Top Down

Sumber ilustrasi: pixabay

18 Mei 2025 14.40 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apa itu “top-down”? Bagi sebagian dari kita, mungkin terasa asing dengan istilah tersebut. Sementara, bagi sebagian yang lain, terutama bagi mereka yang terlibat dalam pemerintahan, atau yang melakukan studi terkait pemerintahan, atau yang menguasai pengetahuan umum, mungkin istilah tersebut, terasa cukup akrab. Dari segi Bahasa, perkataan tersebut, barangkali dapat diartikan secara sederhana sebagai “dari atas ke bawah”. Dengan arti tersebut, maka mestinya, perkataan tersebut bisa dikaitkan dengan peristiwa atau pengalaman kebanyakan orang. Kalau kita berkunjung ke kawasan wisata air terjun, maka akan tampak peristiwa top down yang kongkrit, yakni air bergerak dari atas ke bawah. Di sebut “atas” karena yang menyaksikan ada di bawah – bagaimana jika sebaliknya?

Dalam pemerintahan (negara), istilah top down, merujuk pada pendekatan atau metode yang dimulai dari tingkat atas (otoritas, struktur, atau konsep umum) dan bergerak ke bawah menuju tingkat yang lebih rendah (implementasi, detail, atau pelaksanaan). Sebagian barangkali akan memberikan pengertian yang lebih spesifik, yakni pengetian yang merujuk pada proses pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, dan implementasi program yang dikendalikan secara terpusat oleh otoritas tertinggi negara—biasanya oleh pemerintah pusat, presiden, kementerian, atau badan-badan nasional. Pengertian tersebut merupakan pengertian yang pada masa lalu, sebelum reformasi, telah berjalan dengan segala dinamikanya.

Reformasi pada 1998, dalam kerangka ini, mungkin dapat dipahami sebagai koreksi atas pendekatan top down. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya, kita dapat memeriksa kembali apa yang terjadi sesaat setelahnya.

Pertama, terbitnya kebijakan baru yang memberikan daerah suatu otonomi. Kebijakan ini, sangat jelas merupakan buah dari kritik atas pendekatan top down dan sentralisme. Jika semula daerah dianggap tidak bisa berpikir, tidak bisa merencanakan sendiri apa yang harus dilakukannya, tidak bisa sepenuhnya menjalankan apa yang seharusnya dikerjakan, maka dengan otonomi, daerah diberikan haknya.

Kedua, dalam kebijakan yang sama, dimuat pula kritik atas perlakuan terhadap desa, yang dipandang diperlakukan secara tidak sesuai dengan konstitusi. Dan desa, diberikan ruang kesempatan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, bahkan di desa (pada periode tersebut) dikembangkan formasi politik yang sebangun dengan formasi nasional, yakni ada eksekutif (kepala desa) dan legislatif (BPD, Badan Perwakilan Desa).

Koreksi tersebut, meskipun mungkin kini tengah bergerak ke arah sebelum koreksi, tetap dapat dilihat suatu pengertian bahwa top down, bukanlah hal yang memang sudah seharusnya demikian. Apalagi jika merujuk kepada Pembukaan UUD’45. Ada lima poin, yang mungkin dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa top down, bukanlah hal yang dikenal oleh Pembukaan UUD’45.

Pertama, apa yang disebut dengan keinginan luhur, yakni berkehidupan kebangsaan yang bebas. Apa yang disebut sebagai berkehidupan kebangsaan yang bebas, tentulah manifestasi nyata dari prinsip kesetaraan dan kebebasan itu sendiri.

Kedua, memperkuat pernyataan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.”. Yakni adanya pernyataan kemerdekaan, yang dalam Pembukaan UUD ’45 tersebut diucapkan oleh rakyat Indonesia, “… maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaannya. Dengan pernyaatan ini, sangat jelas siapa subyek dari negara dan sejarah.

Ketiga, apa yang dinyatakan dalam frasa, “…, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia …” Untuk lebih memahami maknanya, baik kita simak pembicaraan dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, terkait dengan teks tersebut:

Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo:
Di atas Tuan Ketua: “ maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu”, apa tidak “maka disusunlah pemerintahan”?

Ketua Soekarno:
Kemerdekaan itu disusun dalam satu Undang-Undang Dasar. Kita lalu membuat Undang-Undang Dasar.

Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo:
Yang disusun di sini pemerintahan, bukan kemerdekaan, “maka disusunlah pemerintahan”.

Ketua Soekarno:
Tidak, kemerdekaan; pemerintahan kita susun dengan Undang-Undang Dasar.

Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo:
Apa tidak bisa diubah menjadi: “maka disusunlah pemerintahan itu”.

Ketua Soekarno:
Tidak, pemerintahan itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar. Sudah? Tuan-tuan lain?*)

Jika boleh menafsirkan pembicaraan tersebut, kita dapat menangkap pesan kuat, bahwa Undang-Undang dasar (kini disebut Undang-Undang dasar 1945), merupakan tubuh dari kemerdekaan bangsa, atau kemerdekaan bangsa adalah jiwa dari konstitusi kita.

Keempat, selanjutnya pada frasa, “ suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: …” Sangat jelas tertulis bahwa pemerintahan dibentuk oleh rakyat, dan kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat.

Kelima, pada bagian lain dalam Pembukaan UUD ’45 tersebut dikatakan: “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, yang tidak lain dari sila keempat Pancasila. Apa yang dapat kita tangkap dari pernyataan tersebut: (i) bahwa dalam suatu proses politik, yang menjadi garis utama bukanlah kepemimpinan person atau kelompok, melainkan kepemimpinan “hikmat kebijaksanaan”. Atau proses politik dipandu oleh nilai kebijaksanaan dan bukan oleh kepentingan politik itu sendiri; dan (ii) proses politik tersebut pada dasarnya bersifat horizontal, dan bukan hirarki, karena diikuti oleh wakil-wakil dari mereka yang diwakili.

Demikian.

(catatan – uraian ini bersifat awal, yang akan disambung dengan uraian lainnya) [Desanomia – 18.5.25 – TM]

*) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Cetakan kedua edisi III – 1995, 418 – 419. Dicetak oleh Ghalia Indonesia atas izin Menteri Sekretaris Negara RI.

One thought on “Top Down

  1. tulisan yang menarik, ditunggu tulisan lanjutanya. ada catatan untuk tulisan mengenai top down policy ini. cukup diakui, top down policy memang sebuah cara yang paling relevan dilakukan negara. melalui top down policy ini, keterukuran keberhasilan dapat diukur berdasarkan standart yg telah ditentukan sebelumnya. tentunya kebiasaan ini akan berdampak pada kecenderungan pemerintah daerah maupun desa untuk tidak melihat kesejahteraan warganya sebagai standart keberhasilannya akan tetapi lebih berfokus bagaimana mencapai standart yang sudah ditentukan pusat. alangkah baiknya tulisan-tulisan selanjutnya dapat memberikan urgensi menggeser kebiasan top down menjadi bottom up.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *