Sumber ilustrasi: pixabay
29 Mei 2025 13.55 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pada ujung ulasan edisi lalu [Desa: Ekologi, Ekonomi, dan Epistemologi (4)], telah dinyatakan watak eksplorasi dari pembahasan kita ini. Gambaran kemunculan etika dari relasi antara tiga titik dasar yakni ekologi, ekonomi dan epistemologi, telah memberi makna tersendiri, bahwa eksplorasi atas pengetahuan desa, akan membuahkan pemikiran-pemikiran yang strategis dan mendalam. Bahkan, telah dinyatakan pula bahwa eksplorasi tersebut tidak saja memberikan kejutan, akan tetapi juga kesulitan dalam merumuskan keberadaan hal yang timbul dari interaksi. Kesulitan yang ingin diungkapkan di sini adalah: (1) bahwa apa yang “ditemukan”, bukanlah hal yang sebenarnya dapat sepenuhnya diwakili oleh Bahasa yang ada. Istilah yang digunakan, sebenarnya memperlihatkan keterbatasan itu, karena pada akhirnya dibutuhkan penjelasan khusus, agar makna yang “dideskripsikan” dapat lebih mendekati maksud; dan (2) bahwa justru persis, oleh karena itu, kesulitan menjadi lebih nyata. Deskripsi kesulitan untuk memunculkan secara lebih kongkrit, akibat dari makna yang tengah dalam eksplorasi. Akibat yang langsung nampak adalah dominannya diksi negasi, yang pada sebagian pihak akan terlihat sebagai kelemahan, namun dalam kerangka pembahasan ini merupakan ekspresi dari watak eksplorasi tersebut. Tentu ini bukan suatu apologia, melainkan realitas yang harus ditempuh.
***
Edisi lalu telah mengungkapkan timbulnya etika dari relasi antara elemen-elemen dasar dan artikulatif. Ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian, yakni: Pertama, ketika ketiganya bertemu dalam kesadaran yang saling menginterupsi, maka muncullah kebutuhan akan horizon evaluatif. Kedua, dalam praksis hidup, didapati bahwa relasi tidak cukup hanya dijalani, tetapi harus dialami secara reflektif, ditimbang secara normatif. Dalam kerangka itu, etika diungkapkan sebagai (a) kesadaran akan keterlibatan yang tak terhindarkan, (b) tanggung jawab eksistensial atas yang lain, dan (c) evaluasi terhadap cara kita hidup bersama.
Dengan etika yang demikian itu, telah dilakukan eksplorasi lebih jauh terutama: (1) memeriksa apa yang timbul dari relasi etika dengan masing-masing tiga elemen dasar; dan (2) memeriksa apa yang timbul dari relasi (a) tiga titik; dan (b) tiga garis yang terbentuk; dan (c) semuanya sebagai satu kesatuan. Edisi kali ini sebenarnya akan masuk ke dalam pembahasan kedua (2), namun demikian, pembahasan ditunda pada edisi selanjutnya. Adapun edisi ini, akan diisi dengan eksplorasi tentang estetika. Pertanyaan yang tiba-tiba datang adalah mengapa estetika luput dari perhatian? Apakah dalam kerangka eksplorasi ini tidak ditemukan estetika, atau memang dalam kerangka kebermukiman tidak dikenal estetika? Jika ada, darimana datangnya?
***
Sejauh pengetahuan publik, estetika dikenali lewat apa yang telah beredar sebagai pemahaman umum, bahwa estetika adalah hal terkait keindahan. Ketika melihat pemandangan gunung yang beralaskan hamparan padi menguning. Sungai-sungai yang mengalir. Atau, pantai bersih dengan ombak yang ramah. Kesemuanya, dalam kesaksian para pelancong akan dimaknai sebagai indah. Pada sisi yang lain, ketika pemandangan atau bentuk-bentuk yang ada di alam tersebut ditampilkan kembali ke dalam kanvas, alunan nada atau susunan kata, kemampuan meniru tersebut adalah juga suatu keindahan.
Bagi para ahli, keindahan mungkin dipandang tidak sekedar kemampuan meniru, atau terkait kegunaan, melainkan mungkin adalah pengalaman subjektif yang bersifat universal: seseorang menilai keindahan bukan karena fungsi, tetapi karena rasa senang yang bebas dari kepentingan pribadi. Dalam kerangka ini, estetika menjadi wilayah otonomi, bahkan etika yang halus. Hal tentang otonomi makna ini, sedemikian sehingga makna estetika, tidak lagi dipandang harus meniru atau mewakili kenyataan itu sendiri. Bahkan kini, estetika menjadi ruang kritik sosial dan dekonstruksi makna. Keindahan dapat timbul dari ironi, absurditas, bahkan kehancuran. Dari sini nampak bahwa percakapan tentang estetika, sebenarnya suatu proses yang memasuki ruang eksplorasi yang kompleks. Dan persis karena itulah, kita perlu mengeksplorasi keindahan yang bermukim.
***
Apa yang perlu menjadi dasar awal adalah bahwa dalam kehidupan bermukim, keindahan tidak dapat ditempatkan sebagai hal berdiri sendiri sebagai kategori visual atau formal, melainkan hadir sebagai getaran dari kehidupan yang dijalani (dialami) secara utuh dan menyatu dengan alam, kerja, pengetahuan, serta nilai. Estetika di sini bukanlah pencapaian, tetapi hasil dari “keterlibatan yang mendalam” dengan dunia yang bernyawa.
Pertama-tama, ekologi desa bukanlah latar yang pasif, melainkan medan hidup yang penuh makna. Alam tidak netral, tidak kosong dari nilai, tetapi hadir sebagai subjek yang memiliki suara, kehendak, dan keberadaan spiritual. Jika dalam pandangan mainstream, gunung dan lingkungannya merupakan obyek, maka dalam pandangan ini, gunung dipandang sebagai leluhur, sungai sebagai ibu, dan hutan sebagai ruang suci yang dijaga. Dari sinilah keindahan muncul: bukan dari pemandangan, tetapi dari keterlibatan yang halus antara manusia dan lingkungan yang dihuni dengan penuh kesadaran. Ketika rumah dibangun menghadap mata angin, atau sawah dibuka mengikuti lengkung bukit dan aliran air, keputusan itu tidak diambil karena estetika dalam arti modern, tetapi karena rasa hormat terhadap tatanan alam yang hidup. Estetika desa tumbuh dari dasar ekologi yang tidak hanya fungsional, tetapi juga transenden.
Dari sisi ekonomi, desa menanamkan pola hidup yang dijalani bukan semata-mata untuk akumulasi atau efisiensi, melainkan untuk keberlangsungan dan kebersamaan. Kerja bukan beban, melainkan ritus harian yang penuh makna. Menanam, memanen, menenun, atau membangun rumah dilakukan dalam irama yang sarat dengan nilai kolektif dan kehadiran emosional. Ekonomi desa bukan hanya soal distribusi barang dan tenaga, tetapi tentang bagaimana relasi terjalin melalui tindakan. Dalam konteks ini, estetika bukan muncul dari produk akhir, tetapi dari cara kerja yang dijalankan: dari ritme tubuh yang selaras dengan musim, dari pola-pola kerja bersama yang menyulam keintiman antarwarga. Estetika desa, dalam hal ini, bukan hasil dekorasi, tetapi gema dari ekonomi yang berjiwa.
Pengetahuan di desa pun sebagaimana telah dibahas dalam edisi sebelum ini, adalah pengetahuan yang tidak hadir dalam bentuk teori atau rumusan abstrak, melainkan melalui pengalaman, pewarisan, dan perasaan yang tertanam dalam tubuh dan ruang. Ini adalah epistemologi yang mengalir dalam simbol, dalam kisah lisan, dalam gerak tubuh, dan dalam pengetahuan praktis yang peka terhadap tanda-tanda alam. Di sini, estetika tumbuh dari medan afektif yang ditenun oleh cara mengenali dunia yang tidak dijelaskan tetapi dirasakan. Keindahan hadir dalam tata ruang, dalam pola tenun, dalam ukiran, dalam tarian dan nyanyian, bukan karena mereka dirancang untuk indah, tetapi karena mereka adalah bentuk-bentuk pengetahuan yang hidup—penghayatan terhadap kosmos dalam bentuk yang akrab dan membumi.
Sementara itu, etika dalam kebermukiman desa bukan merupakan sistem normatif yang kaku, tetapi sikap hidup yang dijalani dengan rasa hormat terhadap keterhubungan. Etika di sini tidak berkata-kata, tetapi termanifestasi dalam laku: tidak menebang pohon tua, tidak membangun rumah melampaui batas, tidak membuang air sembarangan. Etika desa adalah kesadaran yang memurnikan rasa, yang menjaga agar tindakan tetap selaras dengan kehidupan bersama dan tatanan semesta. Estetika tidak bisa muncul tanpa etika seperti ini, karena hanya dari kehidupan yang dijalani dengan hormat dan keseimbangan, keindahan bisa dirasakan secara mendalam. Estetika bukanlah efek dari etika, tetapi cerminan halus dari kehidupan yang dijalani dengan batin yang jernih.
Dari keseluruhan ini, estetika desa menunjukkan kepada kita bahwa dunia masih bisa menyentuh manusia. Bukan hasil produksi atau karya artistik dalam pengertian modern, melainkan penanda bahwa manusia masih bisa hidup sebagai bagian dari harmoni yang lebih besar, bukan sebagai penguasa atau penonton. Dalam dunia yang semakin dipisahkan oleh sistem dan fungsi, estetika desa mengingatkan bahwa keindahan sejati bukan terletak pada apa yang dilihat, tetapi pada cara kita hadir, terhubung, dan menyatu dengan dunia. Suatu bukti bahwa keindahan tidak diciptakan, melainkan tumbuh, dan tentu jika manusia cukup “diam” untuk mengalaminya. (bersambung) [Desanomia – 29.5.25 – TM]