Darimana Bahasa Berasal?

Sumber ilustrasi: pixabay

18 Mei 2025 16.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [18.5.2025] Kemampuan manusia untuk berbahasa sering dianggap sebagai fitur unik dalam dunia hewan. Namun, temuan baru dari sekelompok ilmuwan menunjukkan bahwa kapasitas tersebut mungkin memiliki akar yang lebih dalam dan tidak sepenuhnya eksklusif bagi manusia. Simpanse, kerabat terdekat manusia secara evolusioner, ternyata memiliki sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada yang sebelumnya diperkirakan.

Dalam studi yang dipublikasikan pada Mei 2024 di jurnal Science Advances, para peneliti menemukan bahwa simpanse dapat menggabungkan berbagai jenis panggilan suara untuk menciptakan makna baru, dengan cara yang menyerupai aspek dasar bahasa manusia. Mereka menggunakan empat strategi berbeda untuk memodifikasi makna melalui penggabungan dua panggilan suara, baik dengan cara komposisional maupun non-komposisional, dan melakukannya dalam beragam konteks.

Bahasa manusia dikenal karena kemampuannya mengombinasikan bunyi menjadi kata, lalu menjadi kalimat yang kompleks, memungkinkan ekspresi makna tak terbatas. Ini dimungkinkan melalui aturan linguistik seperti sintaksis. Sebagai contoh, kata seperti “ape” dalam bahasa Inggris dapat dikombinasikan menjadi kalimat yang informatif seperti “the ape eats”, menjadi deskriptif seperti “big ape”, atau menjadi idiomatik seperti “go ape”, yang maknanya sama sekali baru dan tidak bisa ditebak dari kata-kata penyusunnya. Urutan kata juga memainkan peran penting, karena “go ape” dan “ape goes” memiliki arti yang berbeda.

Pertanyaan sentral yang terus dikaji dalam ilmu bahasa dan evolusi adalah: dari mana kemampuan luar biasa ini berasal? Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan komparatif, yaitu membandingkan cara komunikasi hewan lain, terutama primate, dengan manusia. Secara umum, primata non-manusia hanya mengandalkan panggilan tunggal dalam jumlah terbatas, yang biasanya digunakan untuk memberi sinyal bahaya, seperti kehadiran predator. Kombinasi panggilan memang ada, tetapi sangat terbatas dan tidak menunjukkan sistem kompleks seperti bahasa.

Namun, peneliti menduga bahwa pemahaman kita mengenai potensi linguistik primata masih sangat terbatas. Mereka mengungkapkan bahwa penggunaan kombinasi panggilan oleh simpanse dapat membuka kemungkinan bahwa hewan ini mampu memperluas makna komunikatifnya secara signifikan, jauh melampaui asumsi lama.

Dalam penelitian ini, ilmuwan dari Max Planck Institutes untuk Antropologi Evolusioner dan Ilmu Otak Kognitif di Leipzig, Jerman, serta dari dua lembaga riset saraf di Lyon, Prancis, merekam ribuan vokalisasi dari tiga kelompok simpanse liar di Taman Nasional Taï, Pantai Gading. Fokus utama penelitian ini adalah analisis 12 jenis panggilan simpanse dan bagaimana makna panggilan tersebut berubah saat digabungkan menjadi pasangan dua suara.

Salah satu peneliti senior menyatakan bahwa kemampuan untuk menghasilkan makna baru melalui penggabungan sinyal vokal adalah ciri khas bahasa manusia. Karena itu, penting untuk menelusuri apakah kemampuan serupa bisa ditemukan pada simpanse dan bonobo sebagai kerabat terdekat manusia, untuk memahami asal-usul bahasa.

Peneliti lain menekankan pentingnya pengamatan jangka panjang terhadap simpanse di habitat alaminya. Menurutnya, dokumentasi penuh terhadap kemampuan komunikasi simpanse hanya bisa dicapai melalui rekaman lapangan yang berkelanjutan, meskipun hal itu semakin sulit karena tekanan dari aktivitas manusia terhadap populasi simpanse liar.

Studi ini memperluas wawasan kita tentang kapasitas komunikasi simpanse dan menunjukkan bahwa aspek-aspek mendasar dari bahasa mungkin sudah hadir dalam garis keturunan primata sebelum munculnya Homo sapiens. Kombinasi panggilan, yang melibatkan fleksibilitas dan kemungkinan pembentukan makna baru, memperlihatkan bahwa fondasi kognitif untuk bahasa mungkin telah lama ada dalam sejarah evolusi. (NJD)

Sumber: ScienceDaily

Link: https://www.sciencedaily.com/releases/2025/05/250509154213.htm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *