Sumber ilustrasi: unsplash
27 Mei 2025 10.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Dalam wacana pembangunan dan modernisasi, meskipun telah ada perbaikan di sana-sini, namun tetap tidak dapat diingkari bahwa desa sebenarnya masih diperlakukan sebagai entitas pasif yang menanti intervensi eksternal untuk bergerak menuju kemajuan. Apa yang ingin menjadi bahan refleksi, tentu bukan perkara intervensi itu sendiri, melainkan ambisi yang bekerja dibalik itu semua. Yang dimaksud adalah suatu pandangan yang menganggap bahwa desa dapat terus berkembang, tumbuh dan maju tanpa batas. Berbagai inisiatif diupayakan, baik terkait kebijakan, teknologi, modal dan lain sebagainya. Kesemuanya dalam kepercayaan bahwa desa dapat terus berkembang, asalkan kebijakan yang diberikan tepat sasaran, atau ketepatan yang lainnya. Tentu saja kitab oleh memberi apresiasi atas segala niat baik yang telah diselenggarakan.
Justru atas dasar apresiasi tersebut, kita amat perlu mengangkat hal yang mungkin saja dilupakan, atau tidak sempat masuk secara sistematis dalam suatu pembahasan yang komprehensif. Apa yang perlu mendapatkan perhatian, dan tentu harus senantiasa diingat adalah satu kenyataan mendasar yang kerap dilupakan, yaitu bahwa wilayah desa adalah satu dan hanya itu. Barangkali ada yang bertanya, mengapa hal yang telah benar-benar nyata harus diangkat dan dibahas? Justru itulah. Kita hendak mengangkatnya, oleh karena kenyataan itu sebenarnya tidak bisa disederhanakan hanya sekedar data geografis atau administratif, akan tetapi dalam kenyataan keras tersebut terdapat makna “keberadaan” yang sangat dalam. Apa itu? Bahwa ruang hidup desa bersifat terbatas, tunggal, dan hanya itu.
Frasa “hanya itu”, menegaskan bahwa ruang wilayah, tidak bisa ditambah, kecuali ada penambahan, seperti desa lain bergabung? Namun penambahan itu sendiri, segera setelah akan tiba pada keadaan yang sama, yakni bahwa wilayahnya satu dan hanya itu. Dengan penegasan tersebut diharapkan timbul kesadaran kolektif yang penuh. Suatu kesadaran yang sepenuh-penuhnya sadar bahwa arena yang tersedia hanya itu. Tidak ada yang lain. Bahkan, jika ditinjau dari segi pertumbuhan populasi, maka kemungkinan yang hampir pasti terjadi adalah terjadinya pengurangan areal untuk keperluan produksi dan aktivitas turunannya, karena akan digunakan untuk keperluan pemukiman warga dan fasilitas publik.
Bahkan, bagi para pegiat lingkungan hidup, masalahnya bukan hanya terjadinya pengurangan, akibat alih fungsi area, akan tetapi juga terjadinya penurunan kualitas daya dukung lingkungan, akibat dari kerusakan-kerusakan. Secara kasat mata, kita bisa menunjukkan kerusakan yang terjadi, mulai dari polusi udara, sampah, hingga penggunaan bahan baku untuk keperluan produksi pertanian. Hal tersebut, tidak saja makin mempersempit ruang gerak, akan tetapi juga berbahaya bagi kualitas hidup. Artinya, tanpa kesadaran bahwa ruang bersifat tunggal dan tetap, maka ada potensi kelupaan, dan kelupaan tersebut, dapat mendorong terjadinya kerusakan yang mungkin saja masih belum sepenuhnya disadari.
Dengan kesadaran itulah, seharusnya dapat dengan jernih dilihat bahwa keunikan dan keterbatasan wilayah desa ini sangat perlu dipahami sebagai suatu bentuk konstitusi sosio-ekologis setempat, yakni suatu struktur dasar dari keberadaan desa yang menyusun kemungkinan-kemungkinan hidup sosial, ekonomi, budaya, dan ekologis dalam desa tersebut. Sebagaimana konstitusi dalam negara menentukan batas dan dasar dari segala hukum, konstitusi sosio-ekologis desa menetapkan hukum dasar dari kehidupan bersama dalam ruang yang spesifik dan terbatas itu. Artinya, ada hal-hal yang mutlak tidak bisa dilampaui, karena kenyataan keterbatasan tersebut.
Atas dasar itulah, sangat perlu mulai diperiksa dengan seksama, mana yang mungkin dan mana yang benar-benar tidak mungkin. Jika sebelumnya, kita mendengar ada motivasi yang mendorong impian setinggi langit, maka konstitusi sosio-ekologi setempat, akan mengajak secara tenang suatu refleksi tentang kemungkinan-kemungkinan. Dari situ, barangkali akan ada penyesuaian, yakni bermimpi sejauh yang dimungkinkan oleh kenyataan sosio-ekologi setempat. Apa yang disebutkan di sini, bukanlah suatu sikap pesimisistis, bukan pula dalam pengertian yang sempit, yakni realistis, melainkan suatu kesadaran. Bukan pula kesadaran baru, tetapi kesadaran yang sudah seharusnya begitu.
Dalam kesadaran itulah, apa yang nyata-nyata melampaui kapasitas sosio-ekologi desa, perlu disesuaikan. Semangat membangun, perlu didorong. Yang perlu dihindari adalah ambisi untuk mengejar pertumbuhan dan kemajuan yang tidak berpijak pada kesadaran akan batas. Ketika pertumbuhan dicapai, perlu dilengkapi dengan refleksi; ketika ekspansi dilakukan, perlu dilengkapi dengan perhitungan daya dukung lingkungan, dan pembangunan perlu dikawal dengan kesadaran, agar tidak tergelincir dalam kehendak yang melampaui batas. Tanpa kesadaran, wilayah desa dapat dianggap seolah bisa diperluas, dimodifikasi tanpa akhir, dan tanpa konsekuensi.
Apa yang hendak ditegaskan kembali adalah bahwa batas merupakan realitas yang niscaya. Cepat atau lambat, batas itu akan dicapai—baik berupa keterbatasan ruang fisik, keterbatasan sumber daya, maupun batas sosial dalam bentuk erosi relasi antarwarga dan identitas komunitas. Ketika batas dicapai, ilusi pertumbuhan sebagai jalan keselamatan akan runtuh, dan satu-satunya jalan yang tersisa adalah melakukan regenerasi: memulihkan kembali keseimbangan sosio-ekologis yang telah terganggu.
Regenerasi ini tidak semata berkaitan dengan aspek lingkungan seperti reboisasi atau konservasi, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan budaya: menghidupkan kembali relasi gotong royong, memperkuat identitas lokal, serta menata ulang orientasi ekonomi agar sejalan dengan keberlanjutan. Regenerasi, dalam hal ini, adalah bentuk ketaatan terhadap konstitusi sosio-ekologis yang tidak bisa ditawar.
Konstitusi ini tidak memberi ruang untuk pilihan lain. Bukan kebijakan yang bisa dinegosiasikan atau dilewati, melainkan hukum eksistensial yang mengikat. Setiap pelanggaran terhadapnya akan dibayar dengan kerusakan ekologis, krisis sosial, dan kemunduran budaya. Oleh karena itu, pertumbuhan dan kemajuan hanya sah sejauh dilakukan dalam kerangka kesadaran dan kepatuhan terhadap konstitusi tersebut.
Dalam kesadaran ini, desa bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek yang memiliki struktur kehidupan sendiri, yang perlu dihormati dan dipelihara. Kesadaran akan batas bukan berarti anti-kemajuan, tetapi justru syarat dari kemajuan yang berkelanjutan. Dalam keterbatasan itulah, kita menemukan bentuk kehidupan yang paling utuh dan paling bertanggung jawab. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi ilusi yang tak berakar pada kenyataan sosio-ekologi setempat. Tidak pilihan kecuali berpegang teguh pada konstitusi sosio-ekologis yang telah sejak lama menjadi dasar kehidupan desa. Di sanalah letak kebijaksanaan sosio-ekologi: bahwa untuk hidup, kita tidak bisa menaklukkan batas, tetapi harus hidup bersamanya, menjaganya, dan mewariskannya kepada generasi mendatang dalam keadaan yang lestari dan bermakna. Inilah dasar pokok kebermukiman. [Desanomia – 27.5.25 – TM]