Pada edisi 27 Maret yang lalu, telah dibahas pemikiran yang menjelaskan transformasi dari Demos ke Desa (lihat, Desanomia.id: Dari Demos ke Desa). Ada empat hal yang telah dikupas, yakni terkait dengan desa, demokrasi, tujuan komunitas desa, dan musyawarah. Dengan merujuk pada penjelasan pasal 18 UUD’45, yang menyatakan:
“Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
telah diperoleh suatu kenyataan sejarah: (1) bahwa desa telah lebih dahulu ada. Secara demikian, desa pada awalnya, bukanlah suatu wilayah administratif, melainkan suatu komunitas yang tinggal dalam realitas sosio-ekologi setempat. Sejarah panjang desa membuatnya memiliki identitas yang membuat tiap desa memiliki ciri tersendiri, yang unik dengan karakteristik sosio-kultural dan sosio-ekologi setempat; dan (2) bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan desa. Bahkan negara menjamin akan senantiasa mengingati hak asal-usul desa, sedemikian sehingga akan dijamin tidak akan ada kebijakan yang dapat dikatakan sebagai merugikan desa.
Dengan pengertian yang demikian itu, sudah tentu akan memgubah banyak hal: (a) pengertian desa, yang berbeda, terutama jika ditinjau dari sudut desa sendiri; (b) gerak demokrasi yang tidak lagi dapat dipandang sebagai pergerakan demos yang abstrak dan universal, melainkan demos yang berumah di desa, yang kongkrit dan setempat; (c) dengan posisi keberadaan yang demikian itu, maka tujuan desa tidak mungkin melampaui kenyataan sosio-ekologinya, melainkan justru akan senantiasa mengingati kenyataan ekologi tersebut, yang dengan begitu, desa tidak mengejar kemajuan melainkan keberlanjutan; dan (d) oleh sebab itu pula, setiap masalah yang berkembang dan membutuhkan keputusan bersama, maka yang akan dilakukan adalah suatu tindakan musyawarah yang tidak akan mengorbankan kebersamaan atau keutuhan desa, melainkan justru sebaliknya. Musyawarah adalah mekanisme kultural untuk merawat keutuhan desa, dan membuatnya tumbuh dalam keberlanjutan.
Pandangan tersebut sudah tentu akan membawa implikasi yang lebih luas. Soalnya, bagaimana formasi penyelenggaraan tata kehidupan desa, jika ditinjau dari sudut “desa” dan “kratos”? Apakah tetap berpegang pada demokrasi, ataukah dimungkinkan suatu gagasan baru? Yang dalam hal ini akan disebut sebagai “DESAKRASIA”. Bagaimana kita memahami desakrasia?
Pertama. Desakrasia mula-mula adalah gerakan pemulihan makna dan posisi desa, yang dalam hal ini membongkar dominasi sistem politik modern yang tercerabut dari ruang hidup, serta membuka kembali kemungkinan bagi demokrasi dan kekuasaan yang tertambat pada tempat (realitas sosio-ekologi setempat). Namun lebih dari itu, desakrasia perlu dibangun sebagai proyek politik yang aktif, yang tidak berhenti pada nostalgia atau pemuliaan lokalitas, tetapi secara sadar bergerak menuju transformasi tata kuasa yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan kata lain, desakrasia tidak boleh berhenti sebagai “wacana tentang desa”. Ia harus menjadi kerangka pengorganisasian politik komunitas, penguatan kelembagaan lokal, dan bahkan rumusan kebijakan publik yang menghormati dinamika komunitas akar rumput – sebagaimana janji dari konstitusi, dalam hal ini penjelasan pasal 18 UUD’45 (posisi penjelasan telah berubah ketika amandemen UUD’45)
Kedua. Salah satu kritik krusial atas pemahaman normatif tentang desa adalah kecenderungan mengabaikan konflik internal dan ketimpangan relasi kuasa. Sangat disadari bahwa dalam kenyataan gagasan desa, memuat pula masalah-masalah struktural, seperti potensi feodalisme di beberapa tempat, ataupun politik dengan dominasi dan koersi. Oleh karena itu, desakrasia perlu dibangun dalam semangat inklusivitas fundamental —yakni dengan menyadari bahwa tidak semua suara terdengar sama nyaring, bahkan di dalam desa itu sendiri. Untuk mengantisipasinya, dibutuhkan beberapa inisiatif, antara lain:
- Menggali narasi dari perempuan desa, anak muda, masyarakat adat marjinal, petani tak bertanah. Mereka bukan hanya bagian dari demos, tetapi juga produsen pengetahuan lokal.
- Meninjau kembali struktur musyawarah dan pengambilan keputusan, agar tidak menjadi ruang simbolik yang dikendalikan oleh elit atau adat yang tertutup.
- Mengembangkan bentuk representasi yang sesuai dengan struktur relasional komunitas, bukan menyalin sistem pemilu liberal, melainkan mengembangkan bentuk delegasi komunitarian.
Dalam desakrasia, inklusivitas bukan sekadar representasi angka, tetapi pengakuan atas relasi hidup yang saling bergantung, dan perlindungan terhadap yang paling rentan dalam komunitas.
Ketiga. Desa bukan utopia. Ia adalah ruang hidup yang sarat nilai, tetapi juga penuh kemungkinan salah arah. Oleh karena itu, desakrasia harus menjadi proyek kritis dari dalam, yang berani secara reflektif mempersoalkan:
- Apakah praktik adat hari ini masih setia pada keberlanjutan, atau telah digunakan untuk melanggengkan dominasi tertentu?
- Apakah musyawarah sungguh dijalankan, atau telah berubah menjadi formalitas yang menutupi keputusan sepihak?
- Apakah desa benar-benar mandiri secara politik, atau sekadar menjalankan program dari atas dengan label “partisipatif”?
Oleh sebab itulah, desakrasia akan terus mendorong tumbuhnya kapasitas reflektif komunitas, yaitu kemampuan untuk terus-menerus menilai kembali praktiknya sendiri. Kapasitas ini adalah bentuk kematangan paling dalam: bukan hanya “berkuasa” atas ruang hidupnya, tetapi juga atas cara berpikir dan bertindak sendiri.
Keempat. Desakrasia tidak berhenti pada pengakuan terhadap desa, tetapi menuntut rekonstruksi politik dari bawah ke atas. Ini adalah agenda transformatif yang menyasar tatanan negara dan global yang saat ini meminggirkan cara hidup komunitas lokal. Mungkin nampak berlebihan. Namun jika kita membaca dengan lebih seksama naskah Pembukaan UUD’45, maka akan dapat dipahami mengapa refleksi atas formasi negara dibutuhkan. Tentu bukan untuk menambah masalah, melainkan untuk memastikan gerak negara akan melaju menuju pencapaian tujuan nasional. Dalam kerangka pikiran itulah, dimungkinkan untuk memeriksa kembali: (a) apakah relasi negara dan desa, telah merupakan relasi yang ideal, yakni relasi yang memungkinkan desa tumbuh dan berkembang sesuai dengan hak asal-usul dan seluruh potensi yang dimilikinya; (b) apakah telah dimungkinkan suatu skema subsidiaritas yang sesungguhnya, yang berarti pula suatu skema pemulihan kuasa desa untuk menentukan masa depannya berdasarkan ritme dan nilai sendiri; dan (c) apakah telah dimungkinkan suatu pembangunan ekonomi tidak dalam kerangka pasar bebas, tetapi berbasis pada relasi produksi dan distribusi yang selaras dengan ekologi lokal. Dengan ini, desakrasia wujud kesadaran akan ruang hidupnya, yakni kesadaran menolak tercerabut dari tanah, dari tempat, dan dari hidup yang utuh.
Kelima. Jika kita meninjau Pembukaan UUD’45, yang memiliki pandangan dan semangat global, yakni memastikan bahwa ruang hidup bangsa adalah tatanan dunia yang adil, merdeka dan damai, maka demikian itu pula pandangan dasar dari desakrasia. Meskipun berakar lokal, desakrasia memiliki pandangan global. Lokalitas tidak berarti menolak berbagai pandangan yang berkembang, termasuk pandangan yang datang dari pikiran universal. Desakrasi jelas membuka diri dan senantiasa siap berdialog. Desakrasia adalah partisipasi dalam membangun tata hidup yang lebih siap menghadapi perubahan iklim. Oleh sebab itulah, jaringan dan dialog global, pada waktunya akan menjadi agenda bersama, karena hanya itulah akan diperoleh kekayaan pemikiran dan pengalaman global. Dalam batas-batas tertentu, desakrasia dapat menjadi jalan kembali global —bukan menuju masa lalu, tapi menuju keberlangsungan hidup yang lebih masuk akal dan membawa bahagia. Bagaimana memungkinkan hal ini? (bersambung). [Desanomia – 7.4.25 – TM]
One thought on “Desakrasia”