Kesejahteraan Umum

Sumber ilustrasi: freepik

5 Juni 2025 08.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Masalah kesejahteraan umum telah menjadi bahan pembicaraan yang panjang. Dalam konteks bangsa, mungkin seumur republik. Dalam Pembukaan UUD’45, kesejahteraan umum menjadi bagian dari ciri yang dilekatkan kepada negara yang akan dibentuk. Pada alinea keempat, dikatakan: “… memajukan kesejahteraan umum, …” Masalah yang ingin diajukan adalah mengapa bangsa tidak kunjung mampu mewujudkan apa yang menjadi harapannya sendiri? Dimana letak masalahnya? Apakah “kesejahteraan umum”, masih hanya menjadi agenda negara, dan belum menjadi agenda nasional? Jika memang demikian itu adanya, maka perlu dipersoalkan secara reflektif: apakah mungkin menjadikan “memajukan kesejahteraan umum” menjadi agenda bangsa, atau agenda nasional? Mengapa mungkin? Atau, apa yang bisa diajukan sebagai dasar pembenar, bahwa memang agenda tersebut seharusnya menjadi agenda nasional dan agenda bagi tiap-tiap warga? Apakah pikiran ini berlebihan?

Ada tiga pokok utama yang bisa diajukan sebagai gagasan dasar, yakni:

Pertama, bahwa kesejahteraan adalah hak kolektif, bukan privilegi individual. Di jantung konsep kesejahteraan publik terdapat premis bahwa hidup layak bukan hasil kompetisi, tetapi hasil dari keberaturan sosial yang adil. Pemikiran liberal klasik sering menempatkan kesejahteraan sebagai hasil jerih payah individu—sebuah imbalan moral atas usaha personal. Namun, pendekatan ini gagal mengakui bahwa pencapaian individual tidak pernah berlangsung dalam ruang hampa. Seluruh prasyarat keberhasilan, pendidikan, infrastruktur, hukum, stabilitas, adalah produk tata sosial yang dibentuk kolektif.

Dengan demikian, kesejahteraan adalah hak kolektif karena hanya dapat dicapai melalui mekanisme bersama: jaminan perlindungan sosial, redistribusi sumber daya, dan institusi yang menjamin keadilan distributif. Air bersih yang mengalir ke rumah, dokter yang tersedia di puskesmas, sekolah yang dapat diakses tanpa diskriminasi, semua itu bukan hasil dari daya beli, tetapi hasil dari keputusan politik yang berpihak.

Lebih jauh lagi, ketika negara mengakui kesejahteraan sebagai hak warga, maka negara tidak sedang berderma, melainkan menjalankan kewajiban etis-konstitusional untuk merawat keutuhan kehidupan warganya. Maka, memperjuangkan kesejahteraan umum tidak boleh direduksi sebagai kegiatan karitatif atau simpati moral terhadap kelompok miskin. Namun harus senantiasa dilihat sebagai tindakan untuk menegakkan prinsip bahwa setiap manusia berhak atas kondisi minimum untuk hidup dengan martabat, tanpa bergantung pada latar sosial atau peluang pasar.

Kedua, bahwa ketimpangan merusak kehidupan bersama. Ketimpangan bukan hanya soal jurang pendapatan antara kelompok kaya dan miskin, tetapi soal tercerabutnya solidaritas sosial, retaknya kepercayaan antarwarga, dan hilangnya ruang bersama untuk bertemu sebagai sesama manusia. Dalam masyarakat yang sangat timpang, warga tidak hanya hidup dalam strata ekonomi yang berbeda, tetapi juga mengalami realitas sosial yang tidak saling menyentuh. Mereka tinggal di lingkungan berbeda, mengakses pendidikan dan kesehatan berbeda, bahkan memahami politik secara berbeda.

Ketimpangan yang dibiarkan akan menggerogoti fondasi demokrasi. Ketika sebagian besar warga merasa tidak mendapat tempat dalam tatanan sosial-ekonomi, maka mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem, bahkan kehilangan harapan. Di sinilah titik bahaya: ketimpangan menciptakan alienasi, dan alienasi menghasilkan apatisme, ekstremisme, atau bahkan kekacauan. Kita menyaksikan di berbagai negara bagaimana polarisasi sosial-ekonomi melahirkan delegitimasi politik dan konflik kelas yang membahayakan stabilitas jangka panjang.

Dengan menjadikan kesejahteraan sebagai kepentingan publik, masyarakat membangun kesadaran bahwa nasib kolektif kita saling terkait. Tidak ada komunitas yang benar-benar stabil jika sebagian besar anggotanya hidup dalam ketakutan akan kelaparan, pengusiran, atau pengabaian. Kesejahteraan, dalam arti ini, adalah jaminan terhadap keutuhan masyarakat itu sendiri, bukan hanya terhadap individu-individu yang terlibat di dalamnya.

Ketiga, bahwa kesejahteraan bersama adalah basis kewargaan yang setara. Dalam teori kewargaan, seorang warga negara tidak hanya memiliki hak politik dan hukum, tetapi juga hak sosial-ekonomi, yakni hak untuk memperoleh perlindungan dasar agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara bermakna. Tanpa jaminan kesejahteraan dasar, kesetaraan formal di hadapan hukum hanyalah ilusi. Bagaimana mungkin seseorang dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas jika terpaksa menjual suaranya karena kebutuhan? Bagaimana seseorang dapat bersuara dalam musyawarah desa jika kelaparan atau buta huruf?

Di sini kita sampai pada inti demokrasi substansial: demokrasi bukan hanya tentang prosedur elektoral, tetapi tentang kapasitas warganya untuk mengambil bagian secara setara dalam kehidupan publik. Dan kapasitas itu tidak bisa tumbuh tanpa pondasi kesejahteraan yang kokoh. Oleh karena itu, kesejahteraan umum bukan sekadar alat untuk mengurangi kemiskinan, tetapi syarat ontologis bagi eksistensi warga negara yang otonom dan bermartabat.

Ketika kita menempatkan kesejahteraan dalam ruang publik, kita sedang memperluas pengertian politik itu sendiri, yakni bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi arena untuk merancang dunia bersama yang dapat dihuni oleh semua, bukan hanya oleh yang paling kuat atau beruntung. (bersambung) [Desanomia – 5.6.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *