Oleh: Untoro Hariadi
Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2025 yang diterbitkan oleh Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menandai langkah ambisius pemerintah untuk membangun kembali semangat koperasi di tingkat desa melalui program Koperasi Desa Merah Putih. Inisiatif ini pada dasarnya menawarkan harapan baru bagi pemberdayaan ekonomi desa, namun di balik ambisi tersebut terdapat berbagai dimensi yang perlu dikaji secara mendalam.
Program ini memperlihatkan pendekatan struktural yang komprehensif dengan membagi strategi implementasi ke dalam tiga model: pembentukan koperasi baru, pengembangan koperasi yang sudah ada, dan revitalisasi koperasi yang lemah. Fleksibilitas ini menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap keberagaman kondisi sosial-ekonomi desa di Indonesia. Penekanan pada musyawarah desa sebagai titik awal pembentukan koperasi juga mencerminkan semangat demokratis dan partisipatif yang sejalan dengan nilai-nilai koperasi.
Namun di balik struktur yang tampak matang ini, terdapat sejumlah kekhawatiran mendasar. Pertama, tenggat waktu implementasi yang hanya berlangsung selama empat bulan (Maret-Juni 2025) untuk mencakup seluruh desa di Indonesia terkesan terlalu ambisius. Pembentukan koperasi yang berhasil membutuhkan proses penyadaran, pendidikan, dan penguatan kapasitas yang tidak bisa diakselerasi secara instan. Terburu-buru dalam pembentukan koperasi berisiko menghasilkan lembaga yang hanya kuat di atas kertas namun lemah dalam implementasi.
Standardisasi nama dengan format “Koperasi Desa Merah Putih [nama desa]” dan penunjukan Kepala Desa sebagai Ketua Pengawas ex-officio mencerminkan pendekatan yang cenderung seragam dan top-down. Pendekatan ini berpotensi mengabaikan keunikan dan kebutuhan spesifik tiap komunitas desa, serta bisa mengurangi rasa kepemilikan masyarakat terhadap koperasi. Keterlibatan formal pejabat desa juga membuka peluang politisasi koperasi, di mana kepentingan politik lokal bisa mengintervensi pengelolaan yang seharusnya independen dan berorientasi pada kepentingan anggota.
Aspek yang tampaknya kurang mendapat perhatian dalam surat edaran ini adalah permodalan dan keberlanjutan koperasi. Tidak ada penjelasan rinci mengenai sumber dan mekanisme permodalan awal, padahal ini merupakan faktor krusial dalam keberhasilan koperasi desa. Meskipun disebutkan bahwa koperasi akan mengoperasikan berbagai unit usaha (sembako, obat murah, klinik desa), tidak dijelaskan bagaimana unit-unit usaha ini akan dibangun dan didanai sejak awal.
Panduan tentang pengawasan dan evaluasi juga tampak minim. Meskipun disebutkan akan ada “pengawasan rutin” dan “evaluasi berkala”, tidak ada kejelasan mengenai indikator keberhasilan, mekanisme spesifik pengawasan, atau konsekuensi jika koperasi tidak berkinerja baik. Tanpa kerangka akuntabilitas yang jelas, program ini berisiko menjadi formalitas belaka tanpa dampak ekonomi yang substansial.
Pengalaman sejarah Indonesia dengan koperasi memberikan pelajaran berharga bahwa keberhasilan koperasi tidak terletak pada kuantitas lembaga yang terbentuk, melainkan pada kualitas tata kelola, partisipasi anggota, dan keberlanjutan ekonominya. Program Koperasi Desa Merah Putih perlu memperhatikan aspek-aspek ini agar tidak mengulangi kegagalan inisiatif serupa di masa lampau.
Di sisi lain, jika diimplementasikan dengan tepat, koperasi-koperasi ini berpotensi menjadi tulang punggung pemberdayaan ekonomi desa. Unit-unit usaha yang direncanakan seperti penyediaan sembako, obat murah, klinik desa, infrastruktur logistik, dan sistem simpan pinjam dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat desa dan membuka peluang ekonomi yang lebih luas. Koperasi juga dapat menjadi wahana kolektif bagi desa untuk meningkatkan posisi tawar dalam rantai ekonomi yang lebih luas.
Yang perlu ditekankan adalah bahwa kesuksesan koperasi tidak boleh hanya diukur dari seberapa cepat lembaga-lembaga ini dibentuk, melainkan dari seberapa dalam akar-akarnya tertanam dalam kehidupan masyarakat desa dan seberapa besar dampak ekonominya. Pembentukan koperasi bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari proses pemberdayaan yang panjang.
Untuk mencapai hasil optimal, program Koperasi Desa Merah Putih sebaiknya diperluas cakupan waktunya, diperkuat dengan program pendampingan berkelanjutan, dan dibekali dengan kerangka evaluasi yang jelas. Penguatan kapasitas pengelola koperasi juga harus menjadi prioritas agar koperasi tidak hanya sekedar ada, tetapi benar-benar berfungsi sebagai motor penggerak ekonomi desa.
Pada akhirnya, koperasi sejati adalah yang tumbuh dari kesadaran dan kebutuhan kolektif masyarakat, bukan semata-mata sebagai hasil dari program pemerintah. Program Koperasi Desa Merah Putih perlu menemukan keseimbangan yang tepat antara dorongan dari atas dan inisiatif dari bawah, antara standardisasi dan ruang untuk keunikan lokal, serta antara kecepatan implementasi dan kualitas hasilnya. Hanya dengan pendekatan yang seimbang inilah koperasi desa dapat benar-benar menjadi pilar pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Unversitas Janabadra
Koperasi dalam ruang kebebasan sesuai karakteristik dan kearifan lokal Desa, untuk mempercepat perputaran ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Kesuksesan Koperasi itu sendiri dapat diukur dari tingkat kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.Selain dari pada itu sustainableity dari program juga perlu di perhatikan, jagan sampai dana koperasi yang di glontorkan menjadi mubadzir atau malah di korupsi. Fungsi pengawasan kelembagaan menjadi hal yang sangat penting dari program Koperasi Merah Putih. Semoga program berjalan dengan lancar dan sukses untuk kesejahteraan seluruh Rakyat Republik Indonesia.