Sumber ilustrasi: unsplash
25 Mei 2025 09.55 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Kalau kepada kita disajikan bahan-bahan berikut, kira-kira apakah dapat dengan segera diketahui, apa masakan yang bisa dihasilkan dari bahan berikut: Pertama: (a) Tulang sengkel atau kaki sapi, tetelan, daun bawang, seledri, kaldu bubuk rasa sapi, bawang putih, bawang merah, merica butiran, kemiri, garam dan air; (b) Daging sapi tanpa lemak atau urat, es batu kotak, tepung sagu atau jenis lain, garam, bawang putih, lada, telur ayam atau bebek, dan bawang merah. Kedua, mie telur, daging ayam, minyak ayam, kecap asin, kecap manis, kecap inggris, daun bawang, penyedap rasa, garam, kaldu ayam, bawang putih, bawang merah, jahe, ketumbar, kemiri, bawang goreng, selada, siomay, dan air. Ketiga, ayam, jahe, serai, garam, lada putih, gula pasir, daun jeruk, minyak untuk menumis, buah kemiri, kunyit, bawang merah, bawang putih, soun, seledri, buah tomat, telur rebus, taoge, kol, kecap manis, cabai rawit merah, cabai merah keriting, dan air. Apakah mudah dikenali?
Apabila jawabannya (1) bakso; (2) mie ayam; dan (3) soto, maka jawaban itu adalah benar. Tentu saja itu adalah bahan umum yang bisa ditemui di buku-buku resep masakan, atau ketika berkunjung ke media sosial, yang mengabarkan tentang ketiga kuliner tersebut. Bahan bisa lebih kompleks, bergantung pada selera dan rasa ingin lainnya. Dan yang paling umum, yang sebenarnya berkedudukan sebagai pelengkap, namun kini telah menjadi utama, yakni sambal (pedas). Malah di warung-warung, pada kebanyakan, yang dicari konsumen pertama-tama adalah sambal, dan yang menyediakan sambal dengan kepedasan tinggi, bisa menjadi tempat yang diburu. Sangat mungkin jaman sedang bergerak dengan fenomena tersebut. Tidak heran jika harga cabe masuk dalam sidang kabinet.
Tiga
Ketiganya apabila dilihat dari sudut kekayaan kuliner, memang akan menimbulkan makna tertentu. Oleh sebab setiap daerah, punya cita rasanya tersendiri. Tidak jarang daerah tertentu memberi keunikan bahan dan rasa, yang membedakan dengan daerah yang lain. Ada bakso Malang, bakso Wonogiri, bakso Gunung Kidul, dan lain-lain. Soto jauh lebih beragam, ada soto Kudus, soto Lamongan, soto Betawi, soto Madura, soto Banjar, soto Semarang, dan lain-lain. Sementara mie, hanya beberapa daerah tertentu yang menonjol, terutama dari rempah yang digunakan. Dapat dikatakan bahwa mie lebih jauh menyebar (relatif sama), dengan penampilan dasar yakni mie ayam. Dan juga karena industri mie instan yang telah menjadi realitas tersendiri.
Meskipun telah demikian umum dan dikenal, tidak ada salahnya apabila kita ajukan deskripsi sederhana ketiga kuliner tersebut;
(1) Bakso adalah bola daging yang umumnya dibuat dari daging sapi giling yang dicampur dengan tepung (seperti tepung sagu atau yang lain) dan bumbu, kemudian dibentuk bulat dan direbus hingga matang. Hidangan ini biasanya disajikan dalam kuah kaldu sapi yang gurih bersama pelengkap seperti mi, tahu, siomay, dan sayuran. Teksturnya kenyal, dan cita rasanya kaya akan umami dari daging dan kaldu. Tidak ketinggalan saos tomat dan sambal.
(2) Mie Ayam adalah hidangan berbahan dasar mie telur yang disajikan dengan topping ayam berbumbu kecap, minyak ayam, dan rempah-rempah. Biasanya dilengkapi dengan sayuran segar seperti sawi atau selada, serta pelengkap seperti bakso, pangsit, atau siomay. Rasa mie ayam cenderung manis-gurih dan aroma minyak ayamnya khas, menjadikannya hidangan yang populer dan mudah ditemukan di penjuru daerah. Sebagaimana bakso, pelengkap yang telah makin menjadi pokok: saos tomat dan sambal.
(3) Soto adalah sup tradisional Indonesia yang terdiri dari kaldu berempah dengan isian seperti daging ayam atau sapi, soun, kol, dan berbagai pelengkap seperti telur rebus, tomat, daun seledri, dan bawang goreng. Kuahnya bisa bening atau kekuningan karena penggunaan kunyit, dengan rasa yang segar, hangat, dan kompleks berkat perpaduan berbagai bumbu seperti serai, jahe, dan kemiri. Soto hadir dalam berbagai variasi daerah. Dan sambal, serta pendamping lainnya.
Ketiganya mencerminkan kekayaan kuliner, yang tak hanya bergantung pada rasa, melainkan juga pada harmoni aroma, tekstur, dan lapisan rempah. Tidak lah berlebihan apabila dikatakan bahwa ketiganya tidak sekadar hidangan, melainkan representasi dari dialog antara alam, tradisi, dan naluri manusia untuk menyatukan yang beragam menjadi satu rasa yang harmonis. Hal yang sangat menarik untuk menjadi bahan refleksi adalah bahwa sebagaimana telah diungkapkan di depan, ketiganya tidak hanya hadir di rumah-rumah warga, melainkan juga di arena publik, menjadi “komoditas”, atau yang diperjualbelikan.
