Dialog (7)

sumber ilustrasi: unsplash

6 Mei 2025 19.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Jika dalam edisi lalu [Dialog (6)], telah ditampilkan percakapan kelima, yakni tentang ciri naratif – kebenaran tidak dikatakan, tetapi dihayati dan diceritakan. Ia hadir dalam: Cerita, mitos, lagu, tarian, simbol dan bahasa kias. Bahasa bukan alat representasi, tapi media relasi dan pemaknaan. Pada edisi ini, percakapan berlanjut pada ciri keenam, yakni plural. Dalam ciri ini, tidak ada satu suara yang dominan. Pengetahuan setempat mengakui: Banyak suara dan makna hidup berdampingan. Interpretasi berkembang sesuai perubahan zaman dan kebutuhan komunitas.

Beginilah percakapan umum atas masalah tersebut:

X:

Pengetahuan setempat tidak disusun di atas kerangka tunggal yang mengikat makna secara final, melainkan tumbuh melalui berbagai jalur artikulasi yang saling berdampingan. Di dalamnya, satu simbol bisa memunculkan beragam tafsir, dan satu peristiwa bisa diurai dengan berbagai nada suara. Apa yang menjadi dasar epistemologis dari pengetahuan semacam ini adalah pengakuan bahwa dunia yang dialami manusia bukan realitas yang seragam, dan karena itu tidak dapat direpresentasikan dengan satu narasi tunggal. Dalam kerangka ini, pluralitas dalam arti multivokalitas dan polisemi bukan hambatan bagi konsistensi pengetahuan, tetapi syarat agar pengetahuan tetap hidup dan relevan dalam ruang kehidupan yang selalu berlapis dan berubah.

Multivokalitas berarti bahwa pengetahuan tidak berasal dari satu pusat narasi. Tidak ada posisi epistemik yang memiliki hak istimewa untuk mengklaim kebenaran mutlak atas suatu pengalaman. Sebaliknya, setiap anggota komunitas memiliki kapasitas untuk memberikan suaranya terhadap apa yang mereka ketahui, alami, dan warisi. Suara seorang petani tua, misalnya, tidak dengan sendirinya menghapus pengalaman seorang pemuda yang baru belajar. Kedua suara itu, meskipun berbeda nada dan orientasi, dapat berdampingan, saling mengisi, atau saling menantang. Di sinilah multivokalitas menciptakan ruang epistemik yang bukan hanya demokratis, tetapi juga produktif, karena makna tidak ditetapkan dari atas, melainkan terbentuk dari interaksi horizontal antarwarga pengetahuan.

Pengetahuan setempat tidak menuntut semua orang sepakat atas satu tafsir. Justru keberagaman interpretasi yang lahir dari perbedaan posisi, pengalaman, dan kepentingan dianggap sebagai cermin dari kelengkapan pandangan terhadap dunia. Sebuah cerita leluhur, misalnya, mungkin dipahami sebagai pelajaran moral oleh sebagian, sebagai sejarah ekologi oleh yang lain, dan sebagai kisah identitas kolektif oleh kelompok lainnya. Semua tafsir ini memiliki tempat, bukan karena mereka saling menyetujui, tetapi karena mereka sama-sama berakar pada keterlibatan yang jujur dan mendalam dalam kehidupan komunitas. Maka yang dipertahankan bukan uniformitas makna, melainkan kontinuitas dialog.

Sementara itu, sifat polisemik memberi ruang bagi objek, praktik, atau simbol untuk membawa lebih dari satu makna sekaligus. Dalam struktur pengetahuan modern, polisemi sering dilihat sebagai kekaburan atau ketidakjelasan konsep. Namun dalam pengetahuan setempat, polisemi adalah sumber ketahanan makna. Karena satu tanda bisa memanggil beragam resonansi, ia mampu menjembatani lintas waktu dan lintas pengalaman. Sebuah tarian panen tidak sekadar ritual estetis; ia bisa dimaknai sekaligus sebagai alat pendidikan generasi muda, bentuk penghormatan kepada tanah, dan cara untuk menyatukan komunitas. Tak satu pun makna itu menghapus yang lain. Justru dalam keberadaannya yang saling berdampingan, simbol menjadi kaya, dan pengetahuan menjadi dalam.

Multivokalitas dan polisemi ini juga memiliki fungsi penting dalam menjaga kelangsungan pengetahuan. Karena tidak dibatasi oleh satu otoritas tunggal atau sistem makna yang kaku, pengetahuan setempat tetap terbuka terhadap perubahan. Ketika sebuah cerita ditafsirkan ulang oleh generasi baru, atau ketika simbol lama digunakan dalam konteks sosial yang berbeda, tidak berarti bahwa pengetahuan tersebut kehilangan identitasnya. Yang terjadi adalah perluasan jangkauan makna, yang tetap menyambung pada akar, tetapi menjalar ke arah yang baru. Dalam hal ini, pengetahuan setempat memperlihatkan struktur yang lentur namun konsisten—ia berubah tanpa melepaskan dirinya dari komunitas maknanya.

Penting dicatat bahwa multivokalitas bukan relativisme mutlak. Ada batas-batas diskursif yang dijaga oleh komunitas melalui norma sosial, etika kolektif, dan praktik intersubjektif. Sebuah tafsir tidak serta-merta diterima hanya karena ia baru atau berbeda. Ia harus menyentuh pengalaman bersama, berbicara dalam bahasa komunitas, dan menunjukkan keterhubungan dengan nilai-nilai yang diakui. Maka pengetahuan setempat tidak bergerak liar, tetapi melalui proses seleksi sosial yang tidak selalu formal, namun sangat efektif dalam menyaring dan menyusun kembali makna. Otoritas dalam sistem ini bukan monopoli institusi, melainkan hasil dari kepercayaan yang dibangun dalam relasi sosial.

Dengan demikian, multivokalitas dan polisemi bukan bentuk kelemahan, melainkan ciri dari rasionalitas yang mengakui dunia sebagai medan yang kompleks. Dunia tidak hadir dalam satu dimensi, dan pengetahuan pun tidak bisa menyederhanakannya tanpa kehilangan kedalaman. Dalam komunitas yang mempraktikkan pengetahuan setempat, kebenaran tidak dirumuskan dalam bentuk akhir, tetapi dipelihara dalam dinamika pertukaran, dalam ketegangan yang produktif antara suara dan tafsir, antara simbol dan konteks. Itulah sebabnya pengetahuan setempat terus bertahan, bukan karena menolak perubahan, melainkan karena terus mengundang perubahan dalam kerangka makna yang terus dinegosiasikan. Keberagamannya bukan disatukan oleh definisi, tetapi oleh komitmen untuk tetap mendengar dan memberi ruang bagi suara yang lain. Di sinilah letak kekuatannya—pada kemampuannya untuk menyambut kenyataan yang majemuk tanpa memaksakan keseragaman yang menindas.

Y:

Bila pengetahuan setempat dianggap sah karena mampu menampung multivokalitas dan polisemi, maka dari sudut pandang ilmu, segera muncul pertanyaan mendasar: sampai di mana kelenturan makna dapat tetap dipertahankan tanpa mengorbankan kejelasan dan koherensi konseptual? Dalam tradisi ilmiah, kriteria utama bagi validitas pengetahuan tidak hanya terletak pada daya jangkaunya terhadap ragam pengalaman, melainkan pada kapasitasnya untuk menjelaskan fenomena secara konsisten, menghindari ambiguitas yang tidak produktif, dan membangun argumen yang dapat dipertanggungjawabkan di luar konteks asalnya. Mungkin ungkapan ini terasa klasik dan seperti terus mengulang-ulang apa yang telah sering diucapkan. Namun begitulah substansinya.

Multivokalitas, sebagaimana dipahami dalam kerangka pengetahuan setempat, memang memberikan ruang bagi keragaman suara. Akan tetapi, dari perspektif ilmu, keberagaman semacam itu perlu diatur dalam suatu struktur kategorisasi yang memungkinkan distingsi yang jelas antara deskripsi, interpretasi, dan spekulasi. Dalam banyak kasus, ketika semua suara memiliki kedudukan yang sama, maka sulit untuk menentukan parameter yang digunakan untuk menilai validitas suatu klaim. Apakah semua tafsir, hanya karena lahir dari keterlibatan, dapat diterima sebagai pengetahuan? Di sinilah sains memberi keberatan serius: partisipasi tidak serta-merta menjamin kebenaran. Seseorang bisa terlibat sangat dalam dalam suatu praktik dan tetap menghasilkan kesimpulan yang keliru atau menyesatkan.

Lebih lanjut, ide bahwa makna tidak perlu ditetapkan secara final juga membuka persoalan serius dalam hal akumulasi pengetahuan. Dalam sistem ilmiah, sebuah teori atau model dikembangkan bukan untuk mempertahankan fleksibilitas makna, tetapi untuk memperkuat kapasitas prediktif dan eksplanatoris. Pengetahuan yang terlalu longgar dalam batas interpretasinya cenderung sulit dikembangkan secara progresif. Apabila satu simbol bisa ditafsirkan secara tak terbatas, maka akan sulit membangun generalisasi atau pengujian lintas kasus yang dapat diuji secara sistematis. Dari perspektif ini, polifoni epistemik tanpa struktur metodologis hanya akan menghasilkan ruang resonansi yang kabur dan tak dapat dikalibrasi.

Dalam praktik keilmuan, ambiguasi makna atau polisemi umumnya dianggap sebagai masalah yang perlu diselesaikan, bukan dirayakan. Ambiguitas dapat digunakan dalam tahap awal eksplorasi ide, tetapi tidak boleh menjadi prinsip kerja utama dalam membangun pengetahuan. Jika satu simbol bisa mengandung makna religius, ekologis, politis, dan sosial secara simultan tanpa batas evaluatif, maka bagaimana kita bisa menentukan dampaknya terhadap tindakan nyata atau kebijakan? Ilmu menuntut bahwa sebuah simbol, metode, atau proposisi harus mengarah pada efek yang dapat diuji dan tidak sekadar berfungsi sebagai wadah berbagai kemungkinan naratif.

Kritik yang lebih mendasar datang dari kebutuhan akan objektivitas dan intersubjektivitas. Dalam sains, pengetahuan harus dapat diakses, direplikasi, dan diuji oleh siapa pun tanpa tergantung pada afiliasi kultural atau latar pengalaman tertentu. Ketika pengetahuan ditentukan oleh keterlibatan dalam komunitas dan oleh jaringan makna internal yang tidak bisa dijelaskan secara eksternal, maka itu bukan pengetahuan yang bisa dipertukarkan secara bebas dalam arena ilmiah. Pengetahuan yang hanya berlaku di dalam, dan tidak bisa dibawa ke luar tanpa kehilangan makna, kehilangan syarat dasar untuk disebut universal. Dari sudut pandang ini, sistem yang terlalu menekankan kontekstualitas dan keragaman suara tanpa menawarkan mekanisme sintesis konseptual cenderung tertutup dan tidak berkembang secara trans-komunitas.

Mungkin ada anggapan bahwa pandangan tersebut merupakan bentuk dari penolakan. Perlu ditegaskan di sini bahwa ilmu tidak menolak dialog atau perbedaan tafsir, tetapi ia menuntut sistem seleksi dan rasionalisasi. Sebuah narasi atau makna simbolik hanya dapat diterima sebagai pengetahuan ilmiah jika dapat dikritik, diuji, dan dibandingkan. Dalam pengetahuan setempat yang sangat menghargai kontinuitas dan kesetiaan terhadap akar komunitas, sering kali tidak ada insentif epistemik untuk mempertanyakan atau menggugat narasi yang sudah mapan, apalagi jika narasi itu disakralkan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa multivokalitas hanya menyamarkan kekakuan otoritas setempat dalam bentuk pluralitas semu, di mana suara yang berbeda secara ideologis justru sulit menembus batas wacana. Ilmu menyingkap yang tersembunyi.

Sebagai tambahan, dalam sistem ilmiah, konsep validitas tidak bergantung pada seberapa banyak makna dapat dimuat dalam satu entitas, tetapi pada seberapa tajam satu entitas dapat mendukung penalaran yang akurat. Sains lebih mengutamakan distingsi daripada jalinan makna yang tumpang tindih. Hal ini bukan karena sains tidak peka terhadap kompleksitas, tetapi karena menyusun kompleksitas itu ke dalam sistem yang dapat dibedah, diperiksa, dan digunakan untuk memahami gejala serupa di tempat lain. Dalam pendekatan yang terlalu mengandalkan polisemi, pengetahuan berisiko menjadi fragmen-fragmen naratif yang tidak pernah bertemu dalam sintesis konseptual yang dapat menggerakkan pemahaman bersama yang lebih luas.

Dengan demikian, dari sudut pandang epistemologi ilmiah, pengetahuan yang terlalu menekankan multivokalitas dan polisemi menghadapi sejumlah persoalan fundamental, yakni berisiko kehilangan ketajaman analisis, sulit dikembangkan secara sistematis, dan minim kapasitas untuk diuji lintas konteks. Fleksibilitas makna yang diklaim sebagai keunggulan dapat berubah menjadi kabut epistemik yang menyulitkan kolaborasi, akumulasi pengetahuan, dan pengambilan keputusan berbasis data. Dalam pandangan ilmu pengetahuan, bukan semua suara yang layak didengar itu dapat dianggap benar; dan bukan semua makna yang mungkin itu layak diterima tanpa syarat. Di sinilah prinsip seleksi ilmiah bekerja. Sekali lagi bukan untuk menyingkirkan keragaman, tetapi untuk menyusun keragaman ke dalam bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, lintas waktu, dan lintas budaya.

X:

Sebagaimana uraian dalam percakapan sebelumnya, yang disajikan adalah argumentasi tentang ciri yang tengah dibahas. Dalam hal ini tentang kepluralan, yang merujuk pada multivokalitas dan polisemi. Sebenarnya, ketika argumentasi diajukan, telah dalam kesadaran bahwa metode ini adalah metode ilmu – yang dalam segala hal menuntut kejelasan dan definisi yang ketat dan persis. Dalam kesadaran itu pula diakui adanya keterbatasan atau bahkan jebakan-jebakan, terutama oleh karena pengetahuan setempat tidak memiliki kebiasaan memperdebatkan suatu makna yang seharusnya diketahui dengan cara dialami. Salah satu jebakan yang utama adalah terlihat seperti sedang berkata tentang hal yang sama, kendati sesungguhnya yang disajikan adalah topik yang sama sekali berbeda. Demikian pula dengan uraian dalam percakapan ini.

Mengapa dikatakan demikian? Oleh karena respon ilmu, juga tidak banyak bergeser dari ungkapan keberatan pada percakapan sebelumnya. Apa yang bisa dilihat adalah bahwa kritik ilmu, terhadap ciri multivokalitas dan polisemi, bahwa kritik tersebut seperti menyajikan kritik sama untuk hal yang berbeda. Uraian berbeda, direspon dengan cara yang sama. Dan persis itulah yang telah pula disampaikan dalam percakapan sebelumnya. Bahwa pengetahuan setempat sering kali menyampaikan keprihatinan metodologis yang sama, yang terlihat wajar, yakni bagaimana mungkin suatu sistem pengetahuan dianggap sah jika tidak memiliki mekanisme distingsi yang ketat, jika makna dibiarkan terbuka tanpa batas, dan jika tafsir yang beragam tidak disaring dalam kerangka verifikasi universal? Hendak kembali ditegaskan bahwa di balik keprihatinan ini tersembunyi suatu pandangan epistemologis yang secara diam-diam mengasumsikan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin jika dilepaskan dari keberanekaragaman pengalaman manusia. Asumsi inilah yang perlu diurai secara kritis.

Sains modern berkembang dengan keyakinan bahwa kompleksitas dunia harus disederhanakan terlebih dahulu agar dapat dipahami. Penyederhanaan ini diwujudkan melalui abstraksi, kategorisasi, dan generalisasi. Apa yang harus disadari secara hati-hati adalah bahwa pendekatan ini sesungguhnya juga membentuk suatu jenis kebenaran yang tidak lagi berbicara dalam bahasa manusia hidup. Kebenaran yang dianggap netral, impersonal, dan sering kali tidak akomodatif terhadap makna yang berakar pada ruang, waktu, dan relasi sosial yang konkret. Kritik terhadap multivokalitas dan polisemi mengungkapkan kekhawatiran bahwa terlalu banyak makna akan mengaburkan kejelasan. Tetapi kejelasan macam apa yang sebenarnya dikehendaki? Kejelasan bagi siapa? Dan dengan harga epistemologis sebesar apa?

Pengetahuan setempat tidak pernah berambisi mengklaim universalitas dalam gaya sains. Tidak keinginan untuk dapat berlaku di mana saja, untuk siapa saja, dengan cara yang seragam. Sebaliknya, hanya ingin berakar pada kesadaran bahwa dunia tidak homogen, dan bahwa cara terbaik untuk memahami dunia yang berbeda-beda adalah dengan cara yang juga beragam. Di sinilah peran multivokalitas dan polisemi menjadi penting. Kehadiran ciri ini tidak menandakan kekacauan, tetapi mengizinkan keragaman makna hidup berdampingan tanpa dipaksa masuk ke dalam skema tunggal. Dalam sistem seperti ini, makna tidak perlu dimurnikan, karena justru dalam percampurannya makna memperoleh relevansinya. Yang penting bukan kepastian tunggal, tetapi ketepatan dalam konteks. Ketepatan yang lahir dari dialog antarpengetahuan, bukan dari eliminasi perbedaan.

Sains mengklaim objektivitas sebagai keunggulan, tetapi sering kali lupa untuk mengakui bahwa objektivitas pun lahir dari posisi tertentu, dengan sejarah tertentu, dan nilai-nilai tertentu. Posisi dengan cara yang berbeda telah muncul dalam percakapan sebelumnya, dan mungkin dalam percakapan selanjutnya. Penegasan ini dibutuhkan, agar makin jelas problem fundamental apa yang menjadi concern atas keberadaan ilmu pengetahuan modern. Dalam konteks ini, ketika pengetahuan dinilai hanya dari kemampuannya untuk direplikasi dan dikritik secara terpisah dari nilai budaya, maka yang sesungguhnya sedang dilakukan adalah pemutusan pengetahuan dari sumber sosialnya. Pengetahuan setempat, dengan segala keterikatannya pada komunitas, tradisi, dan praktik hidup, tidak melihat ini sebagai kelemahan, tetapi sebagai kekuatan: pengetahuan tidak hanya untuk diketahui, tetapi untuk dijalani. Dan menjalani kehidupan memerlukan pengetahuan yang berlapis makna, yang terbuka menghadapi situasi yang kompleks, dan yang dapat diterjemahkan secara simbolik, etis, maupun praktis.

Dalam kerangka seperti ini, polisemi bukanlah ancaman terhadap koherensi, tetapi cara untuk menjembatani antara masa lalu dan masa kini, antara yang sakral dan yang praktis, antara bahasa yang diwariskan dan realitas yang sedang dijalani. Sebuah simbol yang memiliki makna ganda bukan berarti tak bermakna, tetapi justru menghidupkan ruang interpretasi yang memungkinkan pengetahuan tetap bernapas dalam lintas generasi. Bila simbol dalam sains harus tunggal, tetap, dan steril dari asosiasi nilai, maka simbol dalam pengetahuan setempat sebaliknya, yakni kaya, terbuka, dan sanggup menyesuaikan diri dengan kebutuhan kolektif yang bertumbuh.

Kritik yang menyatakan bahwa partisipasi tidak menjamin kebenaran memang tidak keliru, namun kritik itu menyempit jika lupa bahwa objektivitas tanpa partisipasi pun tidak pernah cukup menjamin relevansi. Seseorang bisa menghasilkan model matematika yang sangat akurat namun gagal memahami makna peristiwa dalam kehidupan nyata komunitas. Pengetahuan yang baik bukan hanya yang benar secara logis, tetapi juga yang beresonansi dengan kehidupan yang dijalani. Multivokalitas dan polisemi bukanlah bentuk penolakan terhadap evaluasi, melainkan pengakuan bahwa evaluasi pun harus dilakukan dalam kerangka keterlibatan sosial yang beragam.

Dalam hal akumulasi pengetahuan, sains telah menilai bahwa fleksibilitas makna menyulitkan pembangunan teori. Tapi sebetulnya, teori pun selalu dibangun dalam horizon pemahaman yang berubah. Bahkan dalam sains, sejarah pengetahuan menunjukkan bahwa teori yang bertahan lama bukan karena menyingkirkan ambiguitas, tetapi karena cukup terbuka untuk ditafsirkan ulang. Dalam hal ini, pengetahuan setempat mengusulkan bentuk akumulasi lain: bukan akumulasi dalam bentuk sistem tertutup yang konsisten secara logika, tetapi akumulasi dalam bentuk jejaring tafsir, praktik, dan simbol yang saling terhubung dalam sejarah kehidupan komunitas.

Pengetahuan setempat tidak universal, dan tidak berniat menjadi universal. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa kehidupan manusia terlalu kompleks untuk diringkas dalam satu model yang berlaku di mana saja. Multivokalitas dan polisemi tidak dimaksudkan untuk menciptakan ruang yang kabur, melainkan untuk menjaga ruang agar tetap bisa dihuni banyak suara, tanpa saling meniadakan.

Dengan demikian, kritik terhadap pengetahuan setempat yang multivokal dan polisemik, dapat dikatakan sebagai cermin dari kurangnya kesadaran akan kompleksitas dan besar kemungkinan merupakan ekspresi arogansi yang tidak dibutuhkan, bahkan bagi ilmu itu sendiri. Pengetahuan setempat sesungguhnya tidak membutuhkan pengakuan yang bukan datang dari kesadaran. Sekali lagi, pengetahuan setempat, yang perlu dilihat sebagaimana ada. Bukan alternatif yang hendak mengeksklusi. Cukup dimengerti sebagai suatu bentuk rasionalitas lain yang justru menyimpan apa yang telah lama hilang, yakni kemampuan untuk mendengarkan dunia, bukan hanya mengukurnya.

Z:

Setelah sekian percakapan, terasa ada monotonitas dalam ungkapan. Tidak terhindarkan rasa berulang. Baik dalam pilihan diksi, maupun dalam struktur argumentasi. Bagi pengetahuan setempat sangat terasa beban yang dipikulnya, terutama ketika harus bicara dengan “ilmu”, yang telah dimapankan oleh sejarah. Pengetahuan setempat seperti ketiadaan, atau tidak ada, yang sulit mendeskripsikan dirinya, kecuali dengan cara menyebut “ada” yang “bukan”, “tidak” ada. Diksi “bukan”, menjadi dominan, karena subyek seperti belum mampu dideteksi, dan cara mendeskripsikan seluruh cirinya, hanya mungkin dengan menegasikan apa yang menjadi ciri ilmu. Keadaan ini saja sudah dapat dinyatakan sebagai bukti, bahwa memang apa terus digemakan oleh pengetahuan setempat sebagai dominasi,atau hegemoni, pada dasarnya adalah hal yang sangat riil.

