sumber ilustrasi: unsplash
Desanomia [11.4.2025] Cakupan es laut Arktik pada musim dingin tahun ini tercatat sebagai yang terendah sejak pencatatan satelit dimulai 47 tahun lalu. Data terbaru dari Uni Eropa melalui Copernicus Climate Change Service menunjukkan bahwa es laut mencapai titik maksimum tahunan pada Maret 2025 dengan luas 14,33 juta kilometer persegi—lebih kecil sekitar 80.000 kilometer persegi dibandingkan rekor terendah sebelumnya yang terjadi pada tahun 2017.
Biasanya, es laut Arktik mencapai luas maksimum setiap Maret sebelum mulai mencair saat memasuki musim semi. Namun, Copernicus mencatat bahwa angka tahun ini 6% lebih rendah dari rata-rata jangka panjang dan merupakan yang terendah untuk bulan Maret sepanjang sejarah pengamatan satelit.
Penurunan es laut ini berlangsung di tengah meningkatnya suhu global yang kini secara konsisten melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahrenheit)—batas yang disepakati dalam Perjanjian Paris tahun 2015. Bulan Maret 2025 tercatat sebagai bulan ke-20 dari 21 bulan terakhir di mana suhu global melampaui batas ideal tersebut. Rata-rata suhu global pada Maret 2025 mencapai 1,6°C lebih tinggi dari masa pra-industri (1850–1900), menjadikannya bulan Maret terpanas kedua sepanjang sejarah, hanya sedikit di bawah Maret 2024.
Di tingkat regional, suhu di Amerika Serikat tercatat di atas rata-rata, sementara Eropa mencatat bulan Maret terpanas sejak pencatatan dimulai. Kawasan Eropa Timur mengalami anomali suhu yang signifikan, memperkuat tren pemanasan global yang kini semakin terasa di berbagai belahan dunia.
Kondisi ini diperparah oleh efek umpan balik lingkungan. Es laut yang mencair membuka permukaan laut yang lebih gelap, yang menyerap lebih banyak sinar matahari dibandingkan es. Proses ini mempercepat pemanasan laut dan menciptakan siklus yang terus mendorong suhu global naik. Selain itu, hilangnya es laut mengancam kehidupan satwa liar seperti beruang kutub dan komunitas manusia yang tinggal di wilayah Arktik.
Samantha Burgess, kepala strategi iklim di European Centre for Medium-Range Weather Forecasts—lembaga yang mengelola program Copernicus—menyatakan bahwa Maret 2025 menjadi bulan Maret terpanas sepanjang sejarah Eropa. Ia menekankan bahwa tren suhu yang terus mencetak rekor menunjukkan urgensi perubahan kebijakan iklim secara global.
Copernicus juga mencatat bahwa Maret 2025 merupakan bulan keempat berturut-turut dengan cakupan es laut terendah untuk waktu tersebut dalam setahun. Meskipun fluktuasi tahunan masih terjadi, data menunjukkan pola pemanasan yang konsisten dan semakin mengkhawatirkan.
Buah Pikiran
Penurunan es laut Arktik hingga titik terendah sepanjang sejarah pengamatan satelit harus dibaca sebagai peringatan serius, bukan sekadar fenomena alam biasa. Fenomena ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak lagi berada di ranah prediksi, melainkan sudah berlangsung dan semakin memperlihatkan dampaknya. Suhu global yang terus menembus ambang batas 1,5 derajat Celsius—yang sebelumnya dianggap sebagai batas aman oleh komunitas internasional—membuktikan bahwa upaya penanggulangan pemanasan global masih belum berjalan efektif. Pencairan es laut bukan hanya mengancam ekosistem di Kutub Utara, tetapi juga mempercepat pemanasan global akibat hilangnya permukaan reflektif yang sebelumnya membantu menahan panas matahari.
Kondisi ini menempatkan dunia pada titik krusial. Data yang berulang kali menunjukkan rekor baru dalam suhu dan penurunan es seharusnya menjadi dasar kebijakan, bukan hanya catatan statistik. Pemerintah, sektor swasta, dan komunitas global perlu mempercepat implementasi strategi iklim yang konkret dan berbasis data ilmiah. Tanpa langkah yang sistematis dan terkoordinasi, risiko iklim akan semakin sulit dikendalikan dan konsekuensinya akan menjangkau aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara luas. Laporan-laporan seperti ini bukan hanya mencatat perubahan, tetapi juga menegaskan urgensi tindakan. (NJD)
Sumber: Livescience