Sumber ilustrasi: pixabay
17 Mei 2025 10.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [15.5.2025] Studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances pada 7 Mei mengungkap bahwa manusia baru mengeksplorasi 0,001% dari dasar laut dalam, wilayah yang berada di bawah kedalaman 200 meter. Meskipun wilayah ini mencakup hampir dua pertiga dari permukaan Bumi, area yang telah teramati secara visual setara hanya dengan luas negara bagian Rhode Island di Amerika Serikat.
Ian Miller, Kepala Sains dan Inovasi di National Geographic Society yang turut mendanai penelitian ini, menyatakan bahwa masih sangat banyak misteri di lautan yang belum terungkap. Meskipun bukan penulis dalam studi tersebut namun dirinya menegaskan pentingnya pengamatan lebih lanjut terhadap ekosistem laut dalam.
Laut dalam dikenal sebagai lingkungan dengan tekanan ekstrem dan suhu hampir membeku, namun menjadi habitat berbagai spesies unik dan belum sepenuhnya diketahui. Kawasan ini juga memegang peranan penting dalam penyimpanan karbon dan diyakini menjadi tempat bagi spesies-spesies baru yang berpotensi memberikan manfaat medis atau ilmiah.
Pengetahuan yang dimiliki sejauh ini diperoleh melalui pencitraan visual dari kapal selam berawak, kendaraan yang dikendalikan dari jarak jauh (ROV), kendaraan bawah laut otonom (AUV), dan kamera tarik yang dihubungkan ke kapal permukaan.
Dalam penelitian ini, para peneliti menganalisis 43.681 catatan penyelaman laut dalam yang melibatkan pencitraan optik untuk memperkirakan luas wilayah yang telah diamati secara visual. Mereka menggunakan dua pendekatan: satu berdasarkan jalur perjalanan kendaraan di dasar laut, dan lainnya berdasarkan durasi waktu kendaraan berada di dasar laut.
Dengan pendekatan jalur, ditemukan bahwa sekitar 2.129 kilometer persegi dasar laut telah diamati. Sementara dengan pendekatan durasi, luas yang diamati mencapai 3.823 kilometer persegi. Berdasarkan temuan ini, disimpulkan bahwa eksplorasi visual manusia atas dasar laut dalam sejak tahun 1958 hanya mencakup antara 0,0006% hingga 0,001% dari total wilayah tersebut.
Namun, penulis studi mencatat bahwa data ini hanya mencakup catatan eksplorasi yang tersedia secara publik. Kemungkinan besar, perusahaan minyak, gas, dan telekomunikasi telah menjelajahi wilayah lebih luas tetapi tidak mempublikasikan datanya.
Katy Croff Bell, penulis utama studi dan Presiden Ocean Discovery League, menyampaikan bahwa keterbatasan eksplorasi ini menjadi persoalan mendesak dalam sains dan kebijakan, terutama di tengah ancaman perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya dan menekankan perlunya pemahaman yang lebih baik tentang ekosistem laut dalam demi pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
Penelitian juga menunjukkan bahwa 65% pengamatan dilakukan di dalam radius 200 mil laut dari garis pantai AS, Jepang, atau Selandia Baru. Selain itu, 97% dari seluruh penyelaman laut dalam tercatat dilakukan oleh lima negara saja: AS, Jepang, Selandia Baru, Prancis, dan Jerman.
Fitur geomorfologis seperti punggungan dan ngarai laut mendapat perhatian eksplorasi yang jauh lebih besar dibandingkan dataran abyssal dan gunung laut, menciptakan ketimpangan data dalam pemahaman terhadap topografi dasar laut.
Dalam makalah tersebut, para peneliti mengilustrasikan bahwa jika komunitas ilmiah membuat asumsi tentang ekosistem daratan hanya berdasarkan 0,001% dari total wilayah daratan, itu sama saja seperti membuat kesimpulan berdasarkan area yang lebih kecil dari Kota Houston.
Keterbatasan wilayah yang telah dijelajahi, dan dominasi oleh negara-negara tertentu, turut mempersempit pemahaman global tentang ekosistem dasar laut. Para peneliti mengajak adanya kolaborasi internasional untuk memperluas cakupan eksplorasi serta memahami dan melindungi lingkungan bawah laut yang masih misterius ini.
Ian Miller menambahkan bahwa eksplorasi laut dalam yang dipimpin ilmuwan dan komunitas lokal sangat penting demi memahami ekosistem terbesar di planet ini. Ia menegaskan bahwa pemahaman yang lebih baik akan memungkinkan upaya konservasi yang lebih efektif.
Buah Pikiran
Temuan bahwa hanya 0,001% dasar laut dalam yang telah dieksplorasi secara visual sejak 1958 menyoroti betapa terbatasnya pengetahuan kita tentang bagian terbesar dari planet ini. Dengan sebagian besar eksplorasi terkonsentrasi di wilayah pesisir negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Selandia Baru, jelas terlihat ketimpangan dalam upaya ilmiah global. Ini bukan sekadar celah pengetahuan, tetapi juga persoalan representasi dan akses terhadap sumber daya alam yang belum tergali.
Penelitian ini juga mengungkap kecenderungan eksplorasi yang terfokus pada fitur geologis tertentu seperti punggungan dan ngarai, sementara wilayah luas seperti dataran abyssal dan gunung laut masih sangat sedikit terjamah. Ketidakseimbangan ini menciptakan bias dalam pemahaman kita terhadap ekosistem laut dalam secara keseluruhan. Mengingat peran penting laut dalam dalam penyimpanan karbon dan potensi penemuan biologis baru, eksplorasi yang lebih luas, merata, dan terbuka menjadi kebutuhan mendesak, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan, konservasi, maupun kebijakan lingkungan yang bijak. (NJD)
Sumber: Livescience