Jika kita mengungkapkan hal tersebut, tentu bukan artinya langsung sebagai bentuk keberpihakan. Kenyataan ini sangat perlu dipahami, agar dalam meninjau percakapan, jika menggunakan nalar ilmu, dapat lebih obyektif. Tapi memang di sinilah resiko dari mereka yang ada dalam atau berdiri di antara dua kutub yang sedang dalam ketegangan epistemik. Oleh sebab itulah, untuk dapat memahami keduanya secara lebih “obyektif”, perlu kiranya mengambil jarak (persis sebagaimana maksud ilmu), untuk dapat melihat lebih jernih apa sebenarnya yang dimaksudkan dan apa pula keberatan atas maksud tersebut.

Kembali kepada percakapan di atas. Apa yang bisa dinikmati dari dua pandangan yang berbeda tentang kerangka pengetahuan setempat yang multivokal dan polisemik? Memang tidak bisa disembunyikan bahwa perselisihan yang sesungguhnya bukan tentang terminologis atau metodologis, melainkan persinggungan antara dua cara memandang dunia yang memang berbeda. Dalam hal ini, pengetahuan setempat, harus bisa menerima posisinya yang ditempatkan seakan-akan sebagai pendatang baru yang hendak mengusik yang telah mapan. Saling kritik yang tampak adalah tentang satu pihak menekankan pentingnya kejelasan, koherensi, dan verifikasi lintas konteks, sementara yang lain menegaskan bahwa makna hidup tidak bisa dikekang oleh tuntutan objektivitas universal.

Apakah percakapan ini perlu beranjak menjadi debat kusir? Ataukah keduanya perlu duduk lebih tenang untuk melihat diri mereka masing-masing? Pertanyaan bagi diri mereka masing-masing adalah apakah keduanya memang membicarakan hal yang sama, atau justru sedang berusaha menjelaskan dua lapisan kenyataan yang tidak tumpang tindih? Jika yang pertama, tentu dapat diduga, bahwa pada akhirnya aka nada titik temu. Tetapi, jika yang kedua, maka hampir dapat dipastikan bahwa ujungnya tetap dua kutub yang tidak dapat dan memang tidak perlu disatukan. Jika demikian ini, maka yang dibutuhkan adalah kesadaran masing-masing untuk bersedia membuka kemungkinan untuk mendefinisikan ulang apa sesungguhnya pengetahuan itu?

Jika tetap dengan pengertian dan perspektif masing-masing, maka suara ilmiah, akan tetap hadir dengan kekhawatiran yang dianggapnya sahih, yakni bahwa tanpa kerangka evaluasi yang stabil, bagaimana membedakan antara tafsir yang bernilai dan tafsir yang menyesatkan? Dalam dunia yang semakin bergantung pada keputusan berbasis data dan kebijakan yang memerlukan justifikasi lintas budaya, kejelasan istilah, kestabilan makna, dan sistem klasifikasi menjadi kebutuhan yang sulit dihindari. Mereka mengingatkan bahwa akumulasi pengetahuan hanya mungkin jika makna tidak berubah terlalu cepat, dan bahwa pengujian harus bisa dilakukan di luar konteks produksi makna semula. Kritik terhadap multivokalitas dan polisemi muncul dari kegelisahan epistemik ini: bahwa terlalu banyak suara bisa memekakkan telinga rasionalitas, dan bahwa terlalu banyak makna bisa merapuhkan bangunan penalaran bersama.

Sementara itu, pengetahuan setempat akan tetap pula dengan pendiriannya, yang akan mengatakan bahwa pihaknya tidak hanya menolak, tetapi membalikkan logika tersebut. Bagi mereka, suara yang banyak bukan gangguan, melainkan pantulan dari kenyataan itu sendiri yang memang tidak tunggal. Mereka mempersoalkan asumsi bahwa hanya makna yang telah distandarkan yang layak dipercaya, dan bahwa hanya yang bisa diuji oleh siapa pun di mana pun yang layak disebut pengetahuan. Justru dalam realitas kehidupan sehari-hari, pengetahuan yang paling berguna adalah yang sanggup berbicara dalam bahasa yang hidup, yang terbuka terhadap tafsir baru tanpa kehilangan kedekatannya dengan pengalaman konkret. Dalam pandangan ini, multivokalitas bukan disfungsi, tetapi struktur yang mengizinkan pengetahuan untuk tetap bernapas di tengah keberagaman dan perubahan.

Dua pandangan ini sungguh sangat jelas bahwa keduanya, sama-sama membawa beban asumsi yang mungkin belum sepenuhnya disadari. Ilmu, dapat dikatakan sering tidak menyadari bahwa klaim netralitas epistemik dan objektivitas metodologisnya juga dibentuk oleh sejarah sosial dan kebudayaan tertentu, terutama warisan modernisasi. Sementara itu, pengetahuan setempat juga belum tentu selalu terbuka terhadap refleksi internal, dalam hal ini terhadap kemungkinan bahwa tidak semua multivokalitas memperkaya, dan bahwa dalam beberapa kasus, tafsir yang terlalu longgar bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan simbolik yang tak tersentuh kritik.

Kita berpandangan bahwa yang kini dibutuhkan, bukan kekakuan, bukan kengototan, bukan arogansi untuk secara tegas bertahan dari masing-masing posisi, tetapi pengakuan bahwa setiap bentuk pengetahuan membawa logika validasi yang sepadan dengan medan kenyataan yang ingin ia pahami. Ilmu mungkin memang unggul dalam menjelaskan hukum-hukum umum, tetapi sering kali gagal menangkap nuansa dan pengalaman yang tak terukur. Sebaliknya, pengetahuan setempat mungkin unggul dalam keterlibatan dan kepekaan terhadap konteks, tetapi mungkin tak selalu siap dengan mekanisme untuk menyeleksi mana tafsir yang membangun dan mana yang memanipulasi.

Dengan melihat kenyataan epistemic tersebut, yang hendak disorong ke depan tentu bukan suatu tawaran kompromi metodologis, melainkan usulan pluralisme epistemik yang reflektif: bahwa kebenaran tidak selalu harus hadir dalam bentuk yang sama, bahwa struktur pengetahuan bisa bermacam-macam tergantung pada kebutuhan, dan bahwa pertanyaan kritis harus bisa diajukan ke segala arah, termasuk terhadap sistem klasifikasi ilmiah maupun terhadap simbolisme setempat. Di sinilah posisi yang bisa diambil, diantara dua kutub yang terus dalam ketegangan epistemic: bukan sebagai penimbang imbang antara dua ekstrem, tetapi sebagai pembaca batas. Batas antara makna yang berkembang dan makna yang larut, antara suara yang memperkaya dan suara yang menutupi, antara simbol yang menjembatani dan simbol yang membekukan.

Sampai di titik ini, kita ada dalam pandangan bahwa sesungguhnya yang dipertaruhkan dalam perdebatan ini bukan sekadar status epistemik dari multivokalitas dan polisemi, melainkan apa yang kita anggap sah sebagai cara memahami kenyataan. Apakah kenyataan harus diukur agar bisa disebut nyata? Apakah makna harus disepakati agar bisa disebut benar? Atau, sebaliknya, apakah hidup menuntut kita untuk mengembangkan bentuk pengetahuan yang sanggup menampung ketidakseragaman, yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga menyentuh dan memelihara kehidupan di dalamnya? Kita tidak hendak atau tidak berhasrat memberi jawaban final atas pertanyaan tersebut, tetapi mengingatkan bahwa kita tidak pernah hanya memilih antara sains dan tradisi. Kita selalu memilih bentuk tanggung jawab yang ingin kita bangun atas dunia yang kita tinggali bersama. Dan dalam pilihan itulah, pengetahuan, dalam segala bentuk dan suaranya, memperoleh maknanya yang paling dalam. Makna dalam kebermukiman – sebagaimana mungkin yang dimaksudkan pengetahuan setempat. [Desanomia – 6.5.25 – TM]

One thought on “Dialog (7)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *