Sumber ilustrasi: freepik
18 Mei 2025 07.50 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [18.5.2025] Ekonomi Jepang mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam setahun dan pada tingkat yang lebih besar dari yang diperkirakan, menurut data resmi kuartal pertama yang dirilis Jumat. Data ini menyoroti lemahnya fondasi pemulihan ekonomi Jepang yang kini menghadapi tekanan signifikan dari kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Penurunan ini menjadi tantangan serius bagi para pembuat kebijakan Jepang, mengingat ekonomi yang bergantung pada ekspor kini menghadapi ketidakpastian akibat tarif tinggi dari Amerika Serikat. Sektor otomotif, yang menjadi tulang punggung ekspor Jepang, berada dalam sorotan utama.
Menurut data awal pemerintah, produk domestik bruto (PDB) riil Jepang menyusut sebesar 0,7% secara tahunan pada periode Januari hingga Maret. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perkiraan pasar yang memperkirakan penurunan hanya 0,2%.
Kontraksi tersebut didorong oleh konsumsi swasta yang stagnan serta penurunan ekspor. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Jepang telah melemah bahkan sebelum pengumuman kebijakan tarif resiprokal oleh Presiden Trump pada 2 April lalu.
Meski begitu, data mencatat beberapa perkembangan positif. Pertumbuhan PDB kuartal terakhir tahun 2024 direvisi naik dari 2,2% menjadi 2,4%. Selain itu, pengeluaran modal naik 1,4%, lebih tinggi dari ekspektasi, yang mendorong permintaan domestik dan menambah 0,7 poin persentase pada pertumbuhan PDB.
Kendati demikian, banyak analis masih menyampaikan kekhawatiran terhadap lemahnya dorongan permintaan serta potensi risiko dari perubahan tatanan perdagangan global yang dipicu oleh tarif AS. Ekonom senior dari Dai-ichi Life Research Institute, Yoshiki Shinke, mengatakan bahwa ekspor dan konsumsi yang lemah membuat ekonomi Jepang kekurangan penggerak pertumbuhan dan sangat rentan terhadap guncangan eksternal seperti tarif Trump.
Shinke menambahkan bahwa angka pertumbuhan ini mungkin akan mendorong seruan untuk peningkatan belanja fiscal dan memperkirakan ekonomi Jepang dapat kembali menyusut pada kuartal kedua, tergantung pada sejauh mana dampak tarif mulai terasa.
Secara kuartalan, ekonomi Jepang menyusut sebesar 0,2%, lebih buruk dari perkiraan pasar sebesar 0,1%.
Menteri Revitalisasi Ekonomi Jepang, Ryosei Akazawa, menyatakan bahwa kenaikan gaji yang besar dari kalangan korporasi akan membantu menopang pemulihan ekonomi moderat. Namun, ia mengingatkan bahwa risiko dari kebijakan tarif AS tetap harus diwaspadai. Akazawa juga menyoroti bahwa kenaikan harga yang terus berlangsung dapat menekan konsumsi dan sentimen rumah tangga, yang menjadi risiko tersendiri bagi pertumbuhan.
Pada kuartal pertama, konsumsi swasta – yang menyumbang lebih dari separuh output ekonomi Jepang, tercatat stagnan, tidak bergerak, bertolak belakang dari ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 0,1%.
Deflator PDB, yang mencerminkan kemampuan perusahaan untuk mengalihkan biaya ke harga konsumen, naik 3,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini merupakan kenaikan dua kuartal berturut-turut.
Namun, permintaan eksternal justru menjadi pengurang bagi pertumbuhan. Ekspor turun 0,6%, sementara impor naik 2,9%. Dampak ini terjadi bahkan sebelum tarif dari Trump diberlakukan secara penuh.
Presiden Trump telah memberlakukan tarif 10% terhadap hampir semua negara, kecuali Kanada, Meksiko, dan China. Jepang termasuk yang akan dikenai tarif 24% mulai Juli, kecuali berhasil mencapai kesepakatan perdagangan bilateral dengan Amerika Serikat. Selain itu, Washington telah memberlakukan tarif 25% untuk mobil, baja, dan aluminium. Kebijakan ini sangat berdampak bagi Jepang yang sangat bergantung pada ekspor mobil ke pasar AS.
Produsen otomotif Jepang mulai merasakan tekanan tersebut. Toyota Motor memperkirakan laba tahun ini akan turun hingga 20%, sementara Mazda menunda pengumuman proyeksi keuangan hingga Maret 2026 karena ketidakpastian kebijakan perdagangan AS.
Stefan Angrick, kepala ekonomi untuk Jepang dan pasar frontier di Moody’s Analytics, mengatakan bahwa kontraksi pada awal tahun ini menggarisbawahi tantangan struktural yang dihadapi Jepang dan menambahkan bahwa tekanan tarif dan lemahnya permintaan domestik akan terus membebani pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Data ekonomi yang mengecewakan ini dapat meningkatkan tekanan politik terhadap Perdana Menteri Shigeru Ishiba untuk merespons seruan parlemen agar menurunkan pajak atau meluncurkan paket stimulus fiskal baru. Namun, Menteri Akazawa menyatakan belum ada rencana semacam itu saat ini.
Perang dagang global yang dipicu oleh tarif AS juga menciptakan kesulitan tambahan bagi Bank of Japan (BOJ) dalam menentukan arah suku bunga. Setelah keluar dari kebijakan stimulus jangka panjang, BOJ menaikkan suku bunga ke 0,5% pada Januari dan mengindikasikan kemungkinan kenaikan lanjutan jika pemulihan ekonomi terus berlanjut.
Namun, kekhawatiran akan perlambatan global yang dipicu oleh kebijakan Trump memaksa BOJ untuk memangkas proyeksi pertumbuhannya secara tajam pada pertemuan kebijakan 30 April – 1 Mei. Hal ini juga memunculkan keraguan terhadap ekspektasi bahwa kenaikan gaji yang berkelanjutan dapat menopang konsumsi dan pertumbuhan ekonomi lebih luas.
Meskipun meredanya ketegangan perdagangan antara AS dan China memberikan sedikit kelegaan, masih belum jelas apakah Jepang akan berhasil memperoleh pengecualian tarif dalam negosiasi bilateral dengan AS.
Takeshi Minami, kepala ekonom di Norinchukin Research Institute, menyebut bahwa jika dampak tarif Trump relatif ringan, BOJ bisa kembali menaikkan suku bunga pada September atau Oktober. Namun, jika tarif memberikan dampak besar terhadap investasi dan ekspor, kemungkinan kenaikan suku bunga akan ditunda.
Buah Pikiran
Kondisi ekonomi Jepang yang mengalami penyusutan di tengah tekanan eksternal menunjukkan betapa rentannya ekonomi yang sangat bergantung pada ekspor terhadap dinamika geopolitik global. Dalam konteks ini, kebijakan proteksionis dari mitra dagang utama seperti Amerika Serikat memberikan tekanan langsung terhadap fondasi ekonomi Jepang, khususnya di sektor manufaktur dan otomotif. Ketergantungan yang besar terhadap permintaan luar negeri menuntut pemerintah Jepang untuk mengevaluasi strategi pertumbuhan jangka panjang, termasuk penguatan pasar domestik dan diversifikasi mitra dagang.
Lebih lanjut, dilema yang dihadapi Bank of Japan terkait suku bunga mencerminkan kompleksitas dalam menavigasi pemulihan ekonomi pasca-stimulus. Dalam situasi seperti ini, keseimbangan antara kebijakan moneter, fiskal, dan diplomasi perdagangan menjadi semakin penting. Pemerintah Jepang harus mengambil langkah strategis dan terkoordinasi untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi domestik tidak hanya bersifat reaktif terhadap tekanan luar, tetapi juga mampu memperkuat struktur ekonomi nasional secara berkelanjutan. (NJD)
Sumber: Reuters
Link: https://www.reuters.com/business/japans-economy-shrinks-us-tariff-hit-looms-2025-05-16/