Kekayaan Kuliner
Kehadiran bakso, mie ayam, dan soto yang begitu merata di hampir seluruh daerah, dari kaki lima hingga restoran, dari sekolah hingga kantor, dari kota besar hingga pelosok desa, barangkali dapat dibaca sebagai fenomena yang melampui popularitas kuliner. Sangat mungkin dibaca sebagai simbol keterikatan sosial, kontinuitas budaya, dan representasi identitas kolektif.
Pertama, dari perspektif sosial-kemasyarakatan, keberadaan tiga makanan ini yang mudah dijangkau menunjukkan bahwa ketiganya secara terpisah, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat lintas kelas sosial. Kuliner yang dapat dikategorikan sebagai pengikat sosial, yakni makanan yang dimakan oleh pelajar, buruh, pegawai, dan pejabat tanpa diskriminasi. Makan bakso di pinggir jalan atau menikmati mie ayam di kantin sekolah bukan hanya kegiatan konsumsi, tetapi juga bentuk partisipasi dalam budaya bersama.
Kedua, secara kultural, penyebaran ini menandakan bahwa bakso, mie ayam, dan soto telah mengalami proses akulturasi dan adaptasi lintas daerah. Setiap tempat bisa memiliki versi unik, seperti soto Lamongan, soto Betawi, mie ayam Wonogiri, bakso Malang, namun tetap dikenali sebagai bagian dari kekayaan kuliner kolektif. Hal ini mencerminkan prinsip dalam budaya yang menghargai keberagaman. Tidak saling menegasi, tetapi saling memperkaya cita rasa.
Ketiga, dari kacamata ekonomi dan susbsitensi hidup, kuliner ini menjadi jalan penghidupan bagi jutaan pelaku usaha mikro dan kecil. Warung bakso di depan sekolah, gerobak mie ayam di pinggir jalan, atau penjual soto di pasar menjadi bukti nyata bagaimana makanan berperan sebagai instrumen ekonomi rakyat. Di sinilah terlihat hubungan erat antara kebutuhan dasar, kreativitas lokal, dan daya lenting ekonomi.
Dimensi Lain
Apabila perkspektif diperluas, sangat mungkin dapat ditemukan wujud yang lain, terutama jika dilihat dari sudut politik ekonomi dan konstruksi cita rasa. Kedua sisi ini, meskipun diam-diam bekerja di bawah permukaan, terasa memiliki pengaruh struktural yang signifikan terhadap tatanan sosial dan identitas kolektif.
Pertama, di kota-kota besar, di mana biaya hidup terus meningkat namun upah minimum tidak selalu sebanding dengan kebutuhan dasar, kehadiran makanan murah seperti bakso, mie ayam, dan soto menjadi semacam bantalan sosial. Kuliner ini, dalam batas-batas tertentu, ikut menjaga agar pekerja, dari buruh pabrik, pertokoan, staf kantor, hingga ojek daring, tetap bisa “bertahan” di tengah keterbatasan ekonomi. Apabila benar demikian, maka fungsi ini sekaligus mengaburkan masalah struktural: realitas upah yang terlalu rendah. Reform tidak terasa (sangat) mendesak, karena kebutuhan dasar dapat “terpenuhi” lewat konsumsi pangan murah. Persis disinilah refleksi kolektif dibutuhkan, agar relasi diam-diam antara kuliner rakyat dan reproduksi ketimpangan ekonomi, tidak menjadi realitas yang dengan begitu dipandang sebagai normalitas baru. Kita tentu ingin kehidupan bersama yang lebih baik dan bermartabat.
Kedua, di sisi lain, ketika makanan seperti bakso, mie ayam, dan soto menjadi terlalu umum, mereka juga mulai membentuk suatu rasa kolektif yang homogen. Hal ini menarik karena kita ada dalam keragaman kuliner luar biasa dan diakui dunia. Setiap daerah memiliki warisan rasa yang khas, yang lahir dari lanskap ekologis, spiritualitas lokal, dan sejarah interaksi budaya yang panjang. Namun kenyataan tiga kuliner tersebut, tampak bahwa proses modernisasi dan urbanisasi, terutama di kota-kota besar, memungkinkan apa yang sering disebut oleh para ahli sebagai semacam penyederhanaan rasa. Sebuah “standarisasi kenyamanan” dalam bentuk makanan cepat saji yang mudah dikenali dan diterima semua kalangan. Maka, makanan ini bukan hanya mengenyangkan, tapi juga membentuk preferensi rasa nasional yang dominan, yang bisa jadi mengikis keunikan lokal dan keragaman tradisi kuliner.
Akhirnya
Lepas dari semua kemungkinan tersebut, jika kita melihat dengan kacamata yang lebih holistik, kuliner sebenarnya bukan hanya untuk tubuh, tetapi juga jiwa dan relasi sosial. Makanan-makanan ini menciptakan ruang perjumpaan, antara individu dan komunitas, antara masa lalu dan kini, antara lokalitas dan nasionalitas. Maka, kehadiran ketiganya yang merata bukan kebetulan, melainkan refleksi dari struktur batin masyarakat yang mengutamakan kehangatan, keterhubungan, dan keberlangsungan hidup yang bermakna. [Desanomia – 25.5.25 – TM]