6 Mei 2025 12.00 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
“Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.” (penjelasan pasal 18 UUD’45, sebelum amandemen)
Pada bagian pertama (edisi desanomia.id., 7 April 2025), yang sebenarnya merupakan respon atas tulisan edisi 27 Maret yang membahas suatu gagasan tentang transformasi dari Demos ke Desa (lihat, Desanomia.id: Dari Demos ke Desa). Pembahasan telah menguraikan empat hal pokok, yakni terkait dengan desa, demokrasi, tujuan komunitas desa, dan musyawarah. Atas uraian tersebut, muncul pemikiran yang lebih jauh, yakni membuka kemungkinan dimana demokrasi, tidak lagi berumah dalam abstraksi, melainkan bermukim “di bumi” kongkrit, yakni desa, sebagai realitas sosial-ekologi setempat. Dalam ide tersebut, dibahas empat hal pokok, yakni: (1) Desakrasia sebagai upaya pemulihan makna dan posisi desa; (2) Desakrasia dalam kesadaran kompleksitas desa kekinian, termasuk potensi konflik dan ketimpangan relasi kuasa; (3) Desakrasia dalam padangan bahwa desa bukan utopia, suatu ruang hidup yang sarat nilai, tetapi juga penuh kemungkinan salah arah; dan (4) Desakrasia tidak berhenti pada pengakuan terhadap desa, tetapi menuntut rekonstruksi politik dari bawah ke atas. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana memungkinkan hal ini?
***
Segala kemungkinan politik yang bermakna senantiasa berpijak pada ruang bermukim dengan seluruh kebermukimannya. Pandangan ini sudah barang tentu bukan semata-mata tentang ruang geografis, melainkan ruang hidup yang dihayati, dirawat, dan diwarisi secara eksistensial. Bermukim bukanlah sekadar tindakan menetap, melainkan wujud keterlibatan yang dalam dengan tanah, air, bahasa, ingatan. Suatu relasi aktif yang membentuk identitas dan tata nilai, dan yang daripadanya segala bentuk (relasi) kuasa menemukan legitimasi. Dalam pengertian ini, desakrasia muncul bukan sebagai satu varian teknis dari demokrasi, tetapi sebagai pengungkapan politik dari kesadaran bermukim. Sebab, kekuasaan yang tidak tertambat pada ruang hidup, yang datang dari pusat ke pinggiran tanpa mengindahkan jejak komunitas yang bermukim, tak lain adalah ekspresi dari keterasingan struktural. Pada titiklah yang dapat mengatakan bahwa penjelasan pasal 18 UUD’45 (naskah sebelum amandemen), merupakan kesaksian atas kesadaran tersebut.
Pertanyaan politik yang paling mendasar, dalam kerangka ini, bukanlah “siapa yang memerintah?”, tetapi “siapa yang bermukim di sini, dan bagaimana mereka hidup bersama?”. Maka, desakrasia bukan tentang teknokrasi desa, melainkan tentang cara hidup yang mewujud dalam ritme sosio-ekologi setempat — yang tak dapat digantikan oleh rasionalitas prosedural atau model representasi konvensional. Demokrasi, dalam bentuk dominannya, mungkin dapat dikatakan sebagai pandangan yang mengandaikan demos sebagai entitas abstrak yang bisa digerakkan, dihitung, dan diwakili tanpa jejak kebermukiman. Namun dalam desa, demos adalah komunitas yang berumah di tanah, menyatu dengan musim, tradisi, dan alam. Bukan himpunan person semata, melainkan komunitas yang teranyam oleh relasi sosial dan kosmologi setempat.
Desa, dalam optik ini, sebagaimana teks konstitusi, bukanlah unit administratif. Suatu tata hidup bersama dengan tata moral, struktur produksi, musyawarah, dan logika keberlanjutannya sendiri. Desakrasia adalah pengakuan atas logika ini sebagai fondasi politik: bahwa tata kuasa yang sah tidak dapat dibangun di luar irama hidup yang telah berurat-akar dalam kebermukiman. Di sini, kekuasaan tidak hadir sebagai instrumen dominasi, melainkan sebagai tanggung jawab menjaga keberlangsungan ruang hidup. Kratos, dalam pengertian desakrasia, adalah pengaturan dengan “hikmat kebijaksanaan” demi kesinambungan air, tanah, komunitas, dan seluruh makhluk yang hidup bersama. Politik menjadi perpanjangan dari etika merawat, bukan sekadar (teknik) pengambilan keputusan.
Dengan demikian, kelembagaan dalam desakrasia tidak dinilai dari efisiensi prosedural, melainkan dari kemampuannya menyelaraskan ritme hidup komunitas, seperti musim tanam, siklus air, logika pertukaran lokal, dan kenangan kolektif. Namun, penting untuk disadari bahwa kesadaran bermukim bukanlah romantisme lokal. Akan tetapi juga mencakup kapasitas reflektif untuk mengenali ketimpangan dan dominasi yang bisa tumbuh di dalam komunitas itu sendiri. Dalam ruang hidup yang terorganisasi dengan berbasis tradisi, tetap ada potensi kooptasi, patriarki, dan feodalisme. Maka, desakrasia juga merupakan proyek kritis dari dalam: yang berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif terhadap siapa yang berbicara, siapa yang dibungkam, dan sejauh mana musyawarah sungguh-sungguh menjamin keterlibatan yang setara. Mungkin juga suatu jalan menjadikan sila keempat berwujud nyata.
Karena itu, kekuasaan dalam kerangka desakrasia harus terus-menerus diuji oleh mereka yang paling rentan: perempuan, pemuda, petani tak bertanah, warga adat marjinal. Politik bermukim bukan hanya tentang representasi, tetapi tentang pengakuan terhadap kerentanan, dan keberanian untuk menata ulang struktur keputusan demi keadilan relasional. Di sinilah desakrasia bertemu dengan gagasan subsidiaritas yang bermukim, yaitu bahwa kuasa politik tidak didistribusikan dari atas ke bawah, tetapi diakui berasal dari komunitas yang telah hidup bersama jauh sebelum negara hadir. Negara, dalam hal ini, tidak memberi ruang bagi desa, melainkan mengakui bahwa ruang itu telah ada dan memiliki hak asal-usul. Relasi negara dan desa harus dibangun dalam pengertian ini: sebagai pengakuan atas keberadaan hak sosio-ekologis komunitas untuk menentukan masa depan berdasarkan ritme dan nilai mereka sendiri.
Hak sosio-ekologi melampaui otonomi administratif; mencakup hak untuk menentukan produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya alam berdasarkan kosmologi lokal. Dengan demikian, desakrasia tidak menutup diri dari dunia, tetapi justru menawarkan fondasi bagi keterbukaan yang berakar. Bukan parokialisme, melainkan bentuk kosmopolitanisme dari bawah—yakni keterlibatan aktif dalam percakapan global dari posisi yang berpijak teguh pada tanah sendiri. Dalam dunia yang semakin kehilangan arah akibat krisis iklim, ketercerabutan sosial, dan eksklusi ekonomi, cara hidup bermukim justru menawarkan alternatif: hidup yang saling tergantung, yang merawat, dan yang berkelanjutan.
Maka, desakrasia membuka kemungkinan untuk membentuk jaringan komunitas bermukim yang memperjuangkan masa depan bersama dalam keberagaman nilai dan praktik hidup. Dalam kerangka ini politik yang bukan hanya tentang “hal memerintah”, tetapi yang berada bersama: dengan sesama manusia, dengan tanah, dan dengan sejarah. Dalam dunia yang tercerabut, desakrasia merupakan kesadaran bahwa untuk berpolitik secara adil, kita harus terlebih dahulu belajar “bermukim”. Tidak hanya secara geografis, tetapi secara eksistensial. Dan hanya dengan begitu, kuasa kembali menjadi penjaga hidup, bukan perusaknya. Dengan itu semua, hendak dikatakan di sini bahwa kemungkinan bagi desakrasia dimulai dari hadirnya kesadaran akan hal itu: kesadaran bermukim. [Desanomia – 6.5.25 – TM]