Sumber ilustrasi: unsplash
19 Juni 2025 09.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
II.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Bagian ini, kendati sekilas tampak beralih ke ranah politis atau nasionalistik, secara mendalam merupakan perpanjangan langsung dari struktur ekologis yang telah ditegaskan pada bagian awal lagu. Bahkan, bagian ini meningkatkan kualitas ekologis itu sendiri dengan menyatakan bahwa kesadaran ekologis bukan hanya fondasi eksistensial individual, tetapi juga merupakan akar dari kesadaran kolektif: kebangsaan. Begini:
1. Ekologi sebagai asal-usul identitas kebangsaan. Frasa “Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku” menyatukan tiga entitas: bangsa, tanah, dan air. Ini bukan sekadar urutan retoris, melainkan menyiratkan bahwa bangsa adalah ekspresi kolektif dari keterikatan pada tanah air. Artinya, kebangsaan lahir dari struktur ekologis — dari kesamaan lokasi geografis, pengalaman historis di tanah yang sama, dan identitas yang terbentuk karena keterlekatan pada lingkungan yang sama.
Di sini, tanah air tidak hanya menjadi milik bangsa, tetapi membentuk bangsa itu sendiri. Dalam batas-batas tertentu, kita hendak mengatakan bahwa tanah bukan hanya suatu “situs” atau tempat eksistensi berlangsung, melainkan juga suatu tempat tinggal yang menciptakan dunia makna dan orientasi. Maka, kesadaran “bangsa” dalam konteks ini adalah manifestasi kolektif dari kesadaran ekologis yang telah dinyatakan secara individual pada bagian awal: dari “aku berdiri di tanah airku”, menuju “kami adalah bangsa dari tanah air yang sama”.
Pandangan ini tentu saja masih membutuhkan eksplorasi lebih lanjut, agar menjadi pandangan yang lebih solid dan mampu menjelaskan berbagai kenyataan, baik di masa lalu maupun di masa depan.
2. Kesatuan ekologis sebagai dasar solidaritas nasional. Ungkapan “Marilah kita berseru, Indonesia bersatu” adalah ajakan untuk membentuk kesatuan. Namun, kesatuan ini, dipahami bukan pertama-tama merupakan kesatuan politik atau administratif, melainkan kesatuan ontologis yang bertumpu pada keterikatan ekologis yang telah dibagikan oleh setiap individu bangsa.
Dalam kerangka ini solidaritas ekologis bukan hanya antara manusia dan alam, tetapi juga antar-manusia yang berbagi ekosistem yang sama. Maka, persatuan bangsa di sini adalah bentuk lanjutan dari kesadaran bahwa kita semua hidup di dan dari tanah air yang sama. Dengan kata lain, “Indonesia bersatu” adalah pernyataan ekologis karena berakar pada kesadaran bersama akan tanah air sebagai sumber hidup dan identitas. Persatuan di sini bukan kontrak politik, melainkan konsekuensi dari keberadaan ekologis bersama.
3. Kebangsaan sebagai inherensi ekologis yang disadari. Pandangan ini mungkin dapat dikatakan sebagai pandangan lain, atau suatu perluasan atas pandangan yang telah berkembang tentang kebangsaan. Apa yang penting untuk ditegaskan adalah bahwa bagian ini tidak berdiri sebagai bagian baru yang terpisah dari awal, melainkan sebagai pengembangan kesadaran ekologis dari individu menuju tingkat kolektif dan reflektif.
Kesadaran bahwa “aku berdiri di tanah airku” (bagian awal) menemukan bentuk kolektifnya dalam “bangsa dan tanah airku” (bagian ini). Maka, bagian kedua ini bukan hanya kesinambungan, tetapi amplifikasi kesadaran ekologis — menjadi kebangsaan yang menyadari dirinya berasal dari dan bersatu karena tanah yang sama.
Dengan demikian, keempat larik tersebut tidak bisa dilepaskan dari struktur ekologis awal (I) melainkan merupakan penguatan, perluasan, dan pelipatgandaan makna ekologis dalam ranah identitas dan solidaritas nasional. Yang menunjukkan bahwa: (i) Ekologi adalah fondasi dari kebangsaan, bukan sekadar latar belakangnya; (ii) Kesadaran ekologis melahirkan kesadaran politis dan historis; dan (iii) Persatuan bangsa adalah efek logis dari keterlekatan ekologis yang sama. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bagian ini memperkuat narasi dari ekologis, di mana “tanah” bukan hanya tempat tinggal, tetapi sumber asal, penyatu, dan pengikat eksistensi kolektif. Kebangsaan, dalam kerangka ini, dipahami pertama-tama, bukan konstruksi ideologis, melainkan ekspresi dari pengalaman ekologis yang telah mengakar dalam tubuh dan jiwa bangsa.
III.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rajatku, sem’wanja,
Bagian ini, hendak dikatakan sebagai ungkapan yang mewakili dimensi ekonomi. Namun ekonomi dalam kerangka ini, bukan semata-mata sebagai aktivitas komersial atau produksi material, melainkan sebagai pembentukan kehidupan yang bernilai dan berkelanjutan di atas fondasi ekologis yang telah ditegaskan sebelumnya. Di sini, ekonomi harus dipahami dalam pengertian asali — dari akar Yunani oikonomia, yang berarti “pengelolaan rumah tangga” — yakni pengelolaan kehidupan di tanah yang dihuni, dengan orientasi pada kelestarian dan martabat manusia. Secara sederhana bermakna hal tentang hidup dan kehidupannya. Begini penjelasannya:
1. Tanah (air) sebagai sumber kehidupan, bukan sekadar objek. Dalam kalimat “Hiduplah tanahku,” kita menemukan transformasi makna tanah: dari simbol ekologis (sebagai tempat kelahiran dan berdiri) menjadi entitas yang hidup dan dihidupkan. Tanah bukan sekadar tempat atau objek netral, tetapi ruang yang menjadi tempat berlangsungnya kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Seruan “hiduplah” menunjukkan bahwa subjek manusia tidak bersikap pasif atau membiarkan tanah begitu saja, tetapi berperan aktif dalam menghidupkannya — yakni mengolahnya, membangunnya, serta memberinya makna sebagai ruang kehidupan. Maka, subjek ekologis dalam bagian awal telah berubah menjadi subjek ekonomis yang merdeka dan kreatif, yang bertanggung jawab atas realisasi potensi kehidupan di tanahnya. Sudah barang tentu seluruh aktivitas subyek ekologi, tidak akan merusak tempatnya bermukim, apapun alasannya.
2. Ekonomi sebagai pemeliharaan keberlanjutan nasional. Lanjutannya, “Hiduplah neg’riku,” memperluas ruang hidup dari tanah (ekologis) menjadi negeri (entitas sosial-budaya-ekologi). Sebutan negeri, bukan negara, perlu dilihat dengan bijak. Sangat mungkin suasana dimana lagu diciptakan bukan lah suasana dimana negara telah ada, namun merupakan sesuatu yang masih merupakan cita-cita. Artinya, entitas sosial-budaya-ekologi, lebh dahulu dari entitas sosial-politik.
Dalam kerangka itu pula akan mudah dipahami bahwa negeri hidup karena rakyatnya mengelola tanah dan sumber dayanya dengan penuh tanggung jawab dan kebebasan. Negeri bukan lah satuan politik atau administratif, melainkan satuan sosial-budaya, sedemikian sehingga keberlangsungan kehidupan sosial dan ekonomi bukanlah hal yang abstrak, akan tetapi berakar di tanah yang sama. Hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa kehidupan ekonomi sejati tidak dapat dipisahkan dari tanah dan komunitasnya. Atau bahwa ekonomi tertanam dalam struktur sosial dan ekologis.
3. Subjek ekonomi: rakyat yang aktif dan bermakna. Ungkapan “Bangsaku, Rajatku, sem’wanja,” menegaskan bahwa subjek dari kehidupan ekonomi adalah seluruh bangsa dan rakyat. Subjek ekologis dari bagian awal telah menjadi agen aktif dalam membangun kehidupan bersama. Bukan hanya sebagai penduduk, tetapi sebagai pengelola, pencipta, dan penjaga kehidupan. Dalam konteks ini, rakyat bukanlah massa diam, melainkan komunitas yang bekerja, mencipta, dan menghidupi tanah airnya. Ini adalah pemahaman ekonomi dalam arti luas: mencakup kerja, distribusi sumber daya, dan pembangunan sosial-budaya.
4. Ekonomi sebagai transformasi kesadaran ekologis. Dengan demikian, bagian ini mengartikulasikan transformasi dari kesadaran ekologis menjadi praksis ekonomi: tanah yang semula adalah tempat berdiri (eksistensi) kini menjadi ruang hidup (ekonomi). Seruan “hiduplah” adalah afirmasi terhadap keberlanjutan dan vitalitas kehidupan — ekonomi sebagai kelanjutan dari ekologi, bukan dalam bentuk eksploitatif, tetapi dalam bentuk pengelolaan yang bermakna dan berorientasi pada nilai.
Secara keseluruhan bagian ini menegaskan bahwa subjek dalam ekologi adalah subjek merdeka, yang bertindak dan menciptakan makna dalam ruang hidupnya. Dalam pada itu, “tanah” menjadi “hidup” karena manusia (komunitas) menghidupkannya secara ekonomi: dengan kerja, pengelolaan, dan pemaknaan. Secara demikian, dapat dipahami bahwa negara dan rakyat bukan entitas abstrak, melainkan struktur kehidupan nyata yang tumbuh dari relasi ekologis dan berlanjut dalam bentuk praksis ekonomi. Dengan demikian, aspek ekonomi dalam lagu ini bukan sekadar soal produksi atau kekayaan, melainkan cara hidup manusia dalam menyusun kehidupan bermakna di atas tanah yang sama — tanah yang melahirkan, memelihara, dan memungkinkan perwujudan kebebasan kolektif. (bersambung) [Desanomia – 19.6.25 – TM]