Sumber ilustrasi: Freepik
28 Juni 2025 08.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [28.6.2025] Keracunan makanan bukan hanya persoalan perut yang mulas atau mual sesaat. Banyak orang yang setelah sekali mengalami sakit karena makanan tertentu, langsung menghindarinya seumur hidup. Tak jarang, bahkan hanya dengan mencium aromanya kembali, terdapat rasa jijik muncul secara otomatis. Fenomena ini bukan kebetulan belaka. Para ilmuwan telah memahami lebih jauh bagaimana otak membentuk kenangan buruk terhadap makanan, dan hasilnya ditemukan dalam eksperimen pada tikus.
Menurut Christopher Zimmerman, ahli saraf dari Princeton University, ini adalah bentuk perlindungan biologis. Rasa sakit yang muncul setelah mengonsumsi makanan tertentu, meskipun muncul beberapa jam atau hari kemudian, bisa menciptakan respons penolakan permanen terhadap makanan tersebut. Ini terjadi bukan hanya pada manusia, tapi juga pada hewan seperti tikus. Menariknya, sistem saraf mampu mengaitkan dua kejadian yang terjadi tidak bersamaan secara waktu.
Penemuan ini menantang pemahaman lama bahwa pembelajaran pada hewan, terutama tikus, hanya efektif jika hadiah atau hukuman diberikan segera. Richard Palmiter, ahli saraf dari University of Washington menekankan bahwa dalam konteks pembelajaran umumnya, tikus sulit menghubungkan sebab dan akibat jika terdapat jeda waktu lebih dari satu menit. Akan tetapi dalam kasus keracunan makanan, otak tikus justru mampu membentuk hubungan tersebut dengan sangat kuat.
Penelitian selama lima tahun yang dilakukan tim Zimmerman mencoba mengungkap bagaimana proses ini terjadi di otak. Mereka menelusuri peran neuron tertentu dalam membentuk memori negatif terhadap rasa makanan. Menurut penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature edisi 19 Juni, kuncinya terletak pada kerja sama antara neuron alarm di otak dan bagian otak bernama amigdala.
Amigdala adalah struktur kecil berbentuk almond yang berperan dalam mengaitkan emosi dengan memori dan sensasi. Di sinilah sinyal dari perut, seperti rasa mual atau rasa sakit, diterjemahkan menjadi pengalaman emosional yang tertanam. Sebelumnya, tim Palmiter menemukan bahwa perut mengirimkan sinyal ‘tidak nyaman’ ke otak melalui neuron CGRP, yaitu jenis sel saraf yang merespons segala hal buruk bagi tubuh.
Eksperimen dilakukan dengan cara memberi tikus minuman Kool-Aid rasa anggur, lalu setengah jam kemudian menyuntikkan lithium klorida yang menimbulkan rasa sakit. Dua hari setelah itu, tikus diberi minuman yang sama. Dalam versi berulang eksperimen ini, para peneliti mengamati aktivitas otak tikus pada setiap tahap.
Hasilnya menunjukkan bahwa saat tikus pertama kali sakit, neuron CGRP menyala. Aktivasi ini meningkatkan kepekaan sel-sel di amigdala terhadap rasa anggur. Ketika rasa anggur kembali dikenali di kemudian hari, sel-sel amigdala yang sama kembali aktif. Hal ini menunjukkan bahwa sistem alarm otak membantu menyimpan memori makanan berbahaya dalam bentuk rasa jijik.
Sebaliknya, tikus yang sebelumnya pernah minum Kool-Aid anggur tapi tidak pernah sakit setelahnya tidak menunjukkan aktivasi sel amigdala yang sama. Ini memperkuat bahwa keterkaitan antara rasa dan rasa sakit memang tertanam secara spesifik setelah pengalaman negatif.
Namun demikian, pembentukan memori pada manusia tidak hanya bergantung pada rasa. Ilana Witten, rekan penulis dari Princeton, menjelaskan bahwa berbagai elemen unik dari pengalaman makan, seperti aroma, tekstur, bahkan suasana restoran, dapat menciptakan asosiasi negatif yang kuat. Menurutnya, mekanisme ini disebut aversive learning dan bisa meluas ke konteks lain di luar makanan.
Penelitian ini memperluas pemahaman bukan hanya tentang mengapa kita menghindari makanan tertentu setelah keracunan, namun juga tentang bagaimana otak membentuk asosiasi kuat antara pengalaman buruk dan objek atau situasi tertentu. Dalam konteks yang lebih luas, jalur saraf yang sama dapat menjelaskan pembentukan trauma psikologis atau kecanduan.
Ilana Witten berpendapat bahwa kesalahan dalam sistem aversive learning ini dapat menjadi penyebab gangguan mental seperti PTSD, di mana otak terus mengaitkan situasi netral dengan pengalaman traumatis masa lalu. Oleh karena itu, dengan mempelajari bagaimana neuron alarm dan amigdala bekerja, ilmuwan dapat mengembangkan pendekatan baru untuk terapi psikologis.
Temuan ini menambahkan penjelasan dari banyak perilaku kita yang tampaknya tidak rasional, seperti penolakan otomatis terhadap makanan tertentu. Kita bisa lebih memahami bahwa rasa jijik bukan hanya soal selera, namun juga merupakan hasil dari kerja otak dalam melindungi tubuh dari bahaya yang pernah terjadi. (NJD)
Diolah dari artikel:
“Mice show us why food poisoning is so hard to forget” oleh Elise Cutts
Link: https://www.snexplores.org/article/why-remember-food-poisoning