Desa dalam Isu Pertumbuhan Ekonomi

Sumber ilustrasi: freepik

1 Juni 2025 10.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apakah pandangan yang berakar pada kesadaran sosio-ekologi setempat tidak mengizinkan desa untuk berpartisipasi secara aktif, sengaja dan konstruktif dalam ikut menopang agenda pertumbuhan ekonomi nasional? Apakah kesadaran sosio-ekologi hanya mendorong pandangan yang eksklusif (ke dalam) dan mengabaikan kebutuhan untuk melihat keluar, terutama untuk ambil bagian dalam menyelamatkan ekologi dalam kerangka makro, hal mengingat bahwa tidak mungkin keberlanjutan ekologi setempat dijamin jika arus kerusakan masif berlangsung di luar. Artinya, kesadaran sosio-ekologi, bukanlah kesadaran yang menutup diri, justru sebaliknya.

Jika demikian itu adanya, hal apa yang memungkinkan keterlibatan desa? Apakah seperti yang sekarang sedang berlangsung, yakni melulu menempatkan desa sebagai obyek, atau sekedar pelaksana atas apa yang “dari atas” telah sepenuh-penuhnya diputuskan. Apakah memang desa punya takdir keberadaan sebagai obyek, ataukah suatu transformasi dimungkinkan. Suatu transformasi yang membuat desa memiliki kedudukan dan peran yang lebih strategis. Yakni desa merupakan salah satu “aktor” strategis dalam ikut memastikan gerak mencapai pertumbuhan yang dicanangkan. Dan tidak sekedar itu, yakni peran untuk mengawal agar pertumbuhan tetap terjaga watak ekologisnya.

***

Dalam diskursus pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional, perdebatan tentang siapa yang layak menjadi aktor utama pembangunan kerap didominasi oleh pandangan top-down, yakni negara pusat dan korporasi besar sebagai motor penggeraknya. Namun, pendekatan ini justru menyisakan banyak persoalan struktural: ketimpangan, ketergantungan, dan lemahnya kapasitas lokal untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, dalam kerangka ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan demokratis, penting untuk juga menempatkan desa sebagai titik strategis tindakan kolektif, bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek kemandirian ekonomi dan sosial.

Konsep tindakan kolektif, dalam kacamata yang sederhana dapat dipahami dan dirujukkan pada peran strategis kelompok-kelompok kepentingan. Soalnya, kelompok mana yang berperan dalam ikut “mempengaruhi” atau bahkan “membentuk” kebijakan ekonomi? Yang menjadi masalah adalah ketika kepentingan ekonomi tertentu, mampu memenangkan kebijakan ekonomi, yang justru bersifat tidak memberikan benefit yang sejalan dengan kepentingan nasional. Apa yang kini menjadi bahan pembicaraan publik, dan juga banyaknya kasus-kasus hukum di kalangan otoritas publik, memperlihatkan dinamika yang tidak mudah, dimana kebijakan ekonomi, kerapkali menjadi ajang kontestasi kelompok kepentingan tertentu. Dalam kerangka ini, akan mudah dipahami jika dikatakan bahwa stagnasi ekonomi seringkali bukan disebabkan oleh faktor teknis makroekonomi, tetapi oleh kelembagaan yang dibentuk oleh kepentingan yang berlawan dengan kepentingan publik.

Jika kita dapat membedakan antara tindakan kolektif yang bersifat eksklusif, predatoris, dan elitis dengan tindakan kolektif yang bersifat inklusif, demokratis, dan berbasis komunitas, maka mungkin masalah menjadi sangat berbeda, dan potensi bagi hadirnya kemungkinan-kemungkinan baru lebih terbuka. Pada titik inilah promosi partisipasi desa hendak diajukan. Desa, dalam hal ini, bukan sekadar unit administratif, melainkan entitas sosio-ekologis yang memiliki relasi historis dengan ruang hidup, sistem nilai lokal, dan institusi sosial tradisional. Tindakan kolektif yang lahir dari desa memiliki watak yang sangat berbeda: bukan untuk mengeksploitasi negara, tetapi untuk memulihkan dan membangun kedaulatan dari bawah.

Publik mengetahui bahwa desa memiliki posisi strategis untuk membangun kekuatan ekonomi yang berkeadilan. Undang-Undang Desa (UU No. 6 Tahun 2014) secara eksplisit mengakui hak desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat setempat. Ini membuka ruang legal bagi desa untuk membangun tindakan kolektif yang kuat, seperti pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, pembentukan koperasi desa, dan pembangunan infrastruktur lokal berdasarkan musyawarah.

Tindakan kolektif desa dapat menjelma dalam berbagai bentuk: pengelolaan hutan adat yang lestari, irigasi yang dikelola secara gotong royong, koperasi petani yang memperkuat rantai nilai lokal, atau sistem distribusi hasil tani yang berbasis komunitas. Dalam semua ini, keputusan tidak diambil oleh kepentingan sempit, melainkan melalui mekanisme partisipatif. Inilah demokrasi ekonomi yang sebenarnya, yang menjadi antitesis dari dominasi dan monopoli dalam skema distribusi nasional.

Secara ekonomi, desa yang mampu bertindak kolektif akan memperkuat basis produksi nasional, memperluas pasar domestik yang sehat, serta membangun daya tahan ekonomi terhadap krisis global. Sementara dari sisi politik, tindakan kolektif ini memperkuat kemandirian politik desa, memperkecil jarak antara pembuat kebijakan dan warga, dan mencegah kooptasi negara oleh kepentingan rente. Di saat yang sama, desa menjadi aktor penting dalam menjaga ekosistem dan keberlanjutan lingkungan, karena ruang hidup mereka adalah bagian dari sistem ekologis yang utuh.

Tindakan kolektif desa juga membawa dimensi moral dan kultural. Nilai-nilai seperti gotong royong, keadilan, keberlanjutan, dan kearifan lokal menjadi sumber daya sosial yang tidak dimiliki oleh mekanisme pasar bebas atau birokrasi negara. Ini adalah modal sosial yang sangat penting dalam membangun ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga adil dan manusiawi. Di tengah krisis multidimensi akibat model pembangunan yang eksploitatif, desa hadir sebagai ruang pembelajaran kolektif, di mana ekonomi tidak dipahami sebagai sekadar kalkulasi untung-rugi, melainkan sebagai sarana menjaga kehidupan bersama.

Dalam jangka panjang, menjadikan desa sebagai basis tindakan kolektif bukanlah romantisme lokalitas. Ini adalah strategi ekonomi-politik yang realistis dan visioner. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti yang ditargetkan otoritas yakni 8 persen hingga 2029 tidak akan tercapai jika kebijakan publik terus disandera oleh kepentingan sempit dan tidak mampu menggerakkan partisipasi ekonomi yang luas. Tanpa tindakan kolektif dari desa-desa, pembangunan hanya akan menjadi proyek elitis yang rapuh, tidak mengakar, dan mudah runtuh oleh guncangan eksternal. Desa bukan residu sejarah, tetapi fondasi masa depan. Tindakan kolektif desa adalah kunci untuk membuka jalan menuju ekonomi nasional yang adil, lestari, dan berdaulat. Dengan membangun kekuatan ekonomi dari bawah, kita tidak hanya mengejar pertumbuhan angka, tetapi juga pertumbuhan kehidupan, yang berkecukupan, berkeadilan, dan berkelanjutan. [Desanomia – 1.6.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *