Sumber ilustrasi: unsplash
18 Juni 2025 09.20 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman sejak ketika ditampilkan pada Kongres Pemuda pada tahun 1928, dapat dikatakan telah memikul suatu pesan sejarah yang sangat penting, bagi masa depan bangsa. Bagi mereka yang studi music, tentu saja mudah memahami bahwa lagu tersebut telah melampaui batas musikalitas pada umumnya biasa. Indonesia Raya bukan hanya komposisi nada dan kata, melainkan manifestasi dari semangat zaman, sebuah ekspresi kolektif dari kerinduan dan tekad bangsa yang sedang mencari bentuk dan identitasnya di tengah penindasan kolonial.
Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa selain tugasnya sebagai sebuah lagu dengan keunggulan teknik musikal, tetapi pada kemampuannya membangkitkan semangat kebersamaan, sebagaimana yang diucapkan pemuda pada Sumpah Pemuda. Lagu ini adalah musik fungsional, sebuah karya yang diciptakan bukan semata untuk dinikmati secara estetis, melainkan untuk membangkitkan rasa bersama di kalangan massa, membentuk kohesi, dan memantapkan orientasi kolektif dalam perjuangan. Dari segi struktur, mungkin terasa sederhana — namun dari segi daya, terasakan mampu menyalakan bara kebangsaan, menumbuhkan cinta tanah air, dan menggerakkan aksi kolektif melawan penjajahan.
Ketika perubahan terjadi, yakni ketika kemerdekaan bangsa akhirnya dapat dicapai, Indonesia Raya sebenarnya telah mengalami pergeseran peran nasionalnya. Dari lagu perjuangan, menjadi lagu penanda lahirnya sebuah negara, yakni Negara Republik Indonesia – pada 17 Agustus 1945. Jika kita meninjau kedudukan konstitusional lagu Indonesia Raya, yakni kini telah termuat dalam pasal 36 B, UUD ’45 – lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya, maka peristiwa dinyanyikan lagu Indonesia Raya bersamaan dengan dikibarkannya Sang Saka Merah Putih (pada pasal 35 UUD ’45, dikatakan: Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih), setelah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa disampaikan oleh Proklamator Soekarno-Hatta, dapat dikatakan sebagai peristiwa simbolik berdirinya negara Republik Indonesia.
Perubahan peran tidak hanya di situ. Lagu Indonesia mengiringi perjuangan bangsa, yang jatuh bangun dalam membangun negara – yang jika dilihat dari perjalanan konstitusinya, mulai UUD’45, UUD RIS, UUDS ’50, kemudian pada 1959 kembali ke UUD ’45, hingga pada periode paska reformasi terjadi amandemen, hingga kini. Artinya, Indonesia Raya dari lagu perjuangan, menjadi lagu yang mengiringi pembentukan negara, dan perjalanan negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Hal mengingat peran strategis tersebut, ada kebutuhan untuk membuat refleksi yang lebih mendalam terkait dengan makna atau pesan sejarah yang terkandung dalam lagu tersebut. Apa yang ingin ditemukan tentu adalah hal yang dapat dikatakan sebagai “lebih mendasar”, yakni suatu kemungkinan bahwa lagu tersebut pada dasarnya adalah refleksi dari pemikiran yang hidup dalam masyarakat (bangsa). Dalam kaitan itulah, hendak diajukan di sini “perspektif” ekologi, ekonomi dan epistemologi.
Tiga Dasar
Hal tentang ekologi, ekonomi, dan epistemologi sebenarnya telah diangkat dalam tulisan serial pada desanomia.id (dibuka edisi tanggal 21 Mei 2025). Pandangan ini dapat dikatakan sebagai bagian dari suatu eksplorasi pemikiran yang dituntun oleh kebutuhan menjawab dua soal sekaligus, yakni (1) penurunan kualitas dan kuantitas daya dukung lingkungan, dan bahkan situasi lebih buruk lagi, sebagaimana yang diperlihatkan oleh perubahan iklim, yang dari waktu ke waktu telah memakan korban, dan berpotensi membatalkan realisasi hak bagi generasi yang akan datang; dan (2) kenyataan dimana kesenjangan melebar demikian membahayakan kohesi sosial. Kesenjangan tidak hanya tampil sebagai kesenjangan sosial, akan tetapi juga kesenjangan antara kota dan desa, kesenjangan antar daerah (ada pula dengan konsentrasi kemakmuran yang tinggi, sementara daerah lain yang sebenarnya merupakan lokasi dari sumberdaya, justru dalam keadaan yang masih memprihatinkan). Dua kenyataan tersebut, tentu bukan keseluruhan masalah, namun dari keduanya kita telah memperoleh panggilan kemendesakan untuk melakukan sesuatu.
Dalam keadaan yang demikian itu, kita membutuhkan: Pertama, apa yang hendak kita sebut sebagai pandangan dasar, yakni pandangan yang memungkinkan kita untuk melihat lebih mendasar, agar dapat ditemukan “ketentuan-ketentuan”, atau hal-hal fundamental yang perlu menjadi perhatian, karena daripadanya lah terbentuk suatu struktur yang melandasi kenyataan yang kini hadir dengan seluruh problematika yang ada didalamnya. Kedua, apa yang mungkin disebut sebagai kesediaan untuk mengatakan sebagaimana adanya. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa apa yang kini berlangsung tidak lepas dari tindakan-tindakan atau himpunan tindakan yang asalnya dari suatu pikiran atau pemikiran tertentu. Sebagai contoh, dalam hal keadaan negeri, tentu tidak lepas dari pergerakan Pembangunan. Tentu tidak keliru jika dikatakan bahwa keadaan yang terselenggara tidak bisa dilepaskan dari kinerja Pembangunan. Dan kinerja Pembangunan tidak lepas dari pandangan yang melandasi kebijakan Pembangunan itu sendiri. Dan ketiga, sejalan dengan poin pertama dan kedua, kita perlu melengkapi diri dengan sikap yang tidak mudah menyederhanakan sesuatu, sedemikian sehingga karena itu suatu penilaian dilakukan. Kita menghindari penilaian yang tidak dibutuhkan, karena yang kita pandang sangat diperlukan dewasa ini, adalah eksplorasi yang lebih mendalam dan bijak.
Oleh sebab itulah, dalam memandang apa yang berlangsung, yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk menelusur lebih jauh di bawah permukaan, yakni upaya memahami struktur dasar kehidupan manusia, yang sudah barang tentu tidak cukup jika hanya menelaah segi-segi individual, kultural, atau historis secara terpisah. Kita berpandangan bahwa yang mungkin diperlukan adalah kerangka yang mengakar secara ontologis dan mencakup secara sistemik, yang mampu menyingkap baik kondisi material maupun bentuk kesadaran yang menyertainya. Dalam konteks ini, kita ingin mengajukan pendekatan ekologi, ekonomi, dan epistemologi, yang bukan sekadar perangkat interpretatif situasional, melainkan merupakan tiga dimensi dasar yang secara inheren mendasari keberadaan manusia sebagai makhluk yang bermukim, hidup bersama, dan berpikir.
Pertama, ekologi. Dalam kerangka ini, ekologi bukan semata kajian tentang alam atau lingkungan dalam pengertian ilmiah-biologis, melainkan menyentuh relasi dasar manusia (komunitas) dengan ruang dan tempat. Sejak awal, manusia adalah makhluk yang berada di suatu tempat atau tidak berada dalam kekosongan. Tempat di sini bukan hanya lokasi fisik, melainkan ruang keberadaan yang mengikat manusia secara historis, emosional, simbolik, dan eksistensial. Kita ada dalam pandangan bahwa setiap bentuk kebudayaan, sistem nilai, atau bahkan pertanyaan filosofis yang paling mendalam — tentang siapa kita dan bagaimana kita hidup — selalu berangkat dari suatu tempat tertentu. Oleh karena itu, ekologi adalah dimensi paling elementer dalam struktur manusia atau syarat pertama dari keberadaan, titik mula dari setiap kesadaran, dan dasar dari seluruh tindakan manusia. Tanpa tempat, tidak ada orientasi; tanpa orientasi, tidak ada makna.
Kedua, ekonomi. Jika ekologi menjelaskan di mana manusia berada, maka ekonomi menjawab bagaimana manusia mempertahankan keberadaannya dan hidup bersama dengan yang lain. Dalam pengertian aslinya, oikonomia (Yunani) berarti pengelolaan rumah tangga — yakni seni dan sistem pemeliharaan kehidupan. Ekonomi menyangkut pembagian kerja, distribusi sumber daya, struktur kebutuhan, dan bentuk institusi yang menopang keberlangsungan hidup kolektif. Kita ada dalam pandangan bahwa ekonomi bukan hanya menyangkut uang atau produksi barang, melainkan struktur praksis kehidupan manusia yang dijalankan secara bersama, melalui norma, institusi, dan relasi sosial. Ekonomi dalam kerangka ini, mencakup kerja, waktu, pengorbanan, dan keberlanjutan. Oleh karena itu, ekonomi adalah dimensi fundamental kedua, karena tanpanya, manusia tidak mungkin melangsungkan hidup secara terus-menerus. Ia menjembatani eksistensi individu dengan struktur sosial secara konkret.
Ketiga, epistemologi. Setelah manusia memiliki tempat untuk berada dan sistem untuk hidup bersama, maka yang dibutuhkannya adalah kesadaran. Epistemologi, dalam pengertian filosofis yang lebih luas, bukan hanya tentang bagaimana pengetahuan diperoleh, tetapi bagaimana manusia memahami diri, dunia, dan arah hidupnya. Kita ada dalam pandangan bahwa setiap tindakan manusia — baik dalam bertani, berdagang, memimpin, atau beribadah — didasarkan pada bentuk pengetahuan tertentu. Pengetahuan ini bukan hanya rasional, tetapi juga etis, simbolik, dan historis. Epistemologi menjawab pertanyaan apa yang kita ketahui, bagaimana kita mengetahui, dan apa yang seharusnya kita lakukan dengan pengetahuan itu. Karena itulah, epistemologi adalah dimensi fundamental ketiga, yang memungkinkan manusia membentuk arah, menilai tindakan, dan membayangkan masa depan.
Bagi kita, ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya membentuk koherensi sistemik yang merepresentasikan dimensi paling dasar manusia:
- Ekologi memberi dasar keberadaan (being in place);
- Ekonomi menyusun pola kehidupan bersama (living together);
- Epistemologi membentuk arah dan nilai hidup (thinking and knowing).
Tanpa ekologi, manusia kehilangan tempat berpijak. Tanpa ekonomi, manusia kehilangan daya hidup. Tanpa epistemologi, manusia kehilangan arah. Maka, pendekatan ini bukanlah sekadar cara membaca realitas tertentu, tetapi merupakan kerangka konseptual untuk memahami eksistensi manusia itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa ketiganya, bukanlah perangkat metodologis tambahan atau sekadar alternatif konseptual, melainkan tiga pilar fundamental yang menyusun struktur hidup manusia sebagai makhluk yang bermukim, bersosial, dan sadar. Setiap wacana atau tindakan yang mengabaikan salah satu dari ketiganya akan selalu cenderung kehilangan keseimbangan dan kedalaman refleksi. Justru dengan menyadari kedudukan fundamental pendekatan ini, kita dapat mengembangkan pemahaman yang lebih utuh dan mendalam tentang manusia, masyarakat, dan sejarahnya.
Indonesia Raya
Dengan pemahaman itulah, kita mencoba menyelami Indonesia Raya, agar daripadanya diperoleh makna yang sangat mungkin mendasari rasa bersama dan panggilan perjuangan kebangsaan. Berikut ini kira-kira uraiannya:
I. Bagian awal lagu Indonesia Raya:
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Disanalah aku berdiri,
Djadi pandu ibuku.
Bagian ini dapat dipahami sepenuhnya merupakan aspek ekologi.
1. Relasi “asali” antara Manusia dan Tanah. Frasa “Indonesia tanah airku” dan “tanah tumpah darahku” menyatakan bahwa tanah air bukanlah sekadar lokasi geografis, tetapi merupakan tempat kelahiran, kehidupan, dan pembentukan eksistensi manusia. Dalam pandangan ini tanah adalah tempat penghayatan dan keterlibatan langsung manusia dengan dunia, bukan objek eksternal yang netral.
Hal ini menegaskan bahwa manusia tidak terpisah dari alam, tetapi adalah bagian darinya. Dalam lirik ini, identitas “aku” dikatakan berasal dari tanah, menyatu dengannya, dan membentuk hubungan eksistensial yang fundamental. Kata “tumpah darah” memperkuat aspek biologis sekaligus emosional: tanah adalah tempat pengorbanan dan kelahiran kembali.
2. Lokasi Diri sebagai Kesadaran Ekologis. Baris “Disanalah aku berdiri” menunjukkan bahwa keberadaan manusia ditentukan secara spasial dan ekologis. Eksistensi bukanlah sesuatu yang mengambang, tetapi berakar. Dalam kerangka ini keberadaan manusia selalu terletak — selalu dalam ruang yang bermakna dan mengikat.
Berdiri di atas tanah air bukan tindakan netral, melainkan menyiratkan posisi keberpihakan ekologis. Ini juga menunjukkan kesadaran tempat — kecintaan terhadap tempat sebagai elemen fundamental dalam pembentukan identitas ekologis.
3. “Pandu ibuku”: Alam sebagai Subjek Ibu. Frasa “Jadi pandu ibuku” memberi kedudukan pada tanah air sebagai entitas yang membimbing — bukan hanya sebagai objek yang dipijak. Alam dipersonifikasikan sebagai ibu, yang secara simbolis menyiratkan kedekatan, pemeliharaan, dan otoritas moral. Dalam banyak pandangan kosmologi, alam sering digambarkan sebagai “Ibu” yang bukan hanya melahirkan manusia, tetapi juga membimbing dan memeliharanya.
Ketika manusia menjadi “pandu” bagi “ibunya”, ini menyiratkan bahwa tindakan ekologis manusia adalah bentuk tanggung jawab dan peran aktif dalam menjaga keseimbangan ekologis — bukan dominasi, tetapi ko-evolusi antara manusia dan alam.
Dengan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kesemuanya merupakan ekspresi dari kesadaran ekologis karena: (i) Menyatakan asal usul identitas manusia dari tanah; (ii) Menegaskan keberadaan manusia yang terletak dalam ruang ekologis; dan (iii) Menggambarkan relasi etis dan simbolik dengan alam sebagai ibu (etika ekologis). Dengan demikian, bagian ini adalah struktur ekologis yang utuh, karena seluruhnya merepresentasikan relasi dasar antara manusia, tanah, dan alam sebagai fundamen eksistensial dan normatif dalam narasi kebangsaan. (bersambung) [Desanomia – 18.6.25 – TM]