Mengalami Desa, Memaknai Dunia

Sumber ilustrasi: pixabay

Oleh: Untoro Hariadi
27 Mei 2025 12.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

(Tanggapan Filosofis atas Tulisan “Wisata Desa”)

Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan yang berjudul Wisata Desa, (desanomia.id, 24/5/25) sebuah pemikiran reflektif yang menawarkan pendekatan alternatif terhadap pariwisata berbasis komunitas, dengan menekankan dimensi kebermaknaan, keberlanjutan, dan keberpihakan ekologis. Gagasan tentang wisata desa dalam tulisan tersebut bukan semata-mata soal aktivitas rekreatif, tetapi lebih sebagai cara berada di dunia – sebuah praksis kultural dan ekologis yang menantang logika industri wisata konvensional.

Dalam konteks global di mana industri pariwisata telah menjadi salah satu sektor ekonomi terbesar yang ironisnya sekaligus menjadi penyumbang signifikan terhadap krisis ekologis dan kultural, gagasan wisata desa muncul sebagai narasi tandingan yang mendesak. Ketika pariwisata massal mengubah tempat-tempat sakral menjadi komoditas yang layak untuk difoto dan dibagikan di media sosial, ketika budaya lokal direduksi menjadi pertunjukan eksotis untuk konsumsi wisatawan, dan ketika alam diperlakukan sebagai latar belakang belaka untuk kepuasan visual sesaat, maka gagasan wisata desa hadir sebagai kritik sekaligus alternatif yang mendasar.

Dalam kerangka pemikiran ini, terdapat lima poin filosofis yang secara signifikan memperkuat dan memperluas wawasan dari artikel tersebut: makna sebagai inti tindakan, kesadaran ekologis sebagai laku hidup, relasi autentik sebagai dasar interaksi, waktu lambat sebagai pembebasan, dan desa sebagai ruang etika alternatif.

Makna sebagai Inti Tindakan

Pertama, gagasan makna sebagai inti tindakan merupakan landasan utama yang membedakan wisata desa dari desa wisata. Dalam pandangan eksistensial Heideggerian, manusia bukan sekadar makhluk yang “melakukan”, tetapi makhluk yang “bermakna”. Aktivitas wisata dalam kerangka industri seringkali kehilangan maknanya karena berpusat pada produksi pengalaman instan yang dikemas dan dijual. Namun, seperti ditunjukkan dalam tulisan “Wisata Desa”, tindakan berjalan di pematang, mendengar kisah dari tetua, atau sekadar duduk di bawah pohon rindang bukanlah tindakan kosong – semuanya sarat makna, karena mempertemukan manusia dengan dirinya, dengan komunitas, dan dengan alam secara lebih utuh. Ini bukan sekadar rekreasi, melainkan re-kreasi diri melalui laku yang tenang dan bermakna.

Makna di sini tidak lahir dari spektakuleritas pengalaman atau akumulasi foto dan video untuk media sosial, melainkan dari kedalaman kontemplasi dan kualitas kehadiran. Ketika seseorang duduk di ujung desa sambil menyaksikan matahari terbenam, yang terjadi bukanlah konsumsi pemandangan, melainkan dialog eksistensial dengan temporalitas dan keterbatasan – kesadaran akan keterbatasan hidup yang justru membuat setiap momen menjadi berharga. Pengalaman semacam ini tidak dapat direproduksi dalam kemasan paket wisata atau diminimalkan menjadi ulasan di situs perjalanan, karena ia bersifat unik dan personal, terikat pada konteks ruang-waktu yang spesifik dan disposisi batin yang tepat.

Lebih jauh lagi, makna dalam wisata desa tidak bersifat individual-subyektif, melainkan komunal dan antar-subyektif. Ketika pengunjung ikut serta dalam aktivitas sehari-hari warga desa – entah itu membantu di sawah, belajar memasak masakan tradisional, atau sekadar mengobrol di warung kopi – yang terjadi adalah pembentukan makna bersama melalui pengalaman bersama yang genuine. Ini kontras dengan pariwisata konvensional yang cenderung menciptakan pola terpisah antara wisatawan dan penduduk lokal, di mana interaksi dibatasi oleh transaksi ekonomi dan pertunjukan budaya yang telah dikurasi.

