari logika ekspansi output ke logika nilai tambah. Artinya, peningkatan kesejahteraan petani dan kontribusi pertanian terhadap ekonomi tidak lagi diukur dari volume produksi, tetapi dari kualitas, efisiensi distribusi, nilai jual, dan integrasi dengan sektor hilir seperti agroindustri. Ketiga, kebijakan harus mendorong diversifikasi ekonomi pedesaan, sehingga beban transformasi ekonomi tidak seluruhnya ditumpukan pada peningkatan hasil pertanian. Petani harus diberi akses terhadap pendidikan, teknologi informasi, dan aktivitas ekonomi non-pertanian untuk memperluas sumber penghidupan di luar produksi primer.

Keempat, sistem insentif dan pembiayaan pertanian harus direstrukturisasi agar tidak lagi berbasis pada target produksi kuantitatif, tetapi pada pencapaian keberlanjutan jangka panjang. Subsidi dan dukungan pemerintah harus diarahkan pada perbaikan kualitas lahan, konservasi air, regenerasi agroekosistem, dan penguatan kapasitas kelembagaan petani. Kelima, perubahan paradigma ini juga menuntut transformasi dalam cara negara dan pasar melihat sektor pertanian: bukan sebagai ruang eksploitasi produktivitas, tetapi sebagai ruang pemeliharaan kehidupan dan ketahanan ekologis. Dan keenam, pentingnya kesadaran bersama akan batas yang bisa dicapai, yang karena itu, prinsip kecukupan dibutuhkan dan merupakan keniscayaan masa depan.

Dengan demikian, pembangunan pertanian yang masuk akal dalam konteks lahan tetap bukanlah pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi tanpa akhir, melainkan pembangunan yang sadar akan batas dan berorientasi pada keberlanjutan struktural, serta kehendak bersama menata kembali kehidupan, dengan landasan kesadaran sosio-ekologi. Meningkatkan produksi secara terus-menerus dalam ruang yang terbatas bukan hanya tidak mungkin, tetapi juga merusak. Strategi pertanian masa depan harus dimulai dari kesadaran ini, dan merumuskan kebijakan berdasarkan prinsip bahwa cukup bukan kekurangan, dan bahwa keberlanjutan lebih penting daripada pertumbuhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *