Sumber ilustrasi: Pixabay
26 Juli 2025 17.10 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [26.07.2025] Dalam tubuh manusia terdapat sistem sensorik tersembunyi yang bekerja tanpa henti untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan hidup. Indera-indera ini tidak hanya mengenali dunia luar, tetapi juga dunia dalam: denyut jantung, rasa lapar, ketegangan otot, keseimbangan posisi tubuh, hingga kondisi tersembunyi dalam organ-organ vital. Tubuh tidak menunggu krisis untuk bertindak namun merespons sinyal halus, mengatur ulang, memperingatkan dan bahkan mengarahkan perhatian sebelum bahaya berkembang dan merusak tubuh. Sistem ini bekerja dalam senyap dan tidak terdeteksi secara kasat mata dan tanpa adanya sistem ini, keberadaan manusia tak akan pernah stabil. Mungkinkah sistem indra dalam tubuh manusia tersebut bekerja dalam kehidupan bernegara? Jika mungkin, maka akan tampak betapa mendesaknya kebutuhan akan suatu sistem yang berkerja layaknya sistem indera manusia tersebut. Jika sistem tersebut boleh diberi nama sebagai “indera sosial”, maka peran yang mungkin dikerjakan adalah: merasakan, membaca, dan merespons dinamika halus kehidupan bersama sebelum gejala kerusakan menjadi nyata.
“Indera sosial” bukanlah lembaga formal dan bukan pula opini publik yang bising dan sesaat. “Indera” ini adalah kepekaan struktural dan kolektif yang tertanam dalam institusi, dalam media yang merdeka, dalam pendidikan yang berpikir kritis, dan dalam kesadaran warga yang terbiasa memperhatikan denyut keadilan dan keseimbangan sosial. Negara bangsa yang sehat tidak hanya bertumpu pada hukum atau kekuasaan, namun juga pada kapasitasnya untuk merasakan tanda-tanda awal ketimpangan, suatu kemarahan tersembunyi, atau alienasi sosial yang perlahan-lahan menggerogoti tatanan hidup bersama. Sebagaimana tubuh manusia membaca sinyal dari usus, kulit, atau saraf pusat, kehidupan bernegara pun membutuhkan sistem deteksi halus yang menjangkau lapisan terdalam masyarakat agar tidak buta terhadap penderitaan yang tidak bersuara.
Tanpa indera sosial yang tajam, negara mudah terjebak dalam kesibukan administratif dan simbolik, tetapi kehilangan intuisi tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat. Rakyat tidak selalu meneriakkan rasa tidak adil dengan lantang. Terkadang mereka hanya menarik diri, kehilangan harapan, atau menyimpan luka sosial yang tak terlihat. Dalam situasi ini, sistem politik yang tak memiliki sensitivitas sosial akan terus berjalan di atas permukaan sementara dasar masyarakatnya perlahan retak. Kepemimpinan menjadi kaku, hukum kehilangan empati, dan kebijakan berubah menjadi rutinitas kosong. Hanya dengan adanya “indra dalam” yang aktif, yang mengenali ketidakseimbangan sebelum memburuk, negara dapat memberikan respon secara sadar alih-alih karena terdesak.
Lebih dari sekadar mekanisme pengawasan, “indera sosial” berfungsi sebagai penyambung makna antara rakyat dan kekuasaan dan mengingatkan bahwa negara bukan mesin, namun suatu tubuh yang hidup dan kompleks. Setiap keputusan yang mengabaikan rasa, setiap kebijakan yang menutup mata terhadap ketegangan sosial, mempercepat ketidakseimbangan yang mengancam keseluruhan sistem. Dengan memperkuat kepekaan terhadap suara-suara kecil dan terhadap perubahan nada dalam wacana publik, negara mampu membentuk diri sebagai entitas yang reflektif alih-alih hanya reaktif.
Pentingnya “indera sosial” menjadi semakin jelas ketika kekuasaan cenderung membangun jarak dari realitas. Semakin tinggi seseorang dalam struktur politik, semakin besar godaan untuk hidup dalam gema pendapat sendiri. Di sinilah “indera sosial” berperan sebagai jembatan dan membawa isyarat dari bawah, dari pinggiran, dari wilayah yang tak terjangkau oleh sorotan pusat kekuasaan yang seringkali mengganggu kenyamanan. Namun demikian kesemua ini dilakukan guna menjaga keseluruhan tubuh kita oleh karena rasa sakit adalah tanda peringatan dan bukanlah musuh yang perlu dihilangkan.
Dengan membayangkan kehidupan bernegara sebagai organisme hidup, kita dituntut untuk tidak hanya membangun hukum dan institusi, tetapi juga menumbuhkan kepekaan kolektif terhadap apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Sebuah bangsa yang memiliki “indera sosial” yang sehat tidak akan mudah jatuh dalam kekerasan, kebijakan sembrono, atau pembiaran terhadap ketimpangan. Bangsa akan tanggap terhadap ketidakseimbangan seperti tubuh manusia menjaga keseimbangan sosial untuk mempertahankan keberlangsungan hidup yang bermartabat. Dalam kesadaran inilah, masa depan negara bangsa tidak sekadar terletak pada kekuatan ekonominya, namun juga pada kehalusan naluri sosialnya yang mampu merasakan, memahami, dan merawat luka-luka yang tak terlihat ini sebelum mencapai situasi yang tidak bisa dikembalikan. (NJD)