Kesadaran Ekologis sebagai Laku Hidup

Kedua, tulisan tersebut dengan tepat menempatkan kesadaran ekologis bukan sebagai konsep abstrak, tetapi sebagai laku sehari-hari. Dalam filsafat deep ecology, relasi antara manusia dan alam tidaklah hierarkis, melainkan setara dan saling terhubung dalam jalinan kehidupan. Wisata desa, dalam versinya yang paling otentik, mengajak manusia bukan hanya untuk “menikmati” alam, tetapi untuk menghayatinya, merawatnya, dan merasakannya sebagai bagian dari tubuh kehidupan kolektif. Dalam hal ini, wisata desa menjadi praksis ekologis yang hidup – bukan sekadar jargon pembangunan hijau, tetapi tindakan nyata yang mengakar dalam kesadaran spiritual dan kebudayaan lokal.

Kesadaran ekologis dalam konteks wisata desa tidak termanifestasi dalam slogan-slogan ramah lingkungan atau pemasaran ramah lingkungan, melainkan dalam pemahaman mendalam tentang saling ketergantungan semua makhluk hidup. Ketika pengunjung belajar tentang sistem pertanian organik dari petani lokal, mereka tidak sekadar memperoleh pengetahuan teknis, tetapi mengalami transformasi cara pandang dunia – dari paradigma ekstraktif yang melihat alam sebagai sumber daya menuju paradigma regeneratif yang memahami manusia sebagai bagian integral dari ekosistem.

Praktik-praktik sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, menghemat air, atau memilih berjalan kaki di lingkungan desa bukanlah sekadar etika lingkungan, melainkan ekspresi dari kesadaran kosmologis yang lebih dalam. Ini adalah pengakuan bahwa setiap tindakan, sekecil apapun, memiliki konsekuensi ekologis yang meluas dalam jejaring kehidupan yang kompleks. Dalam tradisi kearifan tradisional, kesadaran semacam ini sering diartikulasikan melalui konsep-konsep seperti “pemikiran tujuh generasi” – pertimbangan dampak setiap keputusan terhadap tujuh generasi mendatang.

Lebih kritis lagi, wisata desa sebagai praksis ekologis menantang logika pertumbuhan ekonomi tanpa batas yang menjadi fondasi industri pariwisata massal. Tidak hanya mengejar jumlah pengunjung dan maksimalisasi pendapatan, wisata desa mengutamakan daya dukung lingkungan dan dampak regeneratif. Ini bukan anti-pembangunan, melainkan redefinisi pembangunan dari paradigma kuantitatif menuju paradigma kualitatif, dari berorientasi pertumbuhan menuju berorientasi kesejahteraan.

Relasi Autentik sebagai Dasar Interaksi

Ketiga, munculnya relasi autentik sebagai dasar interaksi merupakan pergeseran radikal dari relasi wisata konvensional yang cenderung transaksional. Dalam kerangka etika Levinas, relasi dengan “yang lain” adalah panggilan etis untuk bertanggung jawab, bukan sekadar bertukar manfaat. Wisata desa tidak menempatkan tamu dan tuan rumah dalam posisi yang timpang, tetapi dalam ruang saling belajar, saling menghargai, dan saling mendengarkan. Ketika warga desa dan pengunjung duduk bersama tanpa dikungkung oleh naskah pertunjukan atau paket wisata, yang muncul adalah kemanusiaan bersama – ruang di mana semua orang, dari mana pun, kembali menjadi pelajar atas dunia yang rapuh dan penuh hikmah.

Relasi autentik dalam wisata desa dibangun atas fondasi timbal balik yang murni, bukan amal atau keingintahuan eksotis. Pengunjung tidak datang sebagai konsumen pasif yang membeli pengalaman, melainkan sebagai peserta aktif yang berkontribusi pada kehidupan komunitas. Kontribusi ini bisa berupa tenaga (membantu aktivitas produktif), pengetahuan (berbagi keterampilan atau perspektif dari luar), atau sekadar kehadiran yang penuh perhatian dalam percakapan sehari-hari.

Yang lebih mendalam, hospitalitas dalam wisata desa tidak bersifat performatif – tidak ada upaya untuk menciptakan impresi atau memenuhi ekspektasi wisatawan tentang “pengalaman desa yang otentik.” Sebaliknya, hospitalitas muncul secara natural dari nilai-nilai komunal yang memang sudah tertanam dalam budaya desa, seperti gotong royong, tepa selira, dan prinsip bahwa tamu adalah berkah. Ini menciptakan ruang interaksi yang genuine, di mana berbagi kerentanan bisa terjadi dari kedua belah pihak.

Dalam konteks global yang ditandai oleh polarisasi, xenofobia, dan konflik antar kelompok, model relasi autentik dalam wisata desa menawarkan prototipe untuk hidup berdampingan secara damai. Ketika penghuni kota dan warga desa, penduduk lokal dan orang asing, bisa duduk bersama dalam kesetaraan dan saling menghargai, tercipta ruang mikro-kosmopolitan yang mendemonstrasikan bahwa perbedaan bukan penghalang, melainkan sumber daya untuk saling memperkaya.

Waktu Lambat sebagai Pembebasan

Keempat, tulisan tersebut mengajukan konsep waktu lambat (slow time) sebagai pembebasan dari logika percepatan yang melekat dalam modernitas. Filsuf seperti Byung-Chul Han telah mengkritik bagaimana kehidupan kontemporer dilanda oleh “kelelahan karena terlalu banyak hal” – aktivitas yang tak henti, waktu yang terfragmentasi, dan tubuh yang terasing. Wisata desa menawarkan ritme lain: ritme yang memungkinkan tubuh untuk berdiam, pikiran untuk menyerap, dan jiwa untuk menyatu. Dalam hal ini, desa bukan hanya ruang fisik, melainkan ritme waktu yang memungkinkan kita kembali mengenali keutuhan pengalaman hidup.

Konsep waktu lambat dalam wisata desa bukan sekadar tentang berjalan pelan atau menghabiskan waktu lebih lama di satu tempat, melainkan tentang kualitas pengalaman temporal yang berbeda. Ini adalah waktu yang tidak diukur oleh metrik produktivitas atau target pencapaian, tetapi waktu yang memberi ruang bagi kontemplasi, spontanitas, dan kejutan tak terduga. Waktu di mana kebosanan bukan masalah yang harus dipecahkan dengan stimulasi eksternal, melainkan kondisi yang memungkinkan kekayaan batin untuk muncul.

Dalam waktu lambat, pengunjung belajar untuk tidak selalu melakukan sesuatu, tetapi juga untuk keberadaan – sekedar hadir dan sadar. Mereka duduk di teras rumah tradisional tanpa agenda khusus, mengikuti irama alam dan aktivitas warga desa. Pengalaman semacam ini kontras dengan jadwal padat wisata konvensional yang dikurasi untuk memaksimalkan “pengalaman” dalam waktu minimum, tetapi justru menghasilkan kelelahan dan keterlibatan yang dangkal.

Lebih kritis lagi, waktu lambat dalam wisata desa adalah bentuk resistensi terhadap apa yang bisa disebut “kolonisasi temporal” – dominasi logika efisiensi dan kecepatan yang dipaksakan oleh sistem kapitalis global terhadap ritme kehidupan lokal. Ketika waktu desa tidak lagi diukur berdasarkan waktu jam industri, tetapi berdasarkan ritme alamiah – siklus tanam-panen, pergantian musim, ritual keagamaan – maka yang terjadi adalah perebutan kembali kedaulatan temporal.

Desa sebagai Ruang Etika Alternatif

Kelima, dan mungkin yang paling mendalam, adalah posisi desa sebagai ruang etika alternatif. Dalam filsafat moral, terutama dalam pemikiran komunitarian, nilai-nilai seperti gotong royong, kesahajaan, dan rasa cukup tidak hanya merupakan sisa-sisa tradisi, tetapi sebagai prinsip etis yang relevan untuk masa depan. Wisata desa, dalam artikulasi yang ditawarkan oleh artikel tersebut, menjadi tawaran moral terhadap dunia yang lelah oleh individualisme, konsumerisme, dan alienasi ekologis. Desa di sini bukanlah nostalgia masa lalu, tetapi gagasan masa depan – sebuah titik balik dari logika pembangunan yang eksploitatif menuju logika pemeliharaan dan kebaikan bersama.

Etika alternatif yang termanifestasi dalam wisata desa tidak bersifat utopis atau romantis, melainkan pragmatis dan berakar dalam praktik sosial nyata. Prinsip-prinsip seperti berbagi sumber daya, pengambilan keputusan kolektif, dan kepedulian terhadap yang rentan bukanlah ideal moral yang abstrak, tetapi prinsip pengorganisasian yang membuat kehidupan komunitas desa berkelanjutan dan tangguh. Ketika pengunjung mengalami langsung bagaimana komunitas desa mengelola sumber daya bersama – seperti irigasi, hutan komunal, atau fasilitas publik – mereka mendapat wawasan tentang model ekonomi alternatif yang tidak berbasis pada kepemilikan pribadi dan kompetisi pasar.

Yang lebih radikal, desa sebagai ruang etika alternatif menantang asumsi-asumsi fundamental tentang kemajuan dan pembangunan yang mendominasi wacana utama. Alih-alih mengidealkan gaya hidup perkotaan sebagai puncak peradaban, wisata desa mempertanyakan apakah kualitas hidup memang berkorelasi dengan kekayaan material dan kecanggihan teknologi? Ketika pengunjung perkotaan merasakan kebahagiaan sederhana dari perkumpulan senja di balai desa atau kepuasan mendalam dari perayaan panen, mereka mulai mempertanyakan pilihan gaya hidup dan sistem nilai mereka sendiri.

Dalam konteks global yang menghadapi berbagai krisis – perubahan iklim, ketimpangan, epidemi kesehatan mental, fragmentasi sosial – desa sebagai ruang etika alternatif menawarkan contoh nyata tentang bagaimana cara berada dan berrelasi yang berbeda itu mungkin. Ini bukan advokasi untuk gerakan kembali ke desa, melainkan undangan untuk belajar dari kearifan desa guna menciptakan cara hidup yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan, entah itu di konteks perkotaan, pedesaan, atau hibrida.

Penutup

Sebagai sebuah refleksi filosofis, tulisan “Wisata Desa” tidak hanya menawarkan cara baru dalam memahami dan mempraktikkan pariwisata, tetapi juga mengundang kita untuk merevisi cara kita memaknai hidup, ruang, waktu, dan relasi. Wisata desa, seperti dijabarkan dalam artikel tersebut, adalah jalan sunyi yang menawarkan pemulihan bukan hanya atas alam yang rusak, tetapi atas manusia yang kehilangan arah dalam hiruk-pikuk modernitas.

Dalam perspektif yang lebih luas, wisata desa dapat dipahami sebagai bentuk pedagogi transformatif – sebuah proses pembelajaran yang tidak hanya mengubah pengetahuan tetapi juga cara pandang dunia, tidak hanya memberikan informasi tetapi juga pembentukan karakter. Melalui penghayatan dalam kehidupan desa, pengunjung tidak sekadar memperoleh pengetahuan budaya atau kesadaran lingkungan, tetapi mengalami pergeseran fundamental dalam cara mereka berrelasi dengan dunia.

Transformasi ini bersifat holistik – melibatkan dimensi kognitif, afektif, dan spiritual. Secara kognitif, pengunjung memperoleh pemahaman tentang cara-cara alternatif mengorganisir kehidupan sosial, mengelola sumber daya, dan berrelasi dengan alam. Secara afektif, mereka mengalami penyembuhan emosional melalui koneksi yang murni, lingkungan yang damai, dan ritme hidup yang lebih lambat. Secara spiritual, mereka menemukan rasa makna dan tujuan yang sering hilang dalam hiruk pikuk kehidupan perkotaan.

Dengan menghayati lima poin penting – makna, kesadaran ekologis, relasi autentik, waktu lambat, dan etika desa – kita diajak tidak hanya untuk melihat desa sebagai destinasi, tetapi sebagai guru kehidupan. Sebuah ruang yang membisikkan pada kita: perlambatlah langkahmu, perkuat relasimu, dan hiduplah dengan cukup. Dalam bisikan sederhana inilah terletak kearifan yang mungkin bisa menyelamatkan kita dari berbagai krisis kontemporer yang kita hadapi bersama.

Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *