Alam yang Tumbuh dari Perawatan

Desanomia [17.3.2025] Di Jepang, penurunan aktivitas pertanian tradisional menimbulkan kekhawatiran baru tentang dampaknya terhadap keanekaragaman hayati. Perdebatan ini mencerminkan diskusi yang lebih luas di tingkat global: apakah membiarkan lahan pertanian yang terbengkalai kembali ke kondisi alami benar-benar menguntungkan, atau justru merugikan ekosistem yang telah lama bergantung pada keberadaan manusia.

Perdebatan ini mendapat perhatian dari para ilmuwan, termasuk Cibele Queiroz, seorang ekolog dari Stockholm University, yang bersama timnya meninjau 276 penelitian mengenai dampak penelantaran lahan pertanian terhadap keanekaragaman hayati. Dalam laporan yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Ecology and the Environment pada Juli 2014, Queiroz mencatat bahwa dampaknya beragam di Eropa dan Amerika Utara. Namun, di Jepang, peneliti seperti Katsuhiko Ushimaru menemukan bahwa penurunan aktivitas pertanian tradisional justru membawa dampak negatif bagi keanekaragaman hayati.

Satoyama: Harmoni antara Alam dan Pertanian

Di Jepang, konsep satoyama — yang berarti “desa pegunungan” — menjadi simbol tentang bagaimana masyarakat tradisional hidup berdampingan dengan alam. Satoyama digambarkan sebagai kawasan pedesaan yang dipenuhi rumah-rumah kayu tradisional, yang dikelilingi oleh sawah, kebun sayur, kebun buah, dan padang rumput.

Namun, sejak tahun 1960-an, pertanian tradisional mulai mengalami tekanan yang meningkat. Banyak sawah dikonsolidasikan menjadi lahan yang lebih besar dan dikelola secara intensif.

Perubahan pola makan masyarakat Jepang turut mempercepat tren ini. Pada tahun 2011, untuk pertama kalinya, rumah tangga Jepang menghabiskan lebih banyak uang untuk produk berbasis gandum — seperti roti dan pasta — dibandingkan beras. Konsumsi beras di Jepang telah turun drastis, dari 118 kg per orang per tahun pada awal 1960-an menjadi hanya 58 kg pada tahun 2013.

Penurunan aktivitas pertanian tradisional ini berpotensi semakin cepat seiring dengan implementasi kesepakatan dagang Trans-Pacific Partnership (TPP) yang akan membuka pasar beras Jepang terhadap produk impor.

Dampak pada Keanekaragaman Hayati

Penurunan aktivitas pertanian tradisional ini menimbulkan dampak ekologis yang signifikan. Penelitian selama 15 tahun terakhir menunjukkan bahwa penelantaran lahan sawah tradisional berkorelasi dengan berkurangnya keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.

Yasuhiro Nakamura, Direktur Eksekutif Japan Butterfly Conservation Society, dalam tulisannya di Journal of Insect Conservation pada tahun 2011 menyebutkan bahwa hilangnya ekosistem satoyama menjadi penyebab utama penurunan populasi kupu-kupu selama 40 tahun terakhir.

Dalam studi lain yang diterbitkan di Biological Conservation pada tahun 2009, Kazuhiro Katoh dari Open University of Japan melaporkan bahwa populasi elang abu-abu — spesies yang berstatus “rentan” di Red List of Threatened Species Jepang — mengalami penurunan akibat berkurangnya sawah dan padang rumput yang menjadi habitat berburu mereka.

Sementara itu, Susumu Yamada dari University of Tokyo dalam lebih dari dua puluh laporan sejak tahun 2000 menemukan bahwa populasi gulma sawah yang mendukung ekosistem serangga terus berkurang seiring dengan semakin sedikitnya aktivitas pertanian tradisional.

Mengapa Sawah Tradisional Penting?

Ushimaru meneliti alasan mengapa sawah tradisional berperan penting dalam mendukung keanekaragaman hayati. Ia menemukan bahwa sawah tradisional dikelilingi oleh tanggul-tanggul yang ditumbuhi rumput liar untuk menstabilkan tanah. Petani secara rutin memangkas rumput tersebut dua hingga tiga kali setahun untuk menjaga kestabilan vegetasi.

Penelitian Ushimaru menunjukkan bahwa praktik pemangkasan ini ternyata berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati. Rumput yang dipangkas menciptakan habitat yang ideal bagi berbagai jenis serangga, seperti kupu-kupu, capung, dan belalang. Sebaliknya, ketika pertanian tradisional ditinggalkan atau digabungkan ke dalam lahan yang lebih besar, praktik pemangkasan ini berkurang, menyebabkan penurunan populasi tumbuhan liar dan serangga yang bergantung padanya.

Ushimaru juga menyoroti bagaimana sejarah memainkan peran penting dalam membentuk keanekaragaman hayati di Jepang. Dalam bukunya Grasslands and the Japanese yang diterbitkan pada tahun 2012, ia menjelaskan bahwa masyarakat Jepang pada masa lalu kerap membakar lahan untuk menciptakan padang rumput yang memudahkan perburuan dan menyediakan pakan ternak. Saat pertanian sawah berkembang, tanaman-tanaman khas padang rumput ini beradaptasi dengan baik di ekosistem sawah.

Sawah Terasering dan Keanekaragaman Hayati

Sawah terasering yang tersebar di lereng bukit memiliki keunikan tersendiri. Ushimaru menemukan bahwa tanaman langka lebih banyak ditemukan di sawah terasering bagian atas dibandingkan sawah yang dikonsolidasikan atau dibiarkan terbengkalai.

Hal ini terjadi karena sawah terasering cenderung memiliki tanah yang lebih miskin nutrisi akibat pupuk yang hanyut ke bagian bawah lereng. Kondisi ini justru menguntungkan beberapa spesies tanaman liar yang mampu bertahan dalam kondisi tanah yang minim unsur hara. Tanaman-tanaman ini umumnya berkembang lebih baik di lingkungan yang tidak terlalu subur, karena mereka tidak harus bersaing dengan tanaman lain yang lebih dominan di tanah yang kaya nutrisi.

Selain itu, sawah terasering yang berada di ketinggian cenderung memiliki iklim mikro yang lebih sejuk dan lembap, yang turut mendukung keberadaan spesies tumbuhan tertentu yang jarang ditemukan di dataran rendah. Faktor ini menjadikan sawah terasering sebagai habitat unik yang berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati lokal.

Ancaman bagi Burung Air dan Satwa Liar

Sawah tradisional di Jepang juga berperan sebagai habitat lahan basah buatan, yang kini semakin berkurang seiring pesatnya pembangunan yang menghilangkan lahan basah alami. Genangan air di sawah tradisional menciptakan kondisi yang menyerupai ekosistem lahan basah, sehingga berfungsi sebagai tempat berkembang biak bagi berbagai organisme akuatik dan burung air.

Penelitian yang dipimpin oleh Naoki Katayama dari National Institute for Agro-Environmental Sciences menemukan bahwa lahan sawah yang terbengkalai memang memberi manfaat bagi burung padang rumput seperti warbler, yang memanfaatkan vegetasi liar di sekitar sawah sebagai tempat berlindung dan bersarang. Namun, bagi burung air seperti kuntul, bangau, dan spesies lain yang bergantung pada ekosistem lahan basah, kondisi ini justru merugikan.

Burung-burung air ini sangat bergantung pada genangan air yang stabil sebagai lokasi berburu mangsa seperti ikan kecil, katak, dan serangga air. Ketika sawah ditinggalkan atau dikonsolidasikan menjadi lahan pertanian berukuran besar, genangan air yang berperan sebagai habitat ini berkurang drastis, sehingga mengancam populasi burung air, terutama selama musim kawin di musim panas.

Selain itu, sawah tradisional yang dikelola secara rutin memiliki pola pengairan yang stabil, yang turut mendukung keberlangsungan ekosistem ini. Ketika aktivitas pertanian menurun, pola pengairan tersebut terganggu, semakin memperburuk kondisi bagi spesies yang bergantung pada lingkungan lahan basah.

Masa Depan Satoyama dan Upaya Rewilding

Meskipun konsep rewilding — yaitu membiarkan lahan pertanian yang terbengkalai kembali ke kondisi alami — banyak didukung di Eropa dan Amerika Utara, para peneliti di Jepang justru mengkhawatirkan dampaknya. Menurut Kazuhiro Katoh, mengembalikan sawah ke kondisi hutan tidak akan memberikan manfaat besar bagi keanekaragaman hayati Jepang karena negara ini sudah memiliki kawasan hutan yang luas. Justru, kawasan sawah yang dikelola secara tradisional berfungsi sebagai habitat unik yang mendukung spesies tertentu yang tidak ditemukan di lingkungan hutan.

Katoh menyoroti bahwa banyak tumbuhan, serangga, dan burung yang telah beradaptasi dengan ekosistem sawah bergantung pada ruang terbuka yang diciptakan oleh praktik pertanian tradisional. Jika lahan tersebut dibiarkan terbengkalai, vegetasi liar yang tumbuh tidak terkendali akan mengurangi keanekaragaman spesies yang sebelumnya mampu hidup di tepi sawah. Akibatnya, spesies yang bergantung pada lingkungan semi-alami ini berisiko kehilangan habitatnya, sehingga meningkatkan potensi kepunahan mereka.

Selain ancaman ekologi, tantangan demografi turut memperburuk situasi ini. Di kawasan sawah terasering dekat Kobe, Katsuhiko Ushimaru mencatat bahwa petani termuda di sana berusia sekitar 60 tahun, sementara generasi muda tidak tertarik melanjutkan profesi tersebut karena dianggap berat dan kurang menguntungkan. Penurunan jumlah petani ini berisiko mempercepat terbengkalainya lahan sawah, yang pada akhirnya dapat mempercepat hilangnya habitat penting bagi berbagai spesies. “Saya tidak melihat solusi untuk masalah ini,” kata Ushimaru dengan nada prihatin. (NJD)

Sumber: Science

Link: https://www.science.org/doi/10.1126/science.351.6276.908

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *