Cita-cita

Sumber ilustrasi: freepik

17 Juni 2025 15.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Kalau ada yang bertanya kepada kita, apa itu cita-cita? Sebagian kita mungkin tidak akan langsung menjawab, dan bahkan mungkin akan bertanya balik? Mengapa hal yang sudah sangat biasa harus ditanyakan? Bukankah setiap orang punya cita-cita? Yang bertanya, mungkin tidak mendapatkan jawaban, malah akan mendapat pertanyaan balik yang mendesaknya. Apakah semua akan begitu? Rasanya tidak. Sebagian akan menjawab sekenanya, dan mungkin akan menggunakan kamus bahasa untuk menjawabnya. Kalau mengacu pada kamus, akan ada dua jawaban yang tersedia: (1) keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran; dan (2) tujuan yang sempurna (yang akan dicapai atau dilaksanakan). Apakah benar demikian?

Sebagian yang lain, mungkin akan mengajukan jawaban yang lebih elaboratif. Cita-cita, sebagaimana yang umumnya dimengerti adalah hal yang ingin dicapai, kelak di kemudian hari, oleh seorang individu. Pada anak-anak, cita-cita secara sederhana dipahaminya sebagai: menjadi orang lain, atau menjadi orang yang dirujuknya. Misalnya, menjadi dokter, menjadi camat, menjadi pengusaha sukses, menjadi dosen, dan berbagai profesi lainnya. Meskipun ada kanak-kanak yang berwawasan luas, lebih-lebih di masa digital dewasa ini, dimana kanak-kanak punya akses pengetahuan yang luas, namun pada umumnya, pandangannya tentang hal yang dipandang baik, teladan dan apa yang ingin dicapainya, banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama keluarga dan handai tolannya.

Sebagian kita barangkali ingat, bahwa tiap-tiap anak diminta untuk membuat cita-cita yang tinggi, setinggi langit. Mereka yang tidak punya cita-cita, atau cita-citanya digolongkan rendah, akan dianggap sebagai anomali, atau bahkan dianggap tidak punya masa depan. Makin tinggi kanak-kanak mempunyai cita-cita, tentu dipandang akan memberi harapan tinggi, dan tidak jarang menjadi semacam kebanggaan (walaupun masih dalam taraf cita-cita). Akan tetapi, karena sifatnya yang masih merupakan cita-cita, maka tidak jarang, cita-cita tersebut mudah dilupakan, atau bahkan diganti dengan cita-cita lainnya. Namun demikian, ada pula yang secara konsisten berpegang pada cita-citanya, dan cita-cita itu pula yang memandu gerak hidupnya.

Pada titik ini, kita barangkali bisa memperluas atau mempersempit makna cita-cita. Apabila cita-cita dianggap sebagai hal yang imajinatif, tidak realistik, atau hampir tidak mungkin dicapai, maka seringkali diberi sebutan sebagai “mimpi” atau impian. Sebaliknya, apabila cita-cita telah berbentuk sebagai strategi konkret dan sistematis yang disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu, maka barangkali cita-cita dengan format yang demikian, telah dapat disebut sebagai rencana. Memang dalam hidup nyata sulit untuk dibuat perbedaan yang jelas. Namun yang dapat dikatakan relatif sama, adalah bahwa keseluruhan dimaksudkan untuk mencapai “titik tertentu”. Makin jauh jarak yang harus ditempuh, maka makin tinggi cita-cita tersebut, dan makin sulit untuk dicapainya.

Tersembunyi

Apabila disusun sebagai suatu formasi peta jalan, maka dapat dikatakan ada tiga lokasi penting, yakni: (1) Lokasi atau titik yang disebut cita-cita – dalam hal ini, kita dapat menyebut sebagai keadaan di masa yang akan datang; dan (2) Lokasi atau titik masa kini – yakni keadaan dimana kita berada atau kondisi aktual saat ini – dalam hal ini dapat dikatakan sebagai titik awal darimana cita-cita hendak dicapai; serta (3) Jalan dan langkah yang akan ditempuh. Kejelasan lokasi (1) dan (2) akan memudahkan dalam menyusun rute yang akan dilalui. Makin baik memperjelas lokasi (1) dan (2), maka dengan sendirinya akan makin jelas jarak yang akan ditempuh dan sekaligus cara yang paling efektif untuk sampai tujuan.

Apa yang menjadi tantangan adalah manakala titik yang hendak dicapai ternyata bukan merupakan titik yang hanya satu orang yang ingin mencapainya. Dalam hal sekolah misalnya. Jika setiap anak, ingin agar lulus sekolah dasar dan kemudian masuk sekolah menengah, maka tantangan segera muncul. Pertama, dia harus lulus sekolah dasar lebih dahulu. Dan kedua, dia harus mendaftar dan lolos tes masuk. Apa yang menjadi masalah adalah bahwa jumlah yang bisa diterima jauh lebih sedikit dari jumlah yang mendaftar. Pada kebanyakan kita tentu akan berfokus pada yang bisa mencapai apa yang diinginkannya. Pada titik ini, suatu kompetisi tengah berlangsung. Dan lazimnya dalam kompetisi maka ada yang menang dan ada pula yang menang. Perhatian tertuju pada pemenang. Apresiasi telah tergelar. Sementara yang gagal, apa yang akan terjadi padanya.

Dari level rendah ini, telah dapat diketahui, meskipun terbatas, bahwa suatu cita-cita, jika berjalan dalam sistem yang ada, sama artinya merupakan suatu proyek kompetisi. Bagi anak-anak, cita-cita dapat dikatakan sebagai pelajaran pertama berkompetisi. Suatu pendidikan dan latihan, bagaimana mencapai tujuan. Jika pencapaian tujuan adalah keutamaan, maka dengan sendirinya, akan terbuka peluang untuk membenarkan segenap langkah yang dilakukannya. Mulai dari “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, hingga akhirnya membiarkan yang lain “gagal” atau tidak menjadikan kegagalan yang lain sebagai problem dirinya. Dan dalam hal ini, mencapai tujuan, artinya mengeksklusi yang lain – apapun sebutannya. Mungkin pernyataan ini dapat dianggap terlalu ekstrem. Namun, jika kita mengambil jarak, dan bersikap lebih “apa adanya”, maka besar kemungkinan kenyataan akan tampak sebagaimana adanya.

Latar

Apa yang memungkinkan suatu cita-cita? Artinya, mengapa suatu cita-cita dapat diucapkan, dan dengan itu, didudukkan sebagai pedoman? Kita berpandangan bahwa sangat mungkin ada asumsi yang diam-diam dianut, yakni suatu pandangan yang dapat dikatakan memberi dasar sehingga cita-cita menjadi mungkin dan wajar untuk hadir. Beberapa kemungkinan bisa dikaji. Pertama, individu sebagai agen otonom. Dalam hal ini, setiap orang dianggap memiliki kendali penuh atas nasib dan masa depannya, terlepas dari latar sosial atau kondisi struktural. Anggapan ini menunjuk dua aspek utama, yakni: (a) kapasitas diri, yakni subyek yang dianggap telah punya kapasitas yang dibutuhkan, untuk menyusun arah tujuan dan mencapainya; dan (b) latar sosial, atau tempat dimana subyek berada. Pada yang terakhir ini, subyek dianggap tidak mempertimbangkan dan berfokus pada dirinya sendiri.

Kedua, kesuksesan bersifat personal dan terukur. Pada umumnya, cita-cita diukur dari seberapa tinggi seseorang naik dalam tangga sosial atau ekonomi, dan dinilai dari pencapaian material atau simbolik. Ide ini dapat dikatakan berakar dari pandangan bahwa seiring berjalannya waktu, suatu tindakan yang dijalankan terus-menerus akan mengakumulasi. Atau waktu sendiri dipandang memungkinkan akumulasi. Secara demikian, ada yang mengukur pencapaian melalui seberapa banyak yang bisa diakumulasi. Seberapa tinggi posisi sosial yang bisa dicapai. Atau kombinasi dari keduanya. Dan semua pencapaian tersebut merupakan pencapaian personal, dan bukan kolektif.

Ketiga, kompetisi adalah mekanisme wajar dan sah. Dunia dipahami sebagai arena kompetitif, di mana yang berhasil adalah mereka yang paling berusaha atau paling berbakat, bukan yang paling adil atau paling kolaboratif. Artinya, pada diri individu, dianggap telah dengan sendirinya menerima atau bahkan individu dipandang sebagai konstruksi dari “struktur kompetisi”. Dia yang berhasil, akan sendirinya merasa bahwa apa yang dia miliki dan apa yang dilakukannya, adalah hal yang benar. Sebaliknya, yang gagal dipandang sebagai kegagalan mempersiapkan diri dalam arena kompetisi, yang sudah demikian itu adanya. Meskipun demikian, ada pula yang berpandangan bahwa hendaknya kompetisi dijalankan dengan fair.

Ketiga hal itulah yang dapat dikatakan sebagai latar dari adanya atau dimungkinkannya suatu cita-cita. Soal-soal lain di luar itu, seperti bahwa individu ada di dalam ruang bersama, bahwa tidak mungkin pencapaian individu yang murni (karena itu dalam berbagai kesempatan, pribadi yang dianggap berhasil, selalu mengucapkan terima kasih dan penghargaannya pada yang lain), dan bahwa kompetisi pada dasarnya bukan hanya yang berhasil, tetapi juga yang gagal, dan berbagai aspek lainnya, sama sekali tidak menjadi perhatian. Cita-cita telah menjadi mekanisme yang sah, yang dengan itu, ada dorongan pada individu untuk melakukan sesuatu. Masalahnya, apakah pandangan eksklusif tersebut sepenhnya dapat diterima?

Batas-batas

Apabila dilihat lebih dalam dan lebih berempati, maka sangat mungkin akan nampak adanya situasi yang pada sebagian pihak tidak memungkinkan menyusun cita-cita. Suatu keadaan yang sebenarnya telah membatalkan apa yang dibayangkan sebagai kompetisi yang fair. Keadaan yang dimaksud, antara lain: Pertama, apa yang disebut di sini sebagai kenyataan ketimpangan. Sistem konvensional cenderung mengabaikan fakta bahwa akses terhadap pendidikan, modal, dan peluang tidak merata. Namun demikian, harus diakui bahwa kenyataan tersebut tertutupi secara rapi. Atau struktur ketidakadilan tidak nampak, dan yang ditonjolkan adalah narasi yang mengangkat sistem meritokrasi, dengan segala bentuk dan turunannya.

Kedua, apa yang dapat disebut sebagai kecenderungan eksklusif dan kompetitif. Karena keberhasilan didefinisikan secara relatif (siapa yang lebih dari yang lain), maka cita-cita konvensional selalu menghasilkan pemenang dan pecundang. Para pemenang bukan saja mendapatkan apa yang ingin didapatkannya, akan tetapi juga apresiasi sosial, dengan segala wujudnya. Sementara yang kalah, dan jumlahnya sangat banyak, tidak saja tidak mendapatkan apa yang ingin dicapainya, melainkan mendapatkan stigma sosial, bahkan mungkin sepanjang hidupnya. Hal yang mungkin layak mendapatkan ruang refleksi, terutama jika dikaitkan dengan rasa gotong royong dan sejenisnya.

Ketiga, apa yang hendak disebut di sini sebagai keterlepasan dari tanggung jawab sosial.
Tidak ada pertimbangan serius mengenai dampak cita-cita pribadi terhadap masyarakat, alam, atau relasi sosial. Yang utama adalah pencapaian pribadi. Pokok ini merupakan aspek yang tidak terbayangkan, atau bagi yang bercita-cita tentu sangat sulit untuk meletakkan dampak sosial sebagai bagian yang harus dipikirkan dalam menyusun cita-cita yang bersifat individual. Justru, ketika ikatan dan dampak sosial yang menjadi perhatian, maka sudah barang tentu apa yang disebut sebagai cita-cita tidak akan dapat diwujudkan, bahkan mungkin akan sulit untuk diucapkan.

Refleksi

Internalisasi cita-cita pada gilirannya akan meningkatkan rasa ingin yang kuat, untuk sedemikian rupa sehingga ada kemantapan dalam proses mencapai atau mewujudkan cita-cita. Dengan itu, yang tersisa adalah langkah mencapai tujuan. Beberapa langkah dapat dibayangkan akan berkembang, yakni: Satu, kerja keras individual. Kesuksesan dalam cita-cita konvensional sangat digantungkan pada usaha pribadi, disiplin, dan ambisi, sering kali dengan mengorbankan keseimbangan hidup atau solidaritas sosial. Dua, adaptasi terhadap sistem yang ada. Individu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan logika pasar, persaingan, dan nilai-nilai dominan, bukan menantangnya atau mengubahnya. Dan tiga, pengakuan eksternal sebagai validasi. Pencapaian dianggap sah bila diakui oleh institusi, masyarakat, atau simbol status (gelar, jabatan, kekayaan).

Dari kesemuanya itu, dapat dikatakan, bahwa cita-cita dalam kerangka ini tampak sebagai bentuk kebebasan dan aspirasi pribadi, namun sesungguhnya dibatasi oleh asumsi ideologis yang kuat: individualisme, meritokrasi, dan pemisahan antara pribadi dan sosial. Dalam batas tertentu, dapat dikatakan bahwa suatu cita-cita pada dasarnya menerima pada dirinya kenyataan ketimpangan dan dengan demikian dapat berarti melanggengkan eksklusi. Namun, hal kurang empatik tersebut, tidak selalu dapat dilihat, karena beriring dengan itu, berkembang pula suatu kemasan yang tampil dalam retorika usaha pribadi dan mimpi bebas. Cita-cita ini bukan tidak mungkin diwujudkan, tetapi tidak cukup adil dan tidak cukup membebaskan—baik bagi individu maupun masyarakat secara kolektif. Oleh karena itu, dalam refleksi sosial, amat perlu untuk dipikirkan suatu transformasi menuju cita-cita yang membumi, etis, dan sosial. Apa mungkin? (bersambung) [Desanomia – 17.6.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *