Sumber ilustrasi: unsplash
9 Mei 2025 10.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Pada edisi lalu [Dialog (9)], telah ditampilkan percakapan kedelapan, yakni tentang ciri kedelapan, yang digambarkan sebagai ciri dimana pengetahuan setempat (selanjutnya, tahupat) bertahan melalui keterbukaan dan keterhubungan dengan lingkungan. Tidak membeku dalam doktrin, melainkan berubah bersama dunia. Responsif terhadap perubahan, karena hidup di dalamnya.
Bagi mereka yang mengikuti percakapan sedari awal, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pengantar [Dialog (6), dan Dialog (8)], memang terdapat keterbatasan yang tidak terhindarikan, yakni (a) tampak bahwa percakapan menggunakan struktur bahasa dan argumentasi yang sama, sehingga jika tidak membaca dengan cermat, sangat mungkin akan tertangkap kesan bahwa sebenarnya yang disajikan adalah hal yang sama; (b) dominannya penggunaan diksi negasi, yang dengan demikian juga memperlihatkan bahwa percakapan seperti tidak punya kesanggupan untuk mengungkapkan dengan persis apa itu tahupat. Bahkan dengan metode negasi tersebut, membuat rasa bahasa yang tampil sebagai deskripsi menjadi terasa monoton. Dalam keadaan itulah percakapan akan kita lanjutkan, untuk mengungkapkan ciri kesembilan, yakni relasional. Apa yang hendak dipercakapkan adalah ciri tahupat yang memandang atau memahami realitas tidak terdiri atas objek terpisah, tapi jaringan relasi. Gunung bisa hidup, sungai bisa mendengar, batu bisa menyimpan pesan, dan hal-hal lainnya. Yang hidup dan yang mati, yang tampak dan yang gaib saling berkait, dalam suatu jalinan makna.
X:
Dalam tahupat, dunia tidak dipandang sebagai kumpulan objek yang berdiri sendiri dan netral, melainkan sebagai sebuah anyaman kehidupan yang ditenun dari relasi yang saling menghidupi. Tidak ada sesuatu yang hadir sendirian atau sepenuhnya terpisah; keberadaan selalu bersifat bersama, timbul dari saling ketergantungan yang tak henti membentuk dan dibentuk. Dalam pengertian ini, pengetahuan bukanlah hasil dari pemetaan objek-objek yang diisolasi, tetapi buah dari kehadiran yang terus-menerus dalam keterhubungan, baik dengan manusia lain (sesama manusia), dengan makhluk hidup lainnya, maupun dengan kekuatan-kekuatan yang tak selalu bisa dijelaskan oleh nalar rasional.
Pandangan semacam ini lahir dari fondasi ontologis yang relasional. Dunia tidak dibagi menjadi subjek dan objek, tidak terpecah antara manusia sebagai pengamat dan alam sebagai yang diamati. Sebaliknya, manusia hanyalah satu simpul dalam jaringan luas kehidupan, yang nilai dan perannya muncul dari bagaimana ia menjaga dan merawat keterhubungan itu. Di sinilah letak perbedaan paling mendasar dari cara berpikir modern: jika dalam kerangka modern dunia dijelaskan dengan memisahkan, dalam tahupat dunia dipahami dengan menyambung (relasi).
Sungai bukan sekadar saluran air, melainkan pembawa kehidupan, penanda arah, dan kadang, dalam cerita dan ritus, bahkan dianggap sebagai sosok pengasuh (Jw, pamomong). Gunung tidak hanya dilihat sebagai formasi geologis, tetapi sebagai penyangga dunia, tempat para leluhur bersemayam, atau pusat orientasi spiritual. Angin bisa menjadi pertanda datangnya musim, pembawa suara, atau bahkan wujud dari pesan yang tak terlihat. Semua itu bukan metafora sentimental, melainkan cara memahami realitas yang tidak bersandar pada jarak, tetapi pada kedekatan dan resonansi. Dalam sistem semacam ini, kehadiran sesuatu tidak hanya diukur dari bentuknya, tetapi dari caranya menyentuh dan disentuh dalam jaringan makna.
Pengetahuan tumbuh dari kepekaan (mengalami) terhadap gerak yang halus dan lambat: perubahan warna daun, arah burung terbang, pola suara di malam hari, atau reaksi hewan terhadap udara yang berubah. Semua itu adalah bentuk komunikasi dalam dunia yang hidup dan berbicara. Dunia tidak dibisukan menjadi data, melainkan diresapi sebagai mitra dalam keberadaan. Oleh karena itu, mengetahui sesuatu berarti bukan hanya memahami fungsinya, tetapi juga mengenali tempatnya dalam keseluruhan. Tentang bagaimana saling memberi dan menerima, bagaimana berperan menjaga keseimbangan yang lebih besar.
Konsekuensinya, relasi antara manusia dan dunia tidak dibentuk oleh dorongan untuk menguasai atau menundukkan, tetapi oleh rasa hormat dan kewajiban etis. Dalam pandangan ini, tanggung jawab bukan berasal dari kontrak sosial atau regulasi legal, tetapi dari kesadaran bahwa setiap tindakan terhadap yang lain adalah tindakan terhadap diri sendiri, karena tidak ada batas mutlak antara keduanya. Manusia bukan pusat dunia, melainkan bagian dari dunia yang lebih besar, dan pengetahuan adalah cara menjaga keseimbangan yang rapuh namun penting dalam jaringan itu.
Struktur ontologis seperti ini juga memberi implikasi terhadap cara berpikir dan cara bertindak. Tidak ada pemisahan yang tegas antara materi dan makna, antara fisik dan non-fisik, antara fakta dan nilai. Dunia adalah satu medan kehidupan yang berlapis-lapis, tempat dimensi simbolik dan dimensi praktis saling mengalir. Itulah sebabnya, tindakan kecil seperti menanam, memanen, atau berjalan di hutan, bisa memuat dimensi ritus, penghormatan, dan keterlibatan spiritual. Tidak ada aktivitas yang sepenuhnya teknis; semuanya terjadi dalam medan relasi, dan karena itu selalu bermakna secara eksistensial.
Dalam kerangka ini, pengetahuan tidak berkembang sebagai akumulasi informasi, tetapi sebagai pendalaman relasi. Seseorang dianggap lebih tahu bukan karena menguasai banyak fakta, tetapi karena lebih peka terhadap jaringan kehidupan. Karena mengetahui kapan harus berhenti, kapan harus memberi, dan kapan harus menerima. Itulah sebabnya, tahupat sering kali tidak hadir sebagai teori tertulis, melainkan sebagai sikap, sebagai cara berada, sebagai kebiasaan yang diwariskan dan dijalankan dalam konteks.
Ontologi relasional ini bukan bentuk primitivisme, sebagaimana mungkin yang sering diasumsikan dalam kerangka modern, melainkan bentuk kedalaman yang telah diuji oleh waktu, oleh perubahan musim, oleh ketahanan komunitas yang hidup dalam ketidakpastian. Bukan sistem tertutup, tetapi struktur terbuka yang terus-menerus diperbarui melalui perjumpaan dan pertukaran. Tidak mengklaim kebenaran tunggal, tetapi menawarkan cara melihat bahwa dunia ini tidak bisa sepenuhnya dipahami dengan memisahkan. Bahwa memahami adalah soal meresapi (mengalami) keterkaitan, dan bertindak adalah soal menjaga harmoni yang rapuh itu.
Dengan demikian, tahupat yang berpijak pada ontologi relasional bukan hanya tentang cara hidup masyarakat tertentu, tetapi juga mengajak kita untuk memikirkan ulang bagaimana kita, dalam dunia modern ini, telah memutus terlalu banyak hubungan demi efisiensi dan kontrol. Dalam dunia yang retak karena isolasi, atomisasi, dan alienasi, pendekatan relasional ini menghadirkan kemungkinan untuk menyambung kembali. Bukan hanya menyambung manusia dengan alam, tetapi juga menyambung antara tahu dan hidup, antara memahami dan merawat. Sebab di dunia seperti ini, pengetahuan sejati adalah bentuk dari kedewasaan etis, yakni kemampuan untuk hadir dalam dunia yang tak pernah bisa dimiliki, tetapi selalu bisa dirawat bersama.
Y:
Harus diakui bahwa uraian tersebut sangat kaya secara naratif dan sarat dengan nuansa spiritual-ekologis. Tapi, apakah dengan uraian itu membuatnya memiliki dasar yang kokoh untuk bisa disebut ilmu pengetahuan? Dari sinilah kita akan mulai memberikan catatan kritis, bahwa dari uraian tersebut terkandung sejumlah persoalan epistemik yang tidak bisa diabaikan jika dilihat melalui optik ilmu. Dalam upayanya membangun oposisi terhadap cara berpikir modern yang dikatakan memisah-pisahkan realitas, dapat dikatakan bahwa tahupat tampak telah terjebak dalam dikotomi baru yang menyederhanakan posisi ilmu sebagai semata-mata pemisah, pemetak, dan pengobjekkan. Ini adalah penyempitan yang tidak adil dan bahkan keliru secara historis maupun metodologis.
Argumen inti uraian di atas adalah pada satu gagasan besar: bahwa dunia adalah jaringan hubungan yang saling menghidupi, dan bahwa pengetahuan lahir dari keterlibatan langsung dengan dunia sebagai entitas yang hidup. Namun pandangan seperti ini cenderung mengaburkan perbedaan antara makna simbolik dan status faktual. Dalam ilmu pengetahuan, membedakan antara simbol dan gejala bukan berarti memutus relasi, tetapi memungkinkan pengetahuan tumbuh dari penyaringan yang kritis terhadap persepsi. Misalnya, melihat sungai sebagai sosok pengasuh adalah ekspresi simbolik yang bisa memperkuat etika lingkungan, tetapi tidak memberikan dasar konseptual atau prediktif terhadap dinamika hidrologi. Ketika semua hal dijadikan relasi yang bermakna secara spiritual dan etis, bagaimana kita membedakan antara penghayatan personal dengan pengetahuan yang bisa diuji oleh orang lain di luar konteks tersebut?
Lebih dalam, ontologi relasional dalam uraian tersebut mengganti satu bentuk absolutisme dengan yang lain. Jika sebelumnya ilmu dianggap terlalu objektif dan menghapus relasi, maka di sini relasi diidealkan sedemikian rupa hingga seolah-olah menjadi syarat mutlak bagi semua cara tahu. Ini menciptakan bentuk reduksionisme baru: bahwa hanya yang dialami dalam jaringan keterlibatan yang sah untuk disebut pengetahuan. Pandangan ini secara implisit menyingkirkan bentuk pengetahuan lain yang bekerja melalui abstraksi, analisis terpisah, dan pengamatan tidak langsung. Padahal dalam ilmu, pendekatan ini justru memungkinkan pemahaman yang melampaui horizon pengalaman individu, misalnya, memahami perubahan iklim global tidak mungkin dilakukan hanya melalui keterlibatan setempat, tetapi perlu pengumpulan data jangka panjang dan lintas wilayah yang tidak bisa dicapai melalui relasi personal dengan satu lanskap saja.
Masalah lainnya adalah glorifikasi atas kepekaan terhadap gerak “halus dan lambat” sebagai bentuk pengetahuan. Meskipun penting untuk membangun perhatian ekologis dan etis, hal ini tidak cukup untuk menjawab kompleksitas dunia saat ini yang membutuhkan intervensi cepat dan tepat berbasis pemodelan yang presisi. Reaksi terhadap perubahan cuaca, misalnya, tidak bisa hanya bergantung pada pembacaan arah angin atau warna langit; ia membutuhkan pemahaman sistemik tentang tekanan atmosfer, aliran jet stream, dan pola lautan. Di sinilah pentingnya pemisahan metodologis antara persepsi dan data. Ilmu tidak menolak keterhubungan, tetapi menempatkannya dalam kerangka kerja yang memungkinkan koreksi, prediksi, dan kolaborasi lintas konteks.
Sikap anti-dualisme dalam uraian di atas juga berpotensi merusak disiplin berpikir kritis. Dengan menyatakan bahwa tidak ada batas antara fakta dan nilai, antara fisik dan spiritual, tahupat seperti tengah merayakan integrasi total tanpa menyadari bahwa justru pemisahan sementara dan metodologis antara ranah-ranah inilah yang memungkinkan pengetahuan tumbuh dalam keragaman bentuknya. Ketika semua hal dijadikan medan tunggal tanpa distingsi, maka kita kehilangan kemampuan untuk bertanya secara spesifik: apa yang terjadi, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kita dapat memverifikasinya? Tanpa disiplin kategorisasi dan analisis, pengetahuan berubah menjadi intuisi kolektif yang tidak bisa dibedakan dari keyakinan atau mitos.
Kesan bahwa ilmu menyebabkan keterputusan, alienasi, dan krisis ekologis adalah bentuk tuduhan yang terlalu luas dan tidak reflektif. Justru banyak terobosan ilmu muncul dari keprihatinan terhadap dampak sistemik dari teknologi atau kebijakan ekonomi. Ilmu lingkungan, teknologi energi terbarukan, biologi konservasi, semuanya lahir dari keinginan untuk menyambung kembali apa yang telah terpisah. Ilmu pengetahuan tidak menolak keterhubungan, tetapi menawarkan alat untuk memahaminya dengan cermat dan bertanggung jawab. Jika tahupat mengajarkan pentingnya merawat, maka ilmu bertanya bagaimana kita bisa merawat dengan pemahaman yang lebih dalam dan teruji?
Dengan demikian, meski penuh dengan aspirasi etis dan spiritual yang layak dihargai, uraian di atas sebenarnya tidak mampu menjawab kebutuhan mendesak untuk menyusun bentuk pengetahuan yang tidak hanya hidup dalam konteks setempat, tetapi juga bisa dipertanggungjawabkan lintas ruang dan lintas komunitas. Hal itu dapat melemahkan posisi epistemik tahupat itu sendiri dengan tidak menyediakan mekanisme untuk validasi, evaluasi, dan penyaringan klaim. Alih-alih membenturkan relasi dan objek, atau keterlibatan dan abstraksi, seharusnya kita belajar membangun jembatan, karena memahami tidak harus selalu berarti menyatu, dan menjelaskan tidak selalu berarti menjauh. Dalam dunia yang saling terhubung dan rentan, kita membutuhkan pengetahuan yang mampu menyentuh sekaligus mengukur, yang dapat membangun kedekatan tanpa kehilangan ketelitian. Dan itulah pekerjaan ilmu, yang pada puncaknya, tidak jauh dari tujuan yang sama: memahami demi merawat. Apakah hal ini sulit dimengerti?
X:
Kritik ilmu pengetahuan terhadap ontologi relasional tahupat tampaknya sedang mengusung semangat yang luhur: kehati-hatian epistemik, verifikasi terbuka, dan disiplin kategorisasi demi kepastian konseptual. Namun, kita tetap tidak boleh lengah, bahwa di balik kemegahan argumentasinya, tersembunyi satu asumsi yang perlu dibongkar: bahwa dunia, agar bisa dimengerti, harus terlebih dahulu dipisahkan, didefinisikan, dan dikendalikan. Kritik itu tidak semata menyampaikan keberatan atas kelemahan metode, tetapi mempertahankan suatu sistem epistemik yang hanya mengakui kebenaran jika telah dikemas dalam bentuk tertentu, yakni proposisional, uji-banding, dan bebas konteks. Dalam cara pandang inilah letak masalahnya: ilmu tengah mempersoalkan bentuk pengetahuan lain karena tidak menyerupai dirinya sendiri.
Ketika kritik tersebut menyatakan bahwa melihat sungai sebagai sosok pengasuh tidak memberikan dasar konseptual atau prediktif terhadap dinamika hidrologi, atau dapat dikatakan sedang memaksakan satu jenis kegunaan pada simbol dan relasi yang dalam tahupat memiliki fungsi yang berbeda. Tentu saja sungai sebagai pengasuh bukanlah model hidrologis, dan tidak dimaksudkan sebagai itu. Tapi justru di sanalah kekuatannya, yakni membentuk etika ekologis, sebuah cara hidup yang tidak menjadikan sungai sekadar jalur air, tetapi sebagai bagian dari tatanan moral dan sosial. Ilmu bisa mengukur debit air, namun gagal menjelaskan mengapa masyarakat tidak mencemari sungai itu selama berabad-abad tanpa peraturan tertulis. Tahupat tidak mengklaim kemampuan prediksi ilmiah, tetapi menyimpan kecermatan keberlangsungan yang tidak dibangun dari kalkulasi, melainkan dari keterlibatan dan penghormatan.
Dalam hal ini, tahupat tidak berpretensi menggantikan ilmu pengetahuan. Tahupat menyadari posisinya, yang beroperasi dalam dimensi lain: bukan pada tataran sebab-akibat linear, tetapi pada jaringan makna dan resonansi yang membentuk laku hidup sehari-hari. Menganggap bahwa nilai epistemik hanya hadir jika sesuatu bisa diuji dari luar, adalah bentuk dominasi epistemologis. Bukankah justru pengalaman dan relasi adalah cara paling purba dan paling manusiawi dalam mengenal dunia? Tahupat tidak menyingkirkan disiplin berpikir, tetapi mengenali bahwa keterikatan, kepekaan, dan kesalingterhubungan adalah fondasi dari pengetahuan itu sendiri, dan bukan gangguan terhadapnya.
Kritik tentang potensi bahaya dari hilangnya distingsi metodologis antara fakta dan nilai, antara fisik dan spiritual, juga mencerminkan kekhawatiran khas ilmu yang takut kehilangan pegangan dalam dunia yang ambigu. Tapi bukankah realitas memang ambigu? Dan bukankah banyak kerusakan modern terjadi justru karena fakta-fakta yang dipisahkan dari nilai, teknologi yang terlepas dari kebijaksanaan, dan data yang dilepaskan dari makna hidup? Jika semua harus dijernihkan terlebih dahulu melalui pemisahan, kapan kita memberi tempat bagi pemahaman yang menyeluruh? Dunia tidak selalu hadir dalam bentuk bagian-bagian yang dapat dibedah, dan tahupat memahami hal ini secara intuitif. Tahupat menolak memisah bukan karena malas berpikir, tetapi karena tahu bahwa pemisahan pun adalah pilihan, dan tidak selalu merupakan pilihan yang paling tepat.
Kritik terhadap kepekaan terhadap gerak lambat sebagai bentuk pengetahuan pun terasa sempit jika dilihat dari kebutuhan dunia saat ini. Bahwa dunia membutuhkan intervensi cepat tidak bisa dipungkiri, tetapi apakah semua intervensi cepat telah membawa hasil yang bijak? Reaksi cepat tanpa kebijaksanaan hanya mempercepat kerusakan. Kepekaan terhadap waktu lambat tidak berarti pasif, tetapi mengajarkan tata waktu etis, bahwa ada ritme hidup yang tidak bisa dipercepat tanpa konsekuensi. Sebagian dari kita mungkin menilai bahwa ilmu sangat piawai mengenali sinyal, tetapi tahupat mengajarkan kapan harus menjawab sinyal itu, dan kapan justru harus menunggu. Di sinilah letak dimensi normatif yang tidak bisa dibubarkan ke dalam rumus.
Sebagaimana telah disampaikan beberapa kali, anggapan bahwa tahupat tidak menyediakan mekanisme validasi, evaluasi, dan penyaringan klaim menunjukkan kegagalan dalam mengenali bahwa validasi tidak hanya dilakukan melalui prosedur statistik atau peer-review. Lagi, hendak ditekankan, dalam tahupat, validasi terjadi melalui kehidupan itu sendiri: melalui musim yang terus datang, panen yang berhasil atau gagal, hubungan yang harmonis atau rusak. Koreksi terjadi di tubuh, di ladang, di hutan, bukan di jurnal. Tidak dicetak, tetapi dijalani dan dialami. Jika pengetahuan tidak bisa bertahan di tengah dunia yang terus berubah, tentu akan ditinggalkan, digantikan, atau dilupakan. Inilah bentuk validasi yang lebih hidup daripada pengesahan simbolik.
Tahupat memang tidak bisa dibawa begitu saja ke forum ilmiah yang menuntut struktur proposisional. Tapi memang tahupat tidak berniat hadir di sana sebagai pesaing metodologis. Hadir sebagai pengingat bahwa tidak semua yang kita sebut “pengetahuan” lahir dari jarak, keraguan, dan isolasi konsep. Ada pengetahuan yang tumbuh dari kedekatan, dari ketekunan dalam relasi, dari kesediaan untuk tidak tahu dulu agar bisa mendengar dunia bicara dalam bahasanya sendiri. Pengetahuan semacam ini tidak mencari prediksi, tetapi keberlangsungan. Tidak mengejar kontrol, tetapi keharmonisan. Dan karena itu, bukan jawaban bagi semua persoalan, tetapi bagian penting dari kebijaksanaan kolektif manusia untuk hidup bersama yang lain—manusia maupun bukan.
Dalam dunia yang dibentuk oleh krisis ekologis, sosial, dan epistemik, yang kita butuhkan bukan hanya model yang bisa memprediksi, tetapi cara hidup yang bisa menghidupi. Tahupat, dengan segala keterbatasannya, tidak menawarkan supremasi, tetapi menyodorkan alternatif: bahwa mungkin ada cara lain untuk mengetahui, yang tidak bertentangan dengan sains, tetapi menyeimbangkannya. Bahwa mungkin, mengetahui pun harus diawali dengan merawat. Dan justru di sana, pengetahuan menemukan maknanya yang terdalam. Dalam konteks ini, tahupat setuju dan memberi apresiasi ketika ilmu diakhir kritiknya menyatakan: “… tujuan yang sama: memahami demi merawat.”
Y:
Kritik balik yang dilancarkan dari sudut pandang tahupat terhadap pendekatan ilmiah dalam memahami realitas, khususnya dalam kaitannya dengan relasi ontologis manusia dengan dunia, menyoroti kelemahan-kelemahan epistemik ilmu pengetahuan dalam menangkap kepekaan hidup, dimensi etis, serta kedalaman relasional manusia dan alam. Bagi ilmu, kritik yang demikian itu, mudah jatuh pada romantisasi dan idealisasi bentuk pengetahuan yang tidak menyediakan struktur konseptual yang memungkinkan pembelajaran kolektif, penyaringan kesalahan sistemik, dan pertanggungjawaban lintas konteks. Alih-alih menjadi koreksi yang menantang ilmu agar lebih reflektif, kritik tersebut justru mengukuhkan fragmentasi epistemik yang memisahkan dua dunia secara dogmatis.
Ketika tahupat menyatakan bahwa dirinya tidak berpretensi menjadi alternatif atau pesaing metodologis bagi ilmu, tetapi hadir sebagai “pengingat”, maka yang perlu dipertanyakan dari sisi ilmu adalah: pengingat terhadap apa, dan dengan mekanisme validasi seperti apa? Harus senantiasa diingat bahwa ilmu lahir dari keprihatinan terhadap batas-batas persepsi dan intuisi. Maka ilmu dalam periode yang panjang berusaha merumuskan cara untuk menguji klaim secara terbuka, memastikan bahwa pengalaman individual tidak serta-merta dianggap universal, dan menyusun metode agar koreksi bisa terjadi bukan hanya dalam satu siklus panen, tetapi dalam sejarah pengetahuan manusia. Jika tahupat hanya “dijalani”, lalu bagaimana membedakan antara praktik yang relevan dan yang tidak, antara keyakinan kolektif dan ilusi kolektif?
Di sinilah kritik balik tahupat tampak mereduksi ilmu menjadi sekadar kalkulasi teknis yang membekukan dunia. Padahal, ilmu pengetahuan bukanlah sekadar instrumen untuk memetakan dan mengukur. Akan tetapi adalah alat untuk mempertanyakan keyakinan, termasuk terhadap dirinya sendiri. Tidak semua distingsi yang dibuat ilmu bertujuan untuk mendominasi. Banyak di antaranya muncul sebagai hasil dari kebutuhan untuk menjaga agar pengetahuan tidak jatuh pada dogma baru. Ketika tahupat menolak distingsi antara fakta dan nilai, antara dunia spiritual dan material, apakah ini bentuk kebijaksanaan atau ketakutan terhadap keraguan metodologis?
Lebih dari itu, klaim bahwa validasi dalam tahupat terjadi di ladang, di tubuh, dan di relasi sosial memang patut dihargai sebagai bentuk kelekatan pada kenyataan hidup. Tetapi perlu diakui pula bahwa mekanisme ini tidak selalu menyaring kesalahan secara efisien atau adil. Dalam sejarah masyarakat, banyak praktik yang bertahan bukan karena terbukti benar, tetapi karena dilindungi oleh otoritas adat, tabu sosial, atau struktur kekuasaan yang tidak bisa dipertanyakan. Dalam dunia seperti itu, “yang dijalani” tidak selalu berarti “yang tepat”. Oleh sebab itulah ilmu muncul justru sebagai respon terhadap kerentanan manusia terhadap kepastian palsu dan pengulangan kesalahan.
Tahupat dalam penjelasannya juga terkesan terlalu percaya diri dalam mengklaim bahwa bentuk relasi yang dijaganya otomatis menghasilkan keberlanjutan. Tetapi apakah keberlanjutan selalu sejalan dengan relasionalitas? Apakah semua masyarakat setempat selalu berhasil menjaga ekosistemnya hanya karena mereka mempersonifikasi sungai atau gunung? Bukti empiris menunjukkan bahwa bentuk penghormatan terhadap alam tidak selalu mencegah eksploitasi jika tidak didukung oleh analisis sistemik tentang kapasitas lingkungan, tekanan populasi, atau kebutuhan sumber daya. Dengan kata lain, etika tidak cukup jika tidak dibarengi oleh pengukuran dan perencanaan yang terstruktur.
Kritik bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dunia dalam bagian-bagian juga perlu dikoreksi. Ilmu tidak menolak totalitas, yang ditolak adalah klaim totalitas yang tidak bisa dibuktikan. Apa yang diinginkan ilmu adalah membiarkan bagian-bagian dibaca secara sistematik agar pemahaman tentang keseluruhan tidak bersifat spekulatif. Ketika tahupat menempatkan dirinya sebagai sistem yang “tidak memisah”, menolak proses analisis sebagai metode untuk melihat ketidakseimbangan, ketidaktahuan, atau ketimpangan yang tersembunyi dalam relasi yang kelihatan harmonis. Dunia yang tampak utuh belum tentu bebas dari konflik laten. Di sinilah pemisahan menjadi langkah etis, bukan teknokratis.
Kita perlu ditekankan bahwa ketika tahupat menolak dikonversi menjadi proposisi karena ingin menjaga kedalaman relasi dan resonansi, kita melihat ini sebagai bentuk kesulitan komunikasi lintas sistem. Tanpa artikulasi eksplisit, bagaimana tahupat bisa didialogkan secara setara dengan pengetahuan lain? Bagaimana bisa menjawab tantangan global yang memerlukan koordinasi dan kebijakan lintas budaya, jika menolak untuk diuji atau diterjemahkan dalam bahasa yang bisa dipertanggungjawabkan bersama? Di sinilah ironi muncul: dalam upaya menjaga makna, tahupat justru berisiko terisolasi dari wacana yang lebih luas.
Akhirnya ilmu pengetahuan tidak anti terhadap relasi, tidak anti terhadap nilai, dan tidak buta terhadap spiritualitas. Tetapi ilmu tetap akan mengusulkan bahwa agar semua itu bisa diolah bersama, kita perlu metode, keterbukaan terhadap kritik, dan kerelaan untuk meragukan apa yang telah lama dianggap sah. Bukan semua yang dihormati itu layak diteruskan. Bukan semua yang dijalani itu bebas dari kekeliruan. Dalam dunia yang krisisnya melampaui skala setempat, kita tidak cukup hanya dengan pengetahuan yang menghidupi; kita butuh pengetahuan yang juga mampu mengoreksi diri dan menjangkau yang lain secara argumentatif, bukan hanya afektif. Yang jelas ilmu pengetahuan tidak bisa disingkirkan atas nama kearifan. Dalam kerangka ini, ilmu berpandangan bahwa untuk agar masing-masing pihak bisa bermakna, maka pertemuan perliu diselenggarakan. Namun, pertemuan keduanya membutuhkan kesediaan untuk diuji, bukan hanya untuk dipahami.
Z:
Kita memang akui, bahwa percakapan yang berlangsung, tidak saja membuka sisi-sisi yang tersembunyi tentang apa yang dibayangkan dan apa yang dihayati. Namun, dibalik itu, kita dibuatnya makin jelas bahwa dalam daling kritik antara tahupat dan pengetahuan akademi, khususnya ilmu pengetahuan, telah membuka lanskap refleksi epistemologis yang penting: bagaimana cara kita memahami dunia, dan bagaimana cara itu diakui sebagai pengetahuan yang sah. Di satu sisi, tahupat menekankan kedekatan, pengalaman, keterhubungan, dan etika keberlanjutan. Di sisi lain, ilmu mengedepankan keterbukaan terhadap kritik, sistematisasi, validasi lintas konteks, dan kemampuan generalisasi. Masing-masing membawa daya epistemik yang khas, sekaligus menunjukkan titik-titik ketegangan yang mencerminkan bukan sekadar perbedaan teknik, tetapi perbedaan dasar dalam ontologi dan epistemologi. Inilah yang terus nampak dalam percakapan keduanya.
Substansi dari kritik tahupat terhadap ilmu pengetahuan modern terletak pada apa yang dianggapnya sebagai ketidaksediaan ilmu untuk mengakui bahwa dunia tidak selalu hadir dalam bentuk yang bisa diukur atau dipecah menjadi data netral. Tahupat menegaskan bahwa mengetahui bukan hanya perkara menjelaskan, tetapi juga mengalami dan merawat. Pandangan ini terus diulang, bahkan mungkin sejak dialog dimula. Tahupat mengklaim bahwa pihaknya tumbuh dari relasi, bukan dari jarak; dari partisipasi, bukan dari observasi objektif. Dalam sistem pengetahuan ini, sungai bukan sekadar aliran air, melainkan bagian dari jaringan kehidupan, dan gunung bukan sekadar massa batu, melainkan penjaga keseimbangan moral dan ekologis komunitas. Maka, ketika ilmu menuntut artikulasi dalam bentuk proposisi yang bisa diuji secara bebas, tahupat justru melihat tuntutan itu sebagai bentuk kekerasan epistemik: keinginan untuk mencabut makna dari konteksnya.
Sebaliknya, substansi dari kritik ilmu pengetahuan terhadap tahupat berkisar pada pertanyaan tentang pertanggungjawaban epistemik. Sains menolak bahwa pengalaman terbatas dan kelekatan emosional sudah cukup menjadi dasar bagi kebenaran. Ilmu meminta bahwa setiap klaim, betapapun dihormati secara setempat, harus bisa dipertanyakan, dibandingkan, dan diuji dalam sistem yang dapat diakses oleh siapa pun. Jika pengetahuan tidak membuka dirinya terhadap revisi, maka akan berisiko menjadi dogma. Jika hanya sah bagi yang mengalaminya, maka tidak bisa menjawab masalah-masalah global yang melintasi batas komunitas dan budaya. Pernyataan ini dapat dikatakan sebagai pernyataan yang paling konsisten diucappkan oleh ilmu. Di sini, ilmu mempertahankan prosedurnya bukan sebagai bentuk dominasi, melainkan sebagai sarana menjaga pengetahuan dari kekeliruan kolektif dan bias yang tidak terlihat dari dalam.
Bagaimana posisi kita terhadap dua kutub tersebut? Kita tentu bisa mengamati dan mungkin juga bisa merasakan inti ketegangan keduanya. Dari situ, kita menyadari bahwa kedua posisi memiliki kelebihan yang otentik, sekaligus keterbatasan yang perlu diakui. Tahupat, dengan seluruh kedekatannya terhadap kehidupan, menyimpan kekuatan dalam menjembatani manusia dan lingkungan melalui cara tahu yang penuh empati dan tanggung jawab. Namun kekuatan ini sering tidak dikembangkan sebagai sistem terbuka. Kita merasakan bahwa tahupat sulit untuk diperluas tanpa kehilangan konteks, dan sering tidak memiliki mekanisme formal untuk menyaring klaim yang keliru atau usang. Sebaliknya, ilmu memberikan kerangka yang tangguh untuk membedakan antara observasi dan interpretasi, antara korelasi dan sebab-akibat, antara kesan dan fakta. Tapi dalam kekuatannya ini, ilmu juga sering kehilangan kedalaman makna dan tanggung jawab etis terhadap dunia yang dipelajari. Dunia menjadi data, bukan lagi mitra.
Kritik dari masing-masing pihak, jika tidak ditanggapi dengan niat saling memahami, bisa mengarah pada polarisasi: ilmu dianggap dingin dan arogan, sementara tahupat dianggap romantik dan anti-analitik. Kita tidak berusaha menengahi dengan sekadar mengambil posisi tengah, tetapi mengusulkan pembacaan ulang terhadap struktur saling kritik itu sendiri. Yang diperlukan bukan hanya dialog metodologis, tetapi pertanyaan filosofis yang lebih dalam: apa yang membuat suatu pengetahuan layak dipercaya? Apakah karena berhasil dipraktikkan? Karena dapat diuji? Karena dijalani dengan hati-hati? Atau karena terbuka terhadap koreksi?
Dari sini, kita dapat menawarkan dua langkah. Pertama, tahupat perlu mengembangkan mekanisme refleksi internal yang memungkinkan untuk diperiksa tanpa merasa diserang. Menolak uji kritik atas nama “pengalaman yang tak terjangkau” bisa jadi menjadi bentuk proteksi yang tak sehat. Tradisi pun bisa keliru, dan pengulangan tidak selalu berarti kebijaksanaan. Kedua, ilmu perlu lebih radikal dalam mengakui bahwa objektivitas tidak netral, bahwa setiap cara tahu membawa nilai, dan bahwa ketelitian tidak cukup tanpa tanggung jawab etis terhadap relasi yang dibentuknya. Menerjemahkan makna relasional sebagai “tak berguna secara konseptual” adalah cara membungkam bentuk kebijaksanaan yang tidak cocok dengan kalkulasi.
Dengan demikian, posisi kita tidak menawarkan sintesis semu, melainkan ruang dialog epistemik yang menolak absolutisme keduanya. Dunia membutuhkan sistem pengetahuan yang mampu berpikir dalam keragaman cara hidup, sekaligus tetap berpegang pada tanggung jawab publik atas apa yang dianggap benar. Pengetahuan yang bertahan bukan hanya yang bisa diuji secara empiris, tetapi juga yang bisa menjaga dunia agar tetap layak dihuni. Dan itu hanya mungkin jika kita bersedia menerima bahwa kebenaran tidak selalu lahir dari kemenangan satu metode, tetapi dari keberanian untuk mempertanyakan batas-batas metode itu sendiri, secara terbuka, jujur, dan terus-menerus. [Desanomia – 9.5.25 – TM]
One thought on “Dialog (10)”