Desa: Ekologi, Ekonomi, dan Epistemologi (2)

Sumber ilustrasi: pixabay

22 Mei 2025 09.55 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Pandangan awal yang termuat dalam Desanomid.id, edisi 21 Mei 2025 (Desa: Ekologi, Ekonomi, dan Epistemologi), yang sebenarnya juga merupakan respon atas pandangan sebelumnya yang termuat dengan judul: “Kebangkitan Epsitemologi Desa” (20 Mei 2025), merupakan suatu refleksi dan sekaligus usulan dalam bagaimana memandang desa, dengan cara pandang baru. Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan yang selama ini, dapat dikatakan lahir dari cara pandang yang mereduksi desa dalam skema administratif, “geografis”, atau teknokratis. Tentu diakui dan disadari bahwa cara pandang tersebut memiliki pendasaran teoritik tersendiri, yang sangat mungkin dilandasi oleh keyakinan-keyakinan tertentu. Apa yang manifes adalah bahwa keseluruhan pandangan tersebut mengarah kepada upaya mencapai “kemajuan” yang ditampilkan oleh sejumlah indikator Pembangunan (ekonomi).

Kita ada dalam pandangan bahwa suatu cara pandang hanya mungkin direspon dengan cara pandang pula. Jika suatu cara pandang direspon mendapatkan respon dengan menggunakan cara pandang lain, maka yang terjadi tentu bukan suatu dialog atau dialektika cara pandang. Situasi yang demikian ini tentu saja harus dihindari, karena tidak sesuai semangat pencarian pengetahuan dalam kerangka menyelesaikan problem-problem mendasar yang dihadapi masyarakat umum, dan desa pada khususnya. Problem yang dimaksud adalah perubahan iklim, yang telah memberi dampak yang mengancam keberlanjutan kehidupan, akibat menurunnya daya dukung lingkungan. Pada sisi yang lain juga problem akibat konsentrasi sumber-sumber kemakmuran, yang mengakibatkan ketimpangan sosial yang mengerosi kohesi sosial, dan pada sisi yang lain mobilitas sosial yang pada akhirnya mengakibatkan konsentrasi populasi di daerah-daerah tertentu. Masalah dapat dideret lebih panjang, dengan memasukkan elemen energi, pangan, air, finansial, dan lain sebagainya. Dari kesemua itu, jika dilihat dengan seksama dan jujur, yang berlangsung adalah marjinalisasi atau bahkan eksklusi. Atas dasar itulah, kita memandang perlu melakukan refleksi atas cara berpikir yang selama ini diyakini dan digunakan dalam “mengelola” hidup dan kehidupan bersama kita.

Dalam kerangka itulah, pandangan pertama dalam tajuk “Desa: Ekologi, Ekonomi dan Epistemologi”, berinisiatif mengajukan suatu cara pandang lain, yang diperolehnya dari refleksi atas realitas desa, yang kompleks dan utuh. Bahkan, jika merujuk pada penjelasan Pasal 18 UUD’45 sebelum amandemen, desa adalah entitas yang telah ada sebelum negara berdiri. Dan jika merujuk pada momen sumpah pemuda/i 28 Oktober 1928, dapat pula dikatakan bahwa desa, sesungguhnya telah lebih dulu ada, sebaik sebagai konsepsi maupun sebagai entitas, dari apa yang menjadi komitmen eksistensial dari angkatan muda kala itu. Pun jika meninjau bagaimana penguasa kolonial mengatur desa pada akhir abad XIX dan awal abad XX, maka dapat dikatakan bahwa desa telah lebih lama lagi. Dalam keberadaan panjang itulah, kita sangat mengambil posisi pandangan bahwa desa sesungguhnya merupakan suatu system yang utuh, meskipun memang pada beberapa bagian memuat persoalan terutama jika diungkap relasi kuasa yang berkembang dan terselenggara di beberapa desa, terutama yang terintegrasi dalam kekuasaan Kerajaan.

Poin pokok yang nampaknya ditarik menjadi suatu dasar dari pandangan yang daripadanya memahami desa sebagai sistem kehidupan yang memiliki tiga unsur konstitutif: ekologi, ekonomi, dan epistemologi. Masing-masing menyumbang pada terbentuknya keberadaan desa sebagai satuan hidup yang utuh dan tak terpisah dari pengalaman dunia-hidup komunitasnya. Namun demikian, untuk memahami kedalaman struktur kehidupan desa, sudut pandangan ini, kita perlu melangkah lebih jauh: melihat bagaimana dari relasi antar ketiga unsur, yang hendak dinyatakan disini telah memunculkan sebagai hasil interaksinya. Jika unsur tersebut diletakan sebagai titik, maka terbentuk garis yang merupakan interaksi dua titik. Telah disebutkan bahwa garis tersebut, yang dibentuk dari dua titik, merupakan sesuatu yang muncul sebagai suatu relasi, sedemikian rupa sehingga tiga garis yang muncul sebagai relasi tiga titik utama (ekologi, ekonomi dan epistemology), yakni politik, sosial dan kultur, membentuk suatu relasionalitas, yang mengarah kemunculan satu titik emergen vertikal yang bernama etika.

***

Sebelum masuk ke dalam pokok soal, baik jika ditilik kembali pengertian dari tiga titik utama, sebagaimana yang telah diungkap pada edisi yang lalu.

Pertama, ekologi, yang dalam hal ini dipandang sebagai “representasi” kehadiran desa dalam dan bersama alam. Ini adalah modus keberadaan dan kehadiran, di mana kehidupan tidak berdiri di atas alam, tetapi berada di dalamnya. Desa menjadi manifestasi konkret dari ruang hidup yang ritmis, penuh batas, namun juga kaya makna. Tanah, sungai, hutan bukanlah objek, melainkan bagian dari jaringan keberadaan.

Kedua, ekonomi, menunjukkan cara desa hadir melalui sirkulasi nilai dan kerja kolektif. Ini adalah suatu keberadaan di mana pertukaran bukan sekadar transaksi, tetapi artikulasi dari solidaritas, tanggung jawab, dan keberlanjutan. Suatu kesadaran akan kebermukiman, yang dengan demikian inheren berada dalam keterbatasan. Secara demikian, ekonomi desa tertanam dalam etika relasi, bukan logika akumulasi.

Ketiga, epistemologi, adalah horizon pengetahuan yang muncul dari pengalaman dan praksis hidup. Ini adalah suatu keberadaan dan kehadiran di mana pengetahuan bukan sistem luar yang diimpor, tetapi tumbuh dari dalam pengalaman ekologis dalam keseluruhan realitas desa. Epistemologi desa bersifat naratif, kontekstual, dan tertanam dalam tubuh kolektif komunitas.

Ketiganya ini tidak terpisah, melainkan berada dalam satu jaringan relasi yang memunculkan unsur derivasi, sedemikian sehingga memunculkan “bidang horizontal”, yang tidak lain merupakan jaringan relasi yang saling membatasi dan membentuk. Dari sinilah lahir bentuk-bentuk kehidupan bersama.

***

Relasi antar titik-titik dasar itu melahirkan atau memunculkan tiga bentuk artikulasi horizontal:

Pertama, sosial, yang muncul dari relasi antara ekologi dan ekonomi. Cara komunitas mengelola ruang hidup dan mendistribusikan nilai menentukan struktur sosial: kerja sama, gotong royong, kepemilikan kolektif, dan hierarki nilai sosial.

Kedua, kultural, yang lahir dari interaksi antara ekologi dan epistemologi. Pengetahuan yang dimaknai melalui pengalaman ekologis membentuk sistem simbol, ritus, cerita rakyat, dan mitos kolektif. Kultur menjadi ekspresi simbolik dari cara hidup yang tertanam dalam alam.

Ketiga, politik, yang terbentuk dari hubungan antara ekonomi dan epistemologi. Distribusi nilai dan legitimasi pengetahuan menghasilkan struktur otoritas dan mekanisme pengambilan keputusan. Politik desa tidak lepas dari siapa yang dianggap tahu dan layak dipercaya.

Ketiga relasi ini adalah garis-garis emergen dalam bidang horizontal. Ketiganya, dapat dikatakan tidak memiliki eksistensi otonom, tetapi merupakan ekspresi dari konfigurasi relasional yang hidup.

***

Apa yang belum tampak dalam relasi horizontal ini adalah unsur vertikal, yakni titik yang bukan sekadar hasil dari relasi dua unsur, tetapi muncul dari intensitas keterhubungan itu sendiri. Di sinilah hendak dinyatakan sebagai momen munculnya etika.

Etika dalam kerangka ini bukan norma luar, tetapi emergensi vertikal dari dalam relasi horizontal. Modus kehadirannya adalah “tanggung jawab”, suatu kesadaran akan keberadaan yang lain, dan tanggung jawab untuk menjaga, merawat, serta tidak merusaknya. Etika dalam kerangka ini, tidak lahir dari kalkulasi, tetapi dari “resonansi” eksistensial. Atau dalam batas-batas tertentu, dapat disebut sebagai sebuah tegangan transendental yang tidak bisa dijelaskan semata oleh mekanisme sosial, politik, atau kultural.

Etika bukanlah hasil dari penjumlahan atau produk dari interaksi dua unsur tertentu. Namun merupakan implikasi dari keterjalinan seluruh unsur secara intensif. Karena ekologi, ekonomi, dan epistemologi saling mengandaikan dan membatasi satu sama lain dalam bidang horizontal, maka etika timbul dari ketegangan tersebut, dan dari momen ketika relasi-relasi itu mengandung keterlibatan yang mendalam dan tak terelakkan, muncul suatu horizon tanggung jawab. Etika menjadi semacam “titik panggilan” yang menginterupsi sekaligus menyatukan seluruh relasi dengan muatan normatif yang melampaui fungsionalitas.

Etika juga menjadi cermin atas kapasitas reflektif dari sistem kehidupan desa itu sendiri. Ketika relasi ekologis, ekonomi, dan epistemik tidak lagi sekadar berjalan, tetapi dapat dipersoalkan, direnungkan, dan dihadapi dengan kesadaran akan konsekuensinya bagi kecukupan, keadilan dan  keberlanjutan, maka saat itulah etika hadir sebagai pusat pemaknaan. Maka, dalam dalam hal ini, etika bukan hanya emergen, tetapi juga merupakan momen kritis: titik di mana desa tidak hanya hidup, tetapi menyadari dan menilai cara hidupnya sendiri.

***

Dalam kerangka itulah, etika memperoleh makna yang jauh lebih dalam dibanding sekadar kumpulan norma atau aturan perilaku. Etika menjadi kesadaran akan tanggung jawab sebagai akibat dari kedalaman keterhubungan. Dalam pengertian ini, etika tidak dapat diinstitusionalisasi secara mutlak, karena sebenarnya melampaui sistem sosial dan hukum yang ada. Etika merupakan kesadaran yang muncul dari momen “tak terhindarkan” dalam relasi: ketika kita tidak bisa tidak menjawab.

Etika menjadi pusat moralitas yang mengikat desa secara eksistensial. Bukan hanya tentang yang benar dan salah secara formal, tetapi terkait erat dengan pertanyaan: apakah relasi kita dengan tanah, air, sesama manusia, dan nilai-nilai diwariskan itu adil? Apakah kita sudah hidup dalam keberlanjutan yang pantas dan saling menghormati? Etika, dalam konteks ini, adalah momen evaluatif atas seluruh sistem relasi. Apa yang dituntut bukan hanya partisipasi, tetapi tanggung jawab aktif dan penuh kesadaran.

Lebih dari itu, etika menjadi horizon pengarah. Jika ekologi, ekonomi, dan epistemologi membentuk struktur hidup; dan sosial, politik, serta budaya mengartikulasikan cara hidup; maka etika mengarahkan bagaimana kita seharusnya hidup. Etika dalam kerangka ini memberikan arah normatif atas praksis dan menyatukan dimensi kehidupan dalam bingkai refleksi dan keterbukaan terhadap yang lain.

***

Dengan kesemuanya itu, kita sampai pada pemahaman yang lebih utuh dan mendalam mengenai arsitektur keberadaan desa. Desa tidak lagi bisa dipahami sebagai ruang tinggal atau objek pembangunan administratif, melainkan sebagai formasi keberadaan yang kompleks, reflektif, dan bernilai. Tiga titik dasar — ekologi, ekonomi, epistemologi — menyusun bidang keberadaan horizontal, di mana bentuk-bentuk relasi sosial, politik, dan budaya muncul sebagai artikulasi dinamis.

Namun, lebih dari itu, desa memiliki arah dan kedalaman yang timbul secara vertikal: etika. Inilah yang membuat desa bukan hanya sistem relasi, melainkan dunia kehidupan yang memiliki orientasi. Etika menyatukan refleksi dan tanggung jawab, menjadi pusat dari apa yang disebut sebagai kemanusiaan desa. Etika adalah titik di mana cara berada dan cara mengetahui menyatu dalam horizon “penilaian”.

Arsitektur keberadaan ini memberikan kita dasar baru dalam berpikir tentang pembangunan desa. Bukan pembangunan sebagai peningkatan fungsi administratif atau ekonomi, tetapi pembangunan sebagai pemulihan dan penguatan struktur eksistensial desa. Maka, kebijakan, intervensi, dan pengorganisasian desa harus berpijak pada pengakuan atas relasi dasar dan momen etika yang mengikatnya. Hanya dengan cara itu, desa akan tetap menjadi sumber kehidupan yang bekecukupan, berkeadilan, berkelanjutan, dan bermakna. (bersambung) [Desanomia – 22.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *