Penjajahan dan Ekonomi Rakyat

Sumber ilustrasi: Freepik

4 Agustus 2025 08.25 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Mungkinkah suatu cara mengkonstruksi pandangan tentang ekonomi rakyat, melampaui berbagai pandangan “modern” tentang ekonomi? Apa yang akan tampak jika kita mampu untuk “pergi” ke masa lalu, dan berusaha memahami apa yang terjadi ketika itu dengan kacamata masa itu sendiri? Atau, apakah mungkin kita memandang masa lalu dengan seakan-akan kita menjadi bagian daripadanya? Jika tidak mungkin, mengapa tidak mungkin? Mengapa studi sejarah dimungkinkan? Meskipun ada pro dan kontra dalam penulisan, terutama karena suatu penulisan pada dasarnya adalah suatu perspektif yang diberi tubuh teks, sedemikian sehingga seluruh bangunan yang disusunnya tidak lebih merupakan suatu “penafsiran”? Mungkin saja ada metode yang lebih canggih, dengan maksud untuk meningkatkan akurasi, atau bahkan kepersisan makna. Kita tentu mengapresiasi maksud dan tujuan tersebut, namun keinginan tersebut tetaplah menyisakan jarak, dan bahkan mungkin suatu jarak yang lebar. Mengapa? Karena elemen subyektif tetap tidak terhindarkan. Keterbukaan dalam studi sejarah, dalam kerangka ini, menjadi keniscayaan, karena hanya dengan jalan itu, maka aka nada kekayaan perspektif, sehingga dengan dialog, akan dimungkinkan “memahami” secara “lebih” utuh. Kita tahu bahwa kata “lebih” di situ, bukan dalam arti melampaui “yang ada”, akan tetapi melampui jika hanya satu perspektif. Yang secara demikian, kata “lebih” di situ, adalah saksi pertama atas ketidakmampuan mencapai keseluruhan. Hal ini berarti bahwa ketidakmungkinan diatasi dengan keterbukaan dan kesadaran akan keterbatasan.

Jika kita dimungkinkan pergi kepada masa lalu yang jauh, apa yang akan kita temukan terkait dengan tata ekonomi yang hendak disebut di sini sebagai ekonomi rakyat? Secara umum, sudah tentu kita akan segera menjumpai perbedaan di atas permukaan, mulai dari bentuk dan cara kerjanya. Segala peralatan yang kini ada, tentu tidak ada pada masa lalu. Apa yang kini disebut sebagai kebutuhan dasar, sangat mungkin pada masa lalu, belum ada atau bahkan belum dikenal. Oleh sebab itulah, ketika kita hendak memahami ekonomi rakyat pada masa lalu, yang perlu untuk dilihat bukan bentuk-bentuk nyata peralatan yang digunakan, melainkan pada beberapa aspek mendasar, seperti hal tentang relasi antar manusia, antar komunitas, antara komunitas (manusia) dan alam, dan seluruh bangunan kehidupan. Jika kita boleh mengatakan bahwa seluruh relasi yang terbangun adalah suatu relasi kehidupan, sedemikian sehingga ekonomi pada dasarnya adalah hal tentang hidup bersama membentuk kemakmuran dan keberlanjutan bersama, maka tentu bangunan ekonomi (rakyat), jelas sangat berbeda dengan apa yang kini kita bayangkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa bangunan tersebut berbeda dan bentuk yang sekarang dapat dikatakan berlawanan dengan bangunan tersebut. Faktor utama yang hendak diangkat di sini adalah hal terkait dengan relasi antara komunitas dan alam, dimana alam (ekologi) bukan ditempatkan menjadi “latar” dari hidup komunitas, melainkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan, karena kerusakan alam sama artinya dengan kerusakan alam dan kerusakan komunitas.

Jika pandangan tersebut dapat diterima, maka apa yang akan tampak apabila cara pandang tersebut digunakan untuk melihat keberadaan penjajahan dan seluruh kinerja yang dihasilkannya? Mungkin sebelum masuk ke dalam pertanyaan tersebut, kita menyingkap pertanyaan yang lebih jauh, yakni apa yang memungkinkan pertanyaan tersebut layak untuk diajukan? Yakni apa yang memungkinkan untuk kita memandang penjajahan dari sudut ekonomi rakyat atau ekonomi komunitas? Satu, sebagai suatu tata dan cara hidup, ekonomi pada dasarnya tidak universal, melainkan “setempat”. Dua, komunitas bukanlah obyek, atau sekedar tenaga kerja, akan tetapi subyek atau “pelaku” utama, hal mengingat bahwa kegiatan yang dilakukan adalah tentang hidup dan kehidupannya, dan bukan sekedar tentang memproduksi suatu komoditas ekonomi (dalam pengertian sekarang ini). Tiga, oleh karena ekonomi adalah hal yang demikian itu, yakni tata dan cara hidup bersama komunitas, maka dengan sendirinya ekonomi pada dirinya memuat nilai, makna dan tata cara tersendiri, yang sangat terkait dengan sejarah dan realitas sosio-ekologi setempat. Empat, secara demikian, ekonomi bukan tentang produksi, akan tetapi juga terkait dengan “reproduksi” sosial dan ekologi. Pada dirinya ekonomi menyandang keniscayaan keberlanjutan. Lima. segala masalah yang muncul di dalam hidup bersama adalah masalah bersama, dan bukan dipandang sebagai kegagalan atau kesalahan personal.

Atas dasar itu, jika kita memandang penjajahan dari optik ekonomi rakyat, maka akan tampak wajah lain dari penjajahan, yakni bahwa penjajahan merupakan suatu intervensi struktural yang merusak tata hidup bersama yang telah terbentuk secara historis, sosio-kultural, dan ekologis. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam optik ini, ekonomi bukan sekadar mekanisme produksi atau transaksi pasar, melainkan tata cara hidup komunitas yang menyatu dengan ruang hidup, nilai-nilai lokal, serta relasi sosial yang dijalankan secara kolektif dan berkelanjutan. Penjajahan hadir sebagai pihak yang memaksakan tata dan cara hidup lain, yang memuat logika produksi massal, komodifikasi, dan akumulasi, yang sebenarnya merupakan tatanan yang memisahkan komunitas dari tanah, alam, dan sistem pengetahuan lokalnya, sekaligus mereduksi komunitas menjadi sekadar penyedia tenaga kerja atau penghasil surplus ekonomi bagi kepentingan eksternal. Dengan demikian, penjajahan tidak hanya berarti penguasaan wilayah atau eksploitasi sumber daya, tetapi merupakan penghapusan otonomi komunitas dalam mengelola hidupnya sendiri—baik dalam aspek produksi maupun reproduksi sosial dan ekologis. Penjajahan mengikis nilai-nilai gotong royong, keseimbangan ekologis, dan tanggung jawab kolektif yang menjadi ciri khas ekonomi rakyat, menggantinya dengan sistem yang individualistik dan eksploitatif. Maka, secara substansial, penjajahan adalah perampasan atas hak komunitas untuk hidup secara utuh dan bermartabat dalam tatanan hidup yang berakar pada sejarah, nilai, dan ekologi lokalnya sendiri.

Apabila lebih dirinci, barangkali akan nampak demikian:

Pertama, penjajahan dengan demikian telah memungkinkan hilangnya keutuhan relasi antara manusia, alam, dan dunia. Dengan peralatan paksa, nilai dan hukum, penjajahan pada dasarnya memutus relasi holistik yang menyatukan manusia dengan tanah, air, hutan, langit, dan leluhur. Dalam pandangan hidup komunitas alam bukan objek, tetapi bagian dari struktur keberadaan manusia itu sendiri—manusia berada dalam-dan-bersama alam. Kinerja penjajahan telah memperkenalkan dan menyelenggarakan relasi instrumental: alam diperlakukan sebagai sumber daya (sangat mungkin istilah sumberdaya alam merupakan jejaknya), bukan ruang hidup bersama.

Kedua, penjajahan dengan demikian telah memungkinkan hilangnya subjektivitas komunitas sebagai penentu makna hidup. Sebelum penjajahan datang dan terselenggara, komunitas memiliki kapasitas penuh untuk menentukan nilai, tujuan, dan cara hidupnya sendiri—yakni menjadi subjek atas kehidupannya. Tindakan paksa penjajah menempatkan komunitas dalam posisi objek: tunduk pada struktur nilai, hukum, dan rasionalitas eksternal yang tak mereka pilih dan tidak dikenalnya. Atau, komunitas tidak lagi menentukan, melainkan ditentukan.

Ketiga, penjajahan dengan demikian telah memungkinkan hilangnya makna keberadaan bersama: “kita” sebagai dasar keberadaan. Sebelum penjajahan datang dan terselenggara, dalam batas tertentu, dapat dikatakan bahwa komunitas hidup bersama dengan dasar pandangan yang menempatkan individu, tidak hanya pada dirinya sendiri, melainkan pandangan yang menempatkan eksistensi individu selalu ditautkan dengan keberadaan yang lain: keluarga, tetangga, leluhur, alam. Pandangan tersebut digantikan dengan pandangan individualistik, di mana manusia didefinisikan sebagai manusia ekonomi dalam makna sekarang ini, yakni agen rasional, terpisah dan bersaing.

Keempat, penjajahan dengan demikian telah memungkinkan hilangnya bahasa makna—bahasa simbolik, kosmologis, dan naratif. Pasal ini disertakan, karena dalam soal cara hidup, atau dalam soal ekonomi, soal-soal tersebut tidak bisa dilepaskan. Karena pandangan dunia akan ikut memberi pengaruh pada praktek hidup bersama, atau praktek ekonomi (rakyat). Ketika penjajahan menggantikan cara komunikasi komunitas, menanam bahasa administratif, teknokratis, dan ekonomi formal, maka hilanglah kemampuan komunitas untuk memahami dan menamai dunianya sendiri, dan dengan itu berarti hilangnya cara untuk menghidupi makna hidupnya, yang ikut memberi fondasi pada ekonomi rakyat.

Kelima, penjajahan dengan demikian telah memungkinkan hilangnya kesatuan antara produksi dan reproduksi kehidupan. Dalam komunitas, produksi (membuat sesuatu) dan reproduksi (merawat kehidupan) tidak dipisahkan. Kegiatan ekonomi bukan hanya menghasilkan barang, tetapi juga menghidupkan relasi sosial, ekologis, dan spiritual. Penyelenggaraan tata penjajahan dengan demikian telah memisahkan keduanya: produksi menjadi tujuan itu sendiri, reproduksi menjadi beban yang tak bernilai dalam ekonomi.

Keenam, penjajahan dengan demikian telah memungkinkan hilangnya waktu sosial dan ritme kehidupan kosmologis. Bagian ini memang tampak tidak terkait langsung dengan ekonomi. Tentu jika melihat ekonomi dengan kacamata kekinian. Apa yang hendak angkat di sini adalah bahwa sesungguhnya penyelenggaraan penjajahan telah menyentuh konsep dasar tentang waktu. Jika sebelumnya waktu dipahami sebagai siklus hidup yang menyatu dengan alam dan ritus budaya, maka penyelenggaraan penjajahan telah memperkenalkan dan memberlakukan pandangan waktu linier, produktif, terukur—waktu pabrik, waktu kerja, waktu pasar. Waktu bukan bagian dari cara berada, tetapi menjadi sesuatu yang justru mengasingkan manusia dari dirinya dan dunianya.

Ketujuh, penjajahan dengan demikian telah memungkinkan hilangnya otonomi sebagai kemampuan untuk mengada secara berbeda. Penjajahan dalam hal ini akan dilihat sebagai tindakan yang merampas bukan hanya kebebasan, tetapi kemungkinan cara berada komunitas untuk mengada dengan cara lain, mengatur hidup dengan cara yang tak masuk dalam kerangka modern, yakni kerangka penjajahan. Dalam optik ini, penjajahan telah menghilangkan kemungkinan tata dan cara hidup sebagai suatu identitas keberadaan. Atau dengan kata lain, penjajahan telah membuka jalan bagi penyeragaman tata dan cara hidup.

Sampai di sini, apakah masih tersedia ketidakmungkinan untuk melihat bahwa penjajahan sesungguhnya adalah problem ekonomi (rakyat)? [desanomia – 040825 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *