Berapa Banyak Makanan yang Bisa Dihasilkan Dunia?

sumber ilustrasi: unsplash

Desanomia [10.4.2025] Sebuah tim ilmuwan internasional menyerukan perlunya perubahan mendasar dalam pendekatan estimasi potensi hasil panen dan celah produksi tanaman. Estimasi ini menjadi kunci dalam merancang strategi global guna memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dunia dan tantangan perubahan iklim. Penelitian ini dipublikasikan pada 8 April 2025 dalam jurnal ilmiah Nature Food, dengan kontribusi signifikan dari para peneliti University of Nebraska-Lincoln, Amerika Serikat.

Tim peneliti tersebut menyatakan bahwa pendekatan yang selama ini digunakan dalam menghitung potensi hasil panen—yakni metode statistik berbasis data makro—memiliki kelemahan mendasar. Model-model ini umumnya didasarkan pada skenario ideal, seperti hasil panen tertinggi yang dicapai di daerah dengan tanah paling subur, irigasi optimal, dan cuaca paling mendukung dalam satu tahun tertentu. Menurut mereka, pendekatan seperti ini tidak mencerminkan kenyataan di lapangan karena mengabaikan keragaman iklim, kondisi tanah, serta manajemen pertanian di wilayah yang lebih luas.

Peneliti utama, Patricio Grassini, bersama koleganya Fatima Tenorio, Fernando Aramburu Merlos, dan Juan Rattalino Edreira, menyampaikan bahwa penggunaan data dari “tahun terbaik” dan “daerah terbaik” bisa menyesatkan karena memberi gambaran yang terlalu optimis mengenai kapasitas produksi suatu wilayah. Dalam praktiknya, sebagian besar lahan pertanian tidak menikmati kondisi seideal itu secara konsisten.

Selain itu, pendekatan statistik tersebut cenderung menyamaratakan potensi hasil panen di seluruh wilayah luas, tanpa memperhitungkan keragaman lingkungan yang sebenarnya dapat memberikan hasil yang sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Di Amerika Serikat, misalnya, pendekatan ini kerap digunakan untuk memperkirakan hasil jagung, kedelai, dan gandum secara nasional, padahal perbedaan antara negara bagian atau bahkan antar-kabupaten bisa sangat signifikan.

Sebaliknya, di negara-negara berkembang seperti di kawasan Sub-Sahara Afrika, model yang sama justru cenderung meremehkan potensi hasil. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa petani di wilayah tersebut seringkali memiliki akses terbatas terhadap teknologi, benih unggul, pupuk, dan praktik pertanian modern. Akibatnya, hasil panen aktual mereka jauh lebih rendah dari potensi sebenarnya yang mungkin dapat dicapai jika didukung dengan input yang memadai.

Masalah lainnya adalah ketidakkonsistenan hasil antar metode. Dalam studi ini, tim membandingkan empat model statistik populer dengan pendekatan bottom-up yang berbasis pada pemodelan tanaman, data cuaca lokal, dan sifat tanah setempat. Perbedaan hasilnya sangat signifikan—bahkan estimasi potensi hasil panen bisa hampir dua kali lipat antar-metode. Hal ini menunjukkan lemahnya fondasi ilmiah dalam beberapa metode yang selama ini dijadikan rujukan dalam kebijakan pertanian dan investasi global.

Pendekatan bottom-up, seperti yang digunakan dalam Global Yield Gap and Water Productivity Atlas yang dikembangkan di Nebraska, dinilai jauh lebih akurat. Model ini telah divalidasi dengan data eksperimental dari berbagai lokasi, mencakup tanaman yang dikelola secara optimal dalam beragam kondisi lingkungan. Pendekatan ini tidak hanya mempertimbangkan variabilitas jangka panjang, tetapi juga mampu mengungkap celah hasil panen yang sesungguhnya.

Tim peneliti menekankan bahwa dengan mengetahui celah hasil panen secara akurat, pembuat kebijakan dapat mengidentifikasi wilayah yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi tanaman. Informasi ini kemudian dapat digunakan untuk mengarahkan program penelitian dan pengembangan pertanian secara lebih tepat sasaran, serta mengoptimalkan alokasi dana dari sektor publik maupun swasta.

Grassini dan timnya mengingatkan bahwa jika data ini akan digunakan sebagai dasar kebijakan dan investasi global, maka keakuratannya harus dijamin. Mereka menilai perlunya pelurusan terhadap pendekatan estimasi yang telah diterima begitu luas selama ini, yang umumnya dikembangkan oleh ahli geografi dan statistik tanpa mempertimbangkan aspek agronomi secara memadai.

Selain tim dari University of Nebraska-Lincoln, studi ini juga melibatkan Romulo Lollato dari Kansas State University, Sotirios Archontoulis dari Iowa State University, dan Antoine Couëdel, peneliti yang pernah melakukan riset postdoktoral di Nebraska dan kini bekerja di French Agricultural Research Centre for International Development.

Buah Pikiran

Penelitian ini menyentil isu penting yang selama ini luput dari perhatian banyak pihak: bahwa estimasi potensi hasil panen dunia seringkali dibangun di atas dasar yang rapuh. Mengandalkan model statistik yang terlalu menyederhanakan kenyataan dapat menghasilkan kebijakan dan strategi pangan yang tidak tepat sasaran—baik secara ilmiah maupun etis.

Dalam konteks krisis iklim dan ketahanan pangan global, informasi yang tidak akurat bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan risiko strategis. Ketika dunia harus memaksimalkan produksi dari lahan yang ada, pendekatan berbasis data lokal dan validasi ilmiah seperti yang ditawarkan tim ini seharusnya menjadi standar baru. Pendekatan bottom-up membawa harapan untuk kebijakan pangan yang lebih inklusif, kontekstual, dan berkelanjutan. Tidak ada solusi tunggal untuk ketahanan pangan global, tetapi kita tahu satu hal pasti: kebijakan yang baik harus dimulai dari data yang benar. (NJD)

Sumber: ScienceDaily

Link: https://www.sciencedaily.com/releases/2025/04/250409155025.htm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *