Sumber ilustrasi: pixabay
11 Mei 2025 15.45 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [11.5.2025] Harga di tingkat pabrik China mencatat penurunan terdalam dalam enam bulan terakhir pada April 2025, sementara indeks harga konsumen juga menurun untuk bulan ketiga berturut-turut. Data ini menunjukkan tekanan deflasi yang terus membayangi ekonomi terbesar kedua di dunia, yang kini makin terdampak oleh perang dagang dengan Amerika Serikat.
Menurut Biro Statistik Nasional China, indeks harga produsen (PPI) turun sebesar 2,7% pada April dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan ini lebih besar dibandingkan penurunan 2,5% pada Maret, meskipun sedikit lebih baik dari perkiraan analis sebesar 2,8%.
Sementara itu, indeks harga konsumen (CPI) juga mencatat penurunan 0,1% secara tahunan, sama seperti Maret dan sesuai dengan hasil jajak pendapat Reuters. Secara bulanan, CPI naik 0,1%, membalikkan penurunan 0,4% pada bulan sebelumnya, menunjukkan adanya sedikit perbaikan dalam tekanan harga jangka pendek.
Inflasi inti, tidak memasukkan harga makanan dan energi yang bergejolak, tercatat naik 0,5% pada April dibandingkan periode yang sama tahun lalu, tetap stabil dari bulan sebelumnya yang menandakan bahwa tekanan harga di sektor-sektor inti tetap lemah.
Ekonom Zhiwei Zhang dari Pinpoint Asset Management menilai bahwa tekanan deflasi masih akan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan. Dirinya memperkirakan ekspor akan semakin melemah, bahkan jika negosiasi perdagangan antara China dan AS membuahkan hasil positif. Zhang juga menekankan bahwa tarif kemungkinan besar tidak akan kembali ke tingkat sebelum April, sehingga dibutuhkan kebijakan fiskal yang lebih agresif untuk menstimulasi permintaan domestik.
Penurunan harga ini juga mencerminkan tekanan dari sektor properti yang masih mengalami pelemahan berkepanjangan, tingginya utang rumah tangga, dan ketidakpastian pekerjaan yang membatasi daya beli konsumen. Pemerintah China saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam mendorong pertumbuhan konsumsi dan investasi.
Sebagai respons terhadap tekanan ekonomi tersebut, pemerintah China baru-baru ini meluncurkan serangkaian langkah stimulus, termasuk pemotongan suku bunga dan suntikan likuiditas besar-besaran ke pasar. Langkah-langkah ini ditujukan untuk meningkatkan konsumsi di berbagai sektor serta mendukung stabilitas pasar tenaga kerja.
Perang dagang yang sedang berlangsung juga memengaruhi sektor ekspor China. Raksasa ritel seperti JD.com dan Freshippo yang dimiliki Alibaba telah memulai strategi baru untuk mengarahkan produk ekspor ke pasar domestik. Namun, pergeseran ini berisiko menekan harga lebih lanjut karena lemahnya kepercayaan bisnis dan konsumen.
Beberapa bank investasi global, termasuk Goldman Sachs, telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China tahun ini menjadi di bawah target resmi pemerintah sekitar 5%. Penurunan proyeksi ini disebabkan oleh dampak berkepanjangan dari perang dagang dan lemahnya permintaan global.
Meskipun negosiasi perdagangan antara AS dan China yang dijadwalkan akhir pekan ini di Swiss memberi sedikit harapan akan meredanya ketegangan, para analis tetap berhati-hati. Perundingan tersebut dipandang sebagai langkah awal untuk memperbaiki hubungan dagang yang telah memburuk selama bertahun-tahun.
Buah Pikiran
Tekanan deflasi yang semakin dalam mencerminkan kerentanan struktural dalam ekonomi China yang selama ini terlalu bergantung pada ekspor dan investasi sektor properti. Dalam situasi saat ini, strategi stimulus fiskal dan moneter perlu lebih diarahkan pada peningkatan daya beli konsumen dan mendukung inovasi dalam ekonomi domestik.
Perundingan dagang dengan Amerika Serikat memang dapat membuka peluang pemulihan, namun keberhasilannya sangat tergantung pada komitmen kedua belah pihak. Tanpa penyelesaian menyeluruh dan jangka panjang, kebijakan stimulus dalam negeri China hanya akan menjadi pereda sementara dari tekanan global yang terus membesar. (NJD)
Sumber: Reuters