Sumber ilustrasi: pixabay
Oleh: Pandu Sagara
26 Mei 2025 18.50 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ada pertanyaan yang sangat mengganggu, yakni mengapa desa dianggap hanya menjadi tempat bagi petani (desa pedalaman) dan nelayan (desa pesisir)? Atau, mengapa sangat kuat kesan bahwa desa hanyalah menyediakan lapangan kerja untuk petani dan nelayan? Apakah tidak ada jenis-jenis pekerjaan lain di desa? Apakah desa benar-benar akan menjadi masa lalu? Apakah desa tidak memang tidak mampu memberikan harapan bagi masa depan, termasuk untuk anak-anaknya sendiri? Jika benar, dimana masalahnya? Apakah ada jalan untuk mengubah atau menjawab masalah-masalah tersebut?
***
Memang sulit untuk dibantah bahwa dalam diskursus pembangunan (ekonomi) nasional, desa masih ditempatkan sebagai entitas pendukung sektor primer, terutama pertanian dan perikanan. Sebutan “petani” untuk desa-desa pedalaman dan “nelayan” untuk desa pesisir bukanlah sekadar kategori pekerjaan, melainkan konstruksi historis yang merepresentasikan peran struktural desa dalam sistem ekonomi yang lebih luas. Pandangan ini telah melekat dalam imajinasi kolektif masyarakat dan kebijakan negara selama puluhan tahun, sehingga menimbulkan kesan bahwa desa tidak memiliki kapasitas untuk menciptakan lapangan kerja di luar “sektor tradisional” tersebut. Karena itu, pertanyaan yang muncul di atas, sebenarnya merupakan undangan untuk secara sengaja melakukan refleksi dan daripadanya dibuka ruang untuk meninjau ulang secara kritis pandangan konvensional. Sebab, desa bukan tidak mampu menciptakan lapangan kerja; permasalahannya terletak pada pendekatan pembangunan yang belum memberi ruang bagi diversifikasi ekonomi dan mobilisasi sumber daya lokal secara optimal.
Secara historis, struktur ekonomi pedesaan sejak era kolonial telah dikonstruksi untuk melayani kepentingan “pusat pertumbuhan”, baik dalam bentuk ekonomi-kolonial maupun Pembangunan(isme) terpusat pasca-kemerdekaan. Desa-desa difungsikan sebagai lumbung produksi komoditas pertanian (agramaritim) yang dipasok ke kota-kota atau ekspor, tanpa diberi kesempatan untuk membangun basis industri atau jasa lokal (desa) secara mandiri. Akibatnya, aktivitas ekonomi desa nyaris selalu terikat pada eksploitasi sumber daya alam, dengan nilai tambah yang rendah dan ketergantungan tinggi pada faktor eksternal, seperti harga komoditas global atau “perubahan iklim”.
Pandangan yang menyempitkan fungsi desa sebagai penyedia tenaga kerja di sektor primer ini diperkuat oleh kebijakan pembangunan yang bersifat top-down. Program-program pembangunan desa seringkali lebih menekankan pada aspek fisik dan simbolik, seperti pembangunan infrastruktur dasar atau sekedar momen simbolik dalam peringatan hari nasional, yang sekedar ingin memperlihatkan kepedulian pada desa, yang dengan demikian sebenarnya tanpa strategi jangka panjang yang mendorong industrialisasi skala kecil, kewirausahaan, atau inovasi teknologi berbasis desa. Di sisi lain, stereotip bahwa warga desa tidak cukup terampil atau tidak siap bersaing dalam “ekonomi modern” juga memperkuat eksklusivitas sektor kerja mereka. Kombinasi dari struktur historis dan persepsi sosial ini menciptakan “lingkaran setan” di mana desa terus dianggap tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang beragam.
Bagi yang memahami secara persis dinamika ekonomi desa, tentu akan mampu mengatakan bahwa pernyataan bahwa desa tidak mampu menciptakan lapangan kerja secara mandiri sejatinya merupakan simplifikasi yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Potensi ekonomi desa sangat luas dan beragam, tergantung pada kondisi geografis, sosial, dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Misalnya, di banyak desa terdapat peluang besar dalam pengembangan wisata desa (lihat edisi wisata desa), agrowisata, industri kreatif berbasis budaya lokal, pengolahan hasil pertanian, hingga jasa-jasa berbasis digital. Dengan kemajuan teknologi informasi, desa tidak lagi harus terisolasi dari dinamika pasar nasional maupun global. Internet memungkinkan warga desa untuk mengakses pelatihan daring, menjual produk melalui e-commerce, bahkan bekerja sebagai freelancer global. Namun, semua potensi ini tidak akan terwujud tanpa prasyarat struktural dan ruang partipasi yang mendukung.
Permasalahan utama terletak pada infrastruktur dan institusi pendukung yang belum berkembang memadai. Jalan desa, listrik yang tidak stabil, akses air bersih yang terbatas, serta koneksi internet yang lambat adalah kendala nyata yang menghambat produktivitas ekonomi desa. Selain itu, akses terhadap permodalan juga sangat terbatas. Lembaga keuangan formal umumnya enggan memberikan pinjaman produktif kepada pelaku usaha desa karena dianggap berisiko tinggi dan tidak memiliki jaminan. Sementara itu, lembaga keuangan mikro seperti koperasi atau BUMDes masih banyak yang belum memiliki kapasitas manajerial dan tata kelola yang andal. Hal ini diperparah oleh keterbatasan sumber daya manusia dan rendahnya investasi dalam pendidikan dan pelatihan vokasional berbasis kebutuhan lokal.
Tantangan lainnya adalah fragmentasi kebijakan antar lembaga. Sering kali terdapat banyak program dari berbagai kementerian yang ditujukan untuk desa, namun tidak terkoordinasi dan tidak berkelanjutan. Akibatnya, desa menjadi objek berbagai intervensi yang tidak sinergis, tanpa mekanisme umpan balik atau evaluasi jangka panjang yang memadai. Dalam banyak kasus, alokasi Dana Desa yang besar belum sepenuhnya dialokasikan untuk kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dalam menciptakan lapangan kerja.
Bagi sebagian kalangan, untuk mengatasi persoalan-persoalan ini, diperlukan transformasi struktural dalam pendekatan pembangunan desa. Pertama, pembangunan infrastruktur harus diarahkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi untuk mendukung aktivitas ekonomi produktif. Misalnya, jalan desa harus terkoneksi dengan pusat distribusi, jaringan internet harus cukup kuat untuk mendukung e-commerce dan pendidikan online (daring), dan pasokan listrik harus stabil agar usaha kecil dapat beroperasi optimal.
Kedua, perluasan akses keuangan harus dilakukan secara inovatif dan inklusif, dengan melibatkan teknologi keuangan (fintech), koperasi digital, serta sistem jaminan sosial berbasis komunitas. Ketiga, pengembangan sumber daya manusia di desa harus diarahkan pada keterampilan praktis dan kewirausahaan. Pelatihan berbasis kompetensi dan inkubator usaha lokal bisa dijalankan melalui kemitraan antara pemerintah, universitas, OMS, dan sektor swasta.
Keempat, BUMDes harus direvitalisasi menjadi katalisator ekonomi desa. BUMDes tidak hanya sebagai pengelola aset desa, tetapi harus menjadi penggerak utama dalam membuka lapangan kerja, melalui investasi di sektor-sektor strategis seperti pengolahan hasil pertanian, jasa logistik lokal, dan usaha berbasis digital. Model klaster ekonomi berbasis potensi lokal juga bisa diterapkan untuk memperkuat daya saing antar desa.
Kelima, langkah untuk menggerakkan koperasi desa, hendaknya menjadi titik strategis untuk menghidupkan prakarsa dari bawah dan bukan sebaliknya. Yang dimaksud di sini tentu bukan suatu mobilisasi sumberdaya, yang pada akhirnya hanya menempatkan desa sebagai obyek dan gagal menjadi desa sebagai subyek ekonomi yang produktif dan berdaya. Koperasi desa yang kembali kepada hakekat koperasi, akan menjadi fondasi ekonomi nasional, terutama untuk meningkatkan produktivitas nasional berbasis realitas sosio-ekologi setempat.
Akhirnya, otoritas ekonomi perlu membentuk kerangka kebijakan yang holistik dan adaptif terhadap dinamika lokal. Regulasi harus mendorong inovasi dan kolaborasi lintas sektor, bukan justru membatasi gerak desa. Pendekatan pembangunan desa harus berubah dari paradigma “bantuan” menjadi “pemberdayaan”, dari “pembangunan fisik” menjadi “transformasi ekonomi”. Dengan demikian, menjawab pertanyaan awal: desa sebenarnya bukan tidak mampu menciptakan lapangan kerja. Yang terjadi adalah ketimpangan dalam pemberdayaan dan alokasi sumber daya, serta kegagalan dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang mendukung ekspansi sektor-sektor nontradisional di desa. Jika hambatan struktural ini dapat diatasi secara sistematis, maka desa dapat berkembang menjadi pusat ekonomi baru yang tidak hanya menyediakan pekerjaan, tetapi juga memunculkan inovasi dan daya saing lokal yang berkelanjutan.