Wisata Desa

Sumber ilustrasi: unsplash

24 Mei 2025 08.55 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Ketika istilah wisata desa dimunculkan, pertanyaan spontan langsung meluncur: mengapa wisata desa, dan bukan desa wisata? Masalah lain muncul: mengapa dipersoalkan? Apakah penggunaan istilah wisata desa adalah suatu cela? Tabu? Atau, kurang sesuai dengan istilah mainstream atau bahkan mungkin telah dibakukan sebagai satu-satunya istilah dalam jagad pariwisata? Bagaimana sebaiknya masalah ini dilihat?

Desa Wisata

Masing-masing pihak, atas nama pengalaman, pengetahuan, kepangkatan, pengaruh, dan berbagai latar belakang, sangat mungkin akan memiliki pemahaman tersendiri terhadap apa yang disebut sebagai desa wisata. Bagi yang kaya literatur, tentu akan dengan fasih menggambarkan apa definisi, bagaimana deskripsi, bahkan hingga masuk kepada penjelasan yang lebih rinci, tentang mana kegiatan yang dapat masuk dalam kategori desa wisata dan mana yang tidak. Tidak jarang akan menunjukkan, siapa pencetus awal konsep desa wisata, beserta rujukan teksnya. Lebih dari itu, akan pula diperlihatkan perkembangan konsep, dan berbagai acara, program Pembangunan yang terkait dengan konsep tersebut.

Jika pluralitas pengetahuan dianut dan dapat diterapkan. Barangkali akan ditemukan hal-hal lain yang relatif berbeda, misalnya:

Pertama, adanya kenyataan dimana sektor pertanian di desa, telah tidak lagi dapat menopang hidup dan tidak dapat menjanjikan masa depan. Sejak jaman kolonial hingga ini, jika boleh diakui dengan jujur, sektor pertanian, belum sepenuhnya ada dalam kendali orang desa. Memang di desa ada tanah, tenaga kerja dan sumberdaya pendukung. Namun, hal-hal yang paling menentukan, seperti harga produk pertanian, modal, teknologi, dan lain-lain, tidak dalam kendalinya. Belum lagi, arus alih fungsi lahan, yang membuat lahan mengalami guremisasi (meminjam istilah Prof Subejo), yang membuat usaha pertanian makin marjinal.

Kedua, sebenarnya telah menjadi kenyataan bahwa perpindahan kerja telah terjadi, dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian. Apakah menjadi guru, pegawai, pekerja pabrik, pedagang, dan lain-lain. Dan perpindahan yang paling vulgar adalah urbanisasi. Anak-anak desa pergi ke sekolah, hingga derajat yang paling tinggi, dan persis karena itu pula, mereka kesulitan untuk kembali, karena ilmu yang diperoleh tidak “tertanam” dalam realitas sosio-ekologi desa. Tentu, adalah hak setiap orang untuk bekerja dimana pun. Namun demikian itulah adanya. Lagu Desaku, ciptaan L. Manik, jika dibaca teksnya dengan cara yang lain, sebenarnya telah memberikan kesaksian lama bahwa orang-orang desa, telah pergi dari desa, sehingga hanya menjadi daerah yang dirindukannya: Selalu kurindukan, Desaku yang permai.

Ketiga, dua hal itulah, jika boleh dikatakan, merupakan salah satu alas(an), mengapa muncul alternatif, yakni menjadikan sawah bukan sebagai arena produksi, melainkan sebagai “arena wisata”. Kegiatan bertani, bukan lagi menjadi inti kerja produksi, tetapi diubah menjadi atraksi wisata. Orang dari luar desa merasa “wow” terlibat dalam menanam padi, membajak, atau menumbuk padi, dan lain-lain. Orang desa sendiri juga merasa “wow”, ketika menyaksikan orang luar merasa “wow” dengan keseharian mereka. Satu “wow”, dengan dua atau lebih makna. Barangkali inilah awal atau pemula dari kenyataan yang hingga kini berkembang. Memangnya sayangnya para pelaku tidak sempat mencatat, sehingga tidak bisa ikut serta dalam perlombaan penemuan konsep.

Pembangunan

Apa yang penting dari kenyataan tersebut? Bahwa ternyataan tersebut keadaan mampu menimbulkan inisiatif, yang mungkin dapat disebut sebagai “program pembangunan”. Hal ini dapat diperiksa, bahwa dalam satu dekade terakhir, istilah desa wisata menjamur di berbagai dokumen pembangunan nasional dan lokal. Desa wisata didefinisikan sebagai desa yang mengintegrasikan kegiatan pariwisata ke dalam struktur sosial, ekonomi, dan lingkungan desa.

Desa-desa yang dianggap pionir dan termapan (sesuai standar) terbentuk dan menjadi rujukan, serta viralitas. Tentu juga menjadi unggulan daerah, dan menjadikan daerah memperoleh makna. Mengapa, karena desa tertentu di daerahnya menjadi model keberhasilan transformasi pedesaan melalui pariwisata. Infrastruktur ditata, masyarakat dilatih sebagai pemandu wisata, budaya lokal dikemas menjadi tontonan, dan aliran wisatawan dimaknai sebagai indikator pertumbuhan ekonomi desa.

Apa yang dicapai dalam jalur ini? Desa wisata dinyatakan dengan angka-angka telah memberikan peluang bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan baru, memperkuat identitas budaya, dan menarik perhatian publik terhadap keberadaan desa yang sebelumnya dianggap marjinal. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pemerintah daerah juga mendapatkan manfaat fiskal dan simbolik dari keberhasilan program desa wisata, yang kerap menjadi ikon keberhasilan pembangunan berbasis komunitas.

Meskipun demikian, program ini tidak bebas dari refleksi, terutama pada nalar yang melandasi pengembangan desa wisata. Refleksi menyasar pada apa yang disebut sebagai komodifikasi, yakni ketika alam, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat diperlakukan sebagai komoditas dalam industri pariwisata. Ada beberapa kasus yang menunjukkan tendensi eksklusi sosial, di mana sebagian warga tidak terlibat dalam manfaat ekonomi yang tercipta, sementara tekanan terhadap sumber daya alam meningkat. Homogenisasi budaya juga menjadi ancaman, karena hanya aspek-aspek yang “menjual” yang dipertontonkan, sementara praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ekspektasi wisatawan dipinggirkan.

Nalar yang demikian, sangat terkait dengan penerapan disiplin indikator-indikator kuantitatif, seperti jumlah kunjungan, tingkat hunian homestay, peningkatan omzet UMKM. Ukuran-ukuran ini sering mengaburkan dimensi-dimensi kualitatif yang esensial bagi keberlanjutan desa, seperti kohesi sosial, kesehatan ekologis, dan otonomi budaya. Akibatnya, meski membawa keuntungan ekonomi jangka pendek, pendekatan dikhawatirkan tidak menjamin keberlanjutan ekologis maupun keadilan sosial.

Wisata Desa

Ada refleksi yang diam-diam merayap: mengapa orang-orang desa tampak kurang mampu menikmati apa yang dapat dinikmati oleh orang luar? Atau, mengapa orang desa tidak (mampu) berwisata di desanya sendiri? Apakah ini adalah kenyataan yang harus diterima? Ataukah, pertanyaan ini menyingkap sesuatu yang lain? Tentu saja hal ini tidak dimaksudkan untuk mendorong suatu eksklusifitas. Segala kemungkinan terbuka. Namun, kita tidak bisa menyembunyikan suara: selalu kurindukan.

Apabila ide-ide baru diperbolehkan untuk diutarakan, maka mungkin wisata desa, dapat ikut melengkapi pandangan yang ada. Berbeda dengan desa wisata yang merupakan program formal, wisata desa adalah praktik organik di mana kegiatan wisata tumbuh dari dalam kehidupan desa itu sendiri. Tidak ada paket wisata, tidak ada branding agresif, tidak ada pengemasan budaya secara komersial. Sebaliknya, yang ada adalah bentuk-bentuk interaksi yang natural antara warga desa dan pengunjung, baik dari luar maupun dari dalam desa itu sendiri, yang menjadikan ruang dan waktu desa sebagai medium pembelajaran, perenungan, dan pemulihan hubungan manusia dengan alam.

Wisata desa tidak selalu mengandalkan daya tarik yang spektakuler. Misalnya, hanya berupa kegiatan berjalan menyusuri pematang sawah, mendengarkan kisah-kisah lokal dari tetua desa, atau sekadar duduk di bawah pohon rindang sambil merasakan angin sore. Kegiatan ini tidak ditujukan untuk semata-mata mendatangkan keuntungan ekonomi langsung, tetapi untuk memulihkan keintiman antara manusia, ruang, dan waktu.

Yang lebih penting, wisata desa tidak memposisikan pariwisata sebagai “tujuan”, melainkan sebagai sarana untuk membangun kesadaran sosio-ekologis. Dalam kerangka ini, wisata bukan soal “melihat” desa dari luar, melainkan soal “mengalami” desa secara utuh, sebagai ruang kehidupan yang kompleks, rapuh, dan penuh hikmah. Wisata menjadi aktivitas rekreasi yang sekaligus reflektif. Pengunjung (termasuk warga desa sendiri) diundang untuk belajar, mendengar, dan mungkin pada akhirnya berubah.

Wisata Desa sebagai Proposal Ekologis

Melalui pendekatan ini, wisata desa bisa dilihat sebagai sebuah proposal ekologis, yaitu tawaran terhadap cara lain mengelola hubungan manusia dengan alam, yang tidak didasarkan pada eksploitasi, melainkan pada pemeliharaan dan perawatan. Wisata desa bukan sekadar menghindari kerusakan lingkungan, tetapi secara aktif menumbuhkan kesadaran ekologis, nilai-nilai setempat dan spiritualitas (dengan mengalami keindahan alam, timbul kesadaran transenden).

Berbeda dengan ekowisata yang kerap tetap terjebak dalam logika “pasar hijau”, wisata desa mengandaikan relasi yang setara antara manusia dan alam, antara warga dan tamu. Tidak ada pembedaan yang tajam antara “tuan rumah” dan “pengunjung”, karena keduanya berada dalam posisi yang sama: sebagai manusia yang belajar dari alam dan sejarah desa.

Dalam konteks ini, wisata desa menyajikan tiga nilai utama:

  1. Ekologisasi kesadaran – mengajak masyarakat kembali memahami ekosistem lokal sebagai sesuatu yang suci dan layak dihormati dan dirawat, bukan sekadar dimanfaatkan.
  2. Humanisasi ruang – membalik logika wisata yang transaksional menjadi relasi yang lebih empatik, penuh penghargaan, dan tidak terburu-buru.
  3. Reorientasi kebudayaan – menolak pengemasan budaya untuk pasar, dan sebaliknya memulihkan budaya sebagai praktik kehidupan sehari-hari yang bermakna dan berdaulat.

Wisata desa membuka ruang bagi transformasi desa yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berbasis nilai-nilai lokal. Transformasi ini bukan berarti anti-pariwisata, tetapi justru mengajak kita untuk membayangkan ulang bentuk pariwisata yang “tertanam”, yang memperkuat komunitas, memulihkan ekologi, dan dalam batas-batas tertentu sangat mungkin membangkitkan transendensi.

Tentu sangat disadari bahwa pendekatan punya tantangan tersendiri: keterbatasan dukungan institusional, minimnya pengakuan dalam regulasi, dan dominasi narasi ekonomi dalam kebijakan pembangunan. Namun justru karena itu, wisata desa perlu dipahami sebagai ruang kemungkinan. Sebagai suatu kemungkinan, maka wisata desa lebih ideal mulai dari yang paling mungkin, yakni menjadikan wisata sebagai bagian dari praksis hidup sehari-hari orang desa. Inilah bentuk nyata dari kesadaran ekologis yang berakar. Secara demikian, wisata desa bukan sekadar “wisata di desa”, tetapi cara lain untuk berada di dunia. Undangan untuk memperlambat langkah, memperdalam pemahaman, dan memperkuat relasi antar manusia dan alam. [Desanomia – 24.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *