Sumber ilustrasi: pixabay
Oleh: Dr. Muhammad Hamid Anwar, M.Phil.
7 Juni 2025 10.55 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pendahuluan
Dalam dua dekade terakhir, desa tidak lagi menjadi pusat orientasi hidup generasi muda. Fenomena urbanisasi semakin kuat mendorong perpindahan penduduk dari desa ke kota, yang umumnya dimotivasi oleh alasan ekonomi, pendidikan, hingga gaya hidup. Namun, di balik derasnya arus tersebut, terjadi apa yang disebut sebagai “pengosongan sosial desa”—yakni tergerusnya kekuatan sosial, budaya, dan ekologis desa sebagai penyangga kehidupan berkelanjutan. Generasi muda desa banyak yang meninggalkan tanah kelahiran, padahal desa menyimpan potensi yang luar biasa dalam mendukung ketahanan komunitas dan kemandirian bangsa.
Secara faktual, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa setiap tahun lebih dari 3 juta penduduk Indonesia mengalami mobilitas antarwilayah, dan sebagian besar merupakan perpindahan dari desa ke kota (BPS, 2023). Padahal, desa merupakan ruang hidup yang sarat akan sumber daya alam dan kearifan lokal. Potensi agrikultur, biodiversitas, pengetahuan tradisional, serta jaringan sosial yang kuat menjadi modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Namun, karena ketimpangan pembangunan dan minimnya perhatian terhadap desa sebagai wilayah strategis, desa kerap diposisikan hanya sebagai “penyedia tenaga kerja murah” bagi kota.
Dalam konteks sosiologis, Anthony Giddens (1990) menjelaskan bahwa modernisasi dan globalisasi telah menciptakan apa yang disebut sebagai disembedding mechanisms, yaitu proses di mana keterikatan sosial pada ruang lokal—termasuk desa—tercerabut oleh struktur yang lebih besar dan abstrak. Desa tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup yang relevan, tetapi hanya sebagai masa lalu yang tertinggal. Hal ini diperparah oleh minimnya narasi tentang desa sebagai pusat inovasi dan konservasi.
Ironisnya, ketika kota menghadapi krisis ekologis dan krisis sosial, desa justru menyimpan harapan ekologis dan kekuatan kultural yang tahan banting. Desa memiliki sistem sosial yang lebih organik, adaptif terhadap perubahan alam, dan berbasis gotong royong. Inilah yang oleh James C. Scott (1998) dalam Seeing Like a State disebut sebagai bentuk pengetahuan lokal (local knowledge) yang kerap diabaikan negara dan birokrasi modern. Konservasi dalam konteks desa tidak sekadar menyelamatkan lingkungan, tetapi juga menyelamatkan cara hidup yang lebih lestari dan manusiawi.
Melalui tulisan ini, penulis berusaha mengangkat desa dari perspektif sosiologis sebagai ruang sosio-ekologis yang bukan hanya perlu dilindungi, tetapi juga perlu dihidupi dan dipelajari kembali. Di tengah krisis global, desa bukan masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan masa depan yang harus dikembalikan ke dalam kesadaran kolektif.
Selain menjadi ruang ekologis yang kaya, desa memiliki potensi untuk menjadi benteng sosial terhadap dampak negatif modernitas. Di tengah gelombang globalisasi dan konsumsi digital yang makin massif, desa justru menyimpan nilai-nilai kultural yang lebih berakar, kolektif, dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian organik berbasis kearifan lokal, sistem irigasi tradisional seperti subak di Bali, serta bentuk relasi sosial seperti gotong royong dan kenduri merupakan warisan sosial yang mampu menciptakan ketahanan komunitas. Hal ini membuktikan bahwa desa tidak selalu identik dengan keterbelakangan, melainkan dapat menjadi model alternatif pembangunan yang lebih manusiawi dan ekologis.
Potensi desa juga terlihat dalam berkembangnya ekowisata, sekolah alam, komunitas berbasis regeneratif agriculture, hingga gerakan desa digital yang tetap mengakar pada nilai lokal. Ini merupakan bentuk transformasi desa tanpa tercerabut dari identitasnya. Seperti yang dijelaskan Arturo Escobar (2011) dalam teorinya tentang post-development, keberlanjutan tidak harus mengikuti pola pembangunan global yang homogen, melainkan bisa muncul dari akar lokal yang hidup, kontekstual, dan berbasis relasi dengan alam.
Bahkan dalam konteks ekonomi, pendekatan seperti ekonomi sirkular, perdagangan komunitas, dan swasembada pangan desa menunjukkan bahwa desa punya kapasitas resistensi terhadap ketergantungan sistem kapitalisme global yang seringkali eksploitatif. Oleh karena itu, mempertahankan dan mengembangkan potensi desa bukanlah tindakan romantik belaka, melainkan sebuah pilihan strategis dalam menghadapi krisis lingkungan, budaya, dan identitas yang makin kompleks.
Dasar Teoritis: Desa sebagai Ruang Sosio-Ekologis
Desa bukan sekadar wilayah administratif atau satuan permukiman, melainkan sebuah ruang hidup yang memuat relasi kompleks antara manusia, alam, budaya, dan pengetahuan lokal. Dalam perspektif sosiologi ekologi, desa dipahami sebagai social-ecological system—yakni sistem yang hidup dan dinamis, yang keberlangsungannya ditentukan oleh interaksi antara struktur sosial masyarakat dengan ekosistem yang menopangnya (Berkes & Folke, 1998). Dalam konteks Indonesia, desa juga memainkan peran penting sebagai benteng terakhir ketahanan budaya dan lingkungan, terutama ketika kota-kota menghadapi krisis ekologis akibat industrialisasi dan urbanisasi berlebih.
Dalam kerangka teori strukturasi dari Anthony Giddens (1984), desa dapat dibaca sebagai entitas yang mempertahankan struktur sosial yang terlokalisasi, di mana praktik sosial ditentukan oleh relasi ruang, waktu, dan tradisi. Ketika modernitas mendorong terjadinya disembedding mechanisms—proses pencabutan aktivitas sosial dari konteks lokalnya—desa justru mempertahankan reembedding, atau proses memperkuat ikatan sosial melalui relasi antarwarga, budaya lisan, dan interaksi ekologis. Artinya, desa bukan antitesis dari modernitas, melainkan memiliki logika sosialnya sendiri yang dapat menjadi alternatif dari model pembangunan dominan yang seringkali mengabaikan dimensi kultural dan ekologis.
Lebih jauh, pendekatan post-development yang ditawarkan Arturo Escobar (2011) menegaskan bahwa pembangunan tidak harus selalu mengikuti narasi global yang teknokratis dan kapitalistik. Bagi Escobar, komunitas lokal seperti desa memiliki pengetahuan otonom (autonomous knowledge systems) yang tumbuh dari interaksi historis mereka dengan alam dan budaya. Konservasi, dalam konteks ini, bukan sekadar pelestarian lingkungan secara teknis, melainkan upaya mempertahankan sistem hidup yang telah terbukti adaptif selama berabad-abad. Hal ini diperkuat oleh James C. Scott (1998), yang dalam karyanya Seeing Like a State mengkritik keras kegagalan kebijakan top-down yang mengabaikan local knowledge atau pengetahuan praktis masyarakat setempat.
Dalam banyak masyarakat desa di Indonesia, pengetahuan lokal tidak sekadar menjadi alat bertahan, melainkan juga landasan etika hidup. Misalnya, filosofi “Tri Hita Karana” di Bali, “Sasadu” di Halmahera, atau sistem “Sasi” di Maluku menunjukkan bagaimana masyarakat adat mengatur hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas secara harmoni. Pengetahuan ini terbukti menciptakan ketahanan ekologis, membatasi eksploitasi sumber daya, dan merawat keseimbangan alam. Namun, dalam logika pembangunan modern yang seragam dan terstandardisasi, pengetahuan semacam ini justru dianggap irasional atau tidak efisien.
Dalam konteks sosiologi kontemporer, desa dapat dilihat sebagai ruang resistensi epistemik terhadap hegemoni pembangunan. Boaventura de Sousa Santos (2007) bahkan menyebut desa sebagai bagian dari epistemologies of the South—suara dan sistem pengetahuan yang secara sistemik disingkirkan oleh narasi pembangunan Barat. Dengan demikian, penting bagi kajian sosiologis untuk tidak memosisikan desa sebagai “tertinggal”, melainkan sebagai sumber alternatif pengetahuan dan kehidupan yang lestari. (bersambung)