Dialog (9)

Sumber ilustrasi: unsplash

8 Mei 2025 14.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Pada edisi lalu [Dialog (8)], telah ditampilkan percakapan ketujuh, yakni tentang waktu. Apa yang telah dipercakapkan adalah tentang ciri temporalitas siklikal. Telah diuraikan dengan panjang lebar pandangan yang memaknai waktu sebagai yang tidak linier dan progresif, tetapi berirama dan “mengulang”. Pengetahuan setempat (selanjutnya tahupat): menyatu dengan musim, generasi, perayaan, dan ingatan leluhur. Diwariskan (bahkan mungkin sudah selalu begitu), bukan ditemukan; dihidupi, bukan ditarik (diambil) dari luar. Jika dibaca kembali percakapan tersebut, nampak bahwa pandangan tahupat tentang waktu tersebut, telah mendapatkan respon yang mendalam dari sudut pandang ilmu. Pada percakapan kali ini, akan diperbincangkan ciri kedelapan, yang digambarkan sebagai ciri dimana tahupat bertahan melalui keterbukaan dan keterhubungan dengan lingkungan. Tidak membeku dalam doktrin, melainkan berubah bersama dunia. Responsif terhadap perubahan, karena hidup di dalamnya.

Sebelum masih kepada percakapan, perlu kiranya diangkat di sini adanya respon atas percakapan yang telah berkembang. Ada pertanyaan yang sangat serius, yakni apakah tahupat yang dipercakapkan di sini merupakan suatu pemikiran yang telah baku, dan telah teruji, sebagaimana ilmu pengetahuan modern? Apa yang sebenarnya yang tengah dipercakapkan? Apakah tentang pengetahuan [dalam pengertiannya yang umum], teori pengetahuan, ilmu pengetahuan, filsafat pengetahuan ataukah epistimologi? Apakah yang disodorkan adalah pandangan yang sedang mengkritik positivisme? Yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai pemikiran yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya bisa diperoleh melalui pengamatan empiris dan metode ilmiah. Artinya, hanya yang dapat diobservasi secara inderawi dan diuji secara logis yang dapat disebut “ilmiah”. Ataukah suatu refleksi yang datang dari rasa prihatin atas kondisi yang ada, seperti krisis lingkungan hidup, krisis keadilan dan berbagai problem dalam tatanan hidup bersama kita? Berbagai pertanyaan ini tentu saja sangat mengusik, terutama jika diletakkan pada perjalanan percakapan yang telah mengungkapkan tujuh buah ciri dari apa yang disebut sebagai tahupat. Tentu saja masalah-masalah ini pada waktunya dapat dijelaskan secara lebih rinci. Hal ini penting, agar pemahaman mengenai apa yang dipercakapkan menjadi lebih utuh.

Apa yang sebaiknya menjadi pegangan bagi siapa saja yang menikmati percakapan ini adalah bahwa yang sedang dikerjakan pada dasarnya adalah upaya membangun ruang dialog. Kalau kita berbicara tentang tahupat atau tahupat, sebagaimana telah disinggung dalam pengantar pada edisi yang lalu, memang tidak terhindarkan bahwa penjelasan yang dikembangkan tidak pernah bisa lepas dari bayang-bayang ilmu pengetahuan modern. Hal ini terasa sekali dengan demikian banyaknya digunakan diksi negasi, atau tahupat seakan-akan mengungkapkan dirinya melalui negasi atas apa “yang bukan dirinya”. Lewat ruang dialog, tentu akan diperoleh banyak pemikiran, baik ketika hendak melakukan klarifikasi, memberikan penjelasan, memberikan kritik, jawaban atas kritik, refleksi dan berbagai interaksi lainnya. Memang jika hendak dikembangkan apa yang dapat disebut sebagai epistimologi bermukim, maka banyak hal perlu dikaji ulang, dan dari sana dibangun kerangka berpikir yang lebih solid. Apa yang dibayangkan sebagai kerangka berpikir solid, sudah tentu tidak kongruen dengan pemikiran mainstream, karena pengetahuan bermukim sangat berbeda, terlebih jika ditinjau dari lensa positivisme.

Beginilah percakapan umum dalam membahas ciri ke delapan:

X:

Pengetahuan setempat (selanjutnya tahupat) bukanlah sistem tertutup yang melindungi dirinya dengan pagar dogma atau prinsip-prinsip universal yang tak dapat diganggu gugat. Tahupat hidup dalam keadaan terbuka, lentur, dan tak henti bernegosiasi dengan lingkungan yang terus berubah. Penting kembali ditegaskan bahwa tahupat tidak mempertahankan kebenaran dengan membekukannya dalam formula yang tetap, melainkan menjaganya dengan cara menyesuaikan diri, membaca ulang konteks, dan mengubah bentuk tanpa menghilangkan arah. Dalam pengertian ini, tahupat bersifat adaptif sekaligus resilien: merespons tekanan tanpa patah, menghadapi perubahan tanpa kehilangan inti.

Adaptivitas tahupat berakar dari kenyataan bahwa dirinya tidak dipisahkan dari pengalaman, melainkan tumbuh di dalamnya. Pernyataan ini tidak terhindarkan kembali diucapkan kembali. Bukan karena lupa, melainkan karena demikian itulah prinsip dari suatu pengetahuan setempat. Pengetahuan ini bukan hasil laboratorium, melainkan hasil dari musim yang datang tak terduga, dari panen yang gagal, dari banjir yang membawa pelajaran, dari perjumpaan sehari-hari dengan tanah, air, tumbuhan, dan binatang. Karena itu, tahupat tidak berjalan dengan logika abstraksi yang melepaskan diri dari dunia, tetapi dengan logika perhatian yang mengamati, mencoba, gagal, dan belajar ulang. Ketika pola curah hujan bergeser, ketika hama datang lebih awal, ketika varietas tanaman yang lama tidak lagi memberi hasil, tahupat tidak sibuk menyalahkan masa lalu. Apa yang mungkin dilakukannya adalah mengubah caranya bekerja, memodifikasi cara tanam, menyesuaikan waktu panen, atau mengganti jenis tanaman dengan yang lebih cocok.

Namun kemampuan menyesuaikan diri ini tidak identik dengan keterbukaan tanpa filter. Justru sebaliknya, menyertakan penilaian yang ketat, meski tidak selalu dalam bentuk kalkulasi. Tidak semua hal yang baru diterima begitu saja. Tahupat menguji hal baru bukan dalam makna laboratoris, melainkan dalam makna praksis: apakah selaras dengan kehidupan bersama? Pengujian berjalan dalam proses, dan tidak menguji sambil menghentikan waktu. Apakah menambah ketahanan atau malah mengganggu keseimbangan? Di sini, adaptasi bukan bentuk penyerahan, melainkan proses selektif yang melibatkan kehati-hatian. Yang diambil bukan hanya yang bisa digunakan, tetapi yang bisa diserap tanpa merusak jaringan nilai dan relasi yang telah dibangun lama.

Sifat resilien tahupat terletak pada kemampuannya bertahan justru dalam kondisi ketika banyak bentuk pengetahuan lain runtuh. Jika kita dimungkinkan untuk datang langsung dalam pengalaman desa, maka akan dapat diketahui bagaimana tahupat mengalami tekanan demi tekanan: kolonialisme yang mencemooh cara tahu setempat sebagai takhayul, modernisasi yang menolak praktiknya sebagai usang, globalisasi yang membanjiri pasar pengetahuan dengan solusi instan dan teknologi canggih. Namun pengetahuan ini tidak mati. Memang tidak tampil, mungkin juga menghindar, menyusup, berkamuflase. Tahupat bertahan dalam bentuk cerita, dalam ritus, dalam praktik yang diwariskan diam-diam. Bahkan ketika sebagian besar dari sistem formal menolak keberadaannya, tahupat terus bekerja: di ladang, di dapur, di hutan, di Sungai, di dalam komunitas itu sendiri.

Bertahan bukan karena kaku, tetapi karena tahu cara mengubah dirinya untuk tidak dilumpuhkan. Dalam banyak kasus, tahupat bahkan memanfaatkan unsur-unsur luar untuk memperkuat dirinya. Ketika teknologi baru datang, tahupat tidak ditolak mentah-mentah. Tahupat dikaji dalam bahasa sendiri: bukan soal efisiensi saja, tetapi soal kecocokan dengan siklus hidup komunitas. Ketika kebijakan negara memaksakan sistem pertanian tertentu, komunitas setempat bisa menjalankan keduanya secara paralel, menjaga praktik lama di satu sisi dan menyesuaikan diri di sisi lain, sembari menjaga jarak aman dari kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem luar. Ini adalah bentuk kecerdasan yang tidak bersifat teoretis, tetapi praktis dan strategis.

Apa yang tampak sebagai keterlambatan dalam perubahan, sering kali adalah hasil dari pembacaan yang lebih lambat tetapi lebih dalam terhadap kondisi sekitarnya. Tahupat tidak dikejar waktu, tetapi mengejar kesesuaian. Tidak bergerak dengan tuntutan percepatan, tetapi dengan kewaspadaan terhadap akibat jangka panjang. Karena itulah tahupat menjadi penting dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian iklim, krisis pangan, dan kerusakan ekologi. Pengetahuan yang tidak tunduk pada kecepatan semata, justru bisa bertahan lebih lama karena tahu kapan harus berubah, dan kapan harus tetap.

Di tengah semua ini, tahupat memperlihatkan bahwa daya tahan tidak harus dibangun melalui dominasi. Ketahanan bukan soal menguasai, tetapi tentang kemampuan untuk berbaur, membaca ulang, dan menyesuaikan arah tanpa kehilangan tujuan. Tidak menantang dunia dengan kekuatan, tetapi dengan kecermatan. Tidak menyatakan kebenaran dengan suara keras, tetapi dengan kesabaran. Dalam dunia yang berubah terlalu cepat, tahupat mengingatkan bahwa adaptasi tidak harus mencabut akar, dan bahwa resiliensi tidak harus membentuk tembok. Pada titik inilah tahupat menunjukkan bahwa lentur bukan berarti lemah, dan menyesuaikan diri bukan berarti menyerah. Justru di situlah letak kekuatannya, yakni tahu bagaimana terus hidup, bahkan ketika yang lain tumbang.

Y:

Tahupat, berhasil digambarkan dalam narasi yang penuh penghargaan terhadap adaptasi dan resiliensi, dan karena itu diposisikan sebagai pengetahuan yang lebih “bijaksana” karena berakar pada pengalaman, bersifat partisipatif, dan tidak terjebak dalam ambisi dominatif. Namun, dari sudut pandang ilmu, narasi semacam itu memunculkan sejumlah persoalan epistemik yang tak dapat diabaikan. Ilmu tentu saja akan segera memberikan kritik terhadap wacana tersebut, namun kritik harus dipahami bukan sebagai upaya untuk merendahkan nilai-nilai setempat, tetapi untuk menggarisbawahi bahwa keterbukaan terhadap perubahan dan kemampuan bertahan tidak dengan sendirinya menjamin validitas atau kekuatan pengetahuan secara metodologis dan sistematis.

Pertama-tama, dalam narasi tentang adaptivitas, tahupat telah menekankan bahwa dirinya “tumbuh dari pengalaman”, “berubah dengan lingkungan”, dan “menyesuaikan diri dengan kondisi baru”. Klaim ini terdengar kuat secara retoris, tetapi dalam kerangka ilmu, pengalaman individual atau kolektif tidak otomatis menjadi dasar yang sah untuk generalisasi pengetahuan. Bahwa sebuah komunitas mampu beradaptasi tidak serta-merta menjadikan praktik pengetahuannya dapat diuji, dijelaskan, atau ditransfer dalam skala yang lebih luas. Ilmu menuntut replikasi, penyusunan proposisi, dan kemungkinan untuk diuji di luar konteks asal. Tanpa elemen-elemen itu, apa yang disebut “adaptif” cenderung beroperasi dalam ruang tertutup: ia bisa berhasil dalam situasi tertentu, tetapi tidak bisa dipertanggungjawabkan jika diterapkan dalam konteks yang berbeda.

Pandangan ini terasa sangat monoton, karena memang sering diucapkan. Bahwa untuk suatu pengetahuan agar dapat dikatakan merupakan ilmu, maka tidak mungkin menggunakan cara dan memiliki sifat yang bertentangan sifat dasar dari ilmu. Oleh sebab itulah, terhadap sifat yang dijelaskan di sini, sikap ilmu telah sangat jelas, bahwa sifat yang demikian itu, tidak dapat dijadikan dasar sah untuk menyatakan jenis pengetahuan tersebut adalah ilmu.

Lebih jauh, ketika tahupat dinyatakan menyeleksi informasi atau teknologi baru dengan sangat hati-hati, pertanyaannya bukan hanya soal kehati-hatian itu sendiri, melainkan mekanisme seperti apa yang digunakan untuk menilai kelayakan pengetahuan atau inovasi tersebut. Dalam ilmu, ada prosedur yang memungkinkan klaim dikritik secara terbuka dan diuji oleh siapa pun. Sementara dalam sistem tahupat, filter terhadap hal baru kerap dilakukan berdasarkan struktur sosial, relasi otoritas, atau kepercayaan yang tak selalu transparan secara epistemik. Hal ini menyulitkan siapa saja dari luar komunitas untuk melakukan penilaian kritis terhadap kebenaran atau efektivitas suatu klaim tahupat tanpa dicurigai melanggar tatanan nilai.

Klaim tentang resiliensi juga mengandung problem serius. Benar bahwa tahupat mampu bertahan melalui kolonialisme, modernisasi, dan globalisasi. Tetapi bertahan bukan jaminan bahwa pihaknya lebih tepat atau lebih kuat secara epistemik. Banyak praktik yang bertahan justru karena terlindungi oleh mekanisme sosial yang konservatif, bukan karena mereka benar dalam arti konseptual atau eksplanatoris. Dalam ilmu, keberlanjutan sebuah teori bukan hanya dinilai dari lamanya bertahan, tetapi dari kapasitasnya untuk menjelaskan, mengantisipasi, dan teruji dalam konteks baru. Jika tahupat hanya dinilai dari daya tahannya, maka akan ada resiko direduksi menjadi sistem nilai budaya semata, bukan sistem pengetahuan dalam arti yang ketat.

Aspek lain yang perlu dikritik adalah kecenderungan narasi tahupat untuk menolak apa yang disebut sebagai “ambisi penguasaan” dalam ilmu. Diksi ini menunjukkan sikap anti terhadap pendekatan ilmiah yang ingin memahami, memetakan, dan mengintervensi dunia secara aktif. Namun dari perspektif ilmiah, ambisi untuk memahami dan mengelola bukan bentuk arogansi, tetapi bentuk tanggung jawab epistemik dan praksis dalam menghadapi dunia yang kompleks. Dalam banyak kasus, justru ketidaksiapan untuk memahami secara sistematiklah yang memperparah kerusakan ekologis, karena keputusan diambil berdasarkan intuisi semata tanpa data yang memadai.

Ilmu juga mengkritik cara tahupat memahami kecepatan dan perubahan. Dikatakan bahwa tahupat tidak tergesa-gesa, berjalan dengan kewaspadaan dan kesesuaian. Namun, ilmu berpandangan bahwa dalam dunia yang semakin didorong oleh dinamika cepat — perubahan iklim, krisis pangan, konflik geopolitik — ketepatan waktu dalam bertindak bukan pilihan moral, tetapi tuntutan realitas. Pengetahuan yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat justru berisiko kehilangan relevansi. Bukan semua hal harus dipercepat, tetapi tidak semua hal bisa menunggu pembacaan lambat, terutama ketika konsekuensinya berskala global dan berdampak antargenerasi.

Penting untuk diulang kembali, bahwa tahupat yang disebut “lentur, diam, dan sabar” dalam menghadapi perubahan seolah ingin membentuk citra epistemik yang rendah hati. Namun dari sudut pandang ilmu, kerendahan hati epistemik bukan terletak pada diamnya pengetahuan, melainkan pada keterbukaannya untuk dikritik, direvisi, dan diuji lintas batas komunitas. Pengetahuan yang tidak mau dipertanyakan oleh yang lain tidak sedang rendah hati, tetapi sedang menutup diri, atau bahkan arogan.

Dengan demikian, ceramah tentang adaptasi dan resiliensi tahupat membuka peluang untuk membicarakan kekuatan cara tahu komunitas, namun secara epistemik masih menyisakan pertanyaan mendasar: apa yang membuat suatu pengetahuan dapat diklaim sebagai pengetahuan? Apakah cukup hanya karena mampu bertahan? Atau karena berhasil dalam konteks tertentu?

Ilmu dalam hal ini akan mengajukan standar lain: bahwa pengetahuan harus dapat diuji, dapat dijelaskan, dapat dikritik, dan dapat berkembang. Tanpa hal-hal tersebut, apa yang disebut “pengetahuan” bisa menjadi narasi yang hidup dan berguna secara setempat, tetapi tidak bisa menempati posisi setara dalam diskusi pengetahuan global. Dan justru di situlah letak kritik utama ilmu: bahwa untuk menjadi pengetahuan yang bertanggung jawab, kebijaksanaan setempat pun harus siap diuji oleh dunia yang lebih luas, sama seperti ilmu juga terus menilai dan mengoreksi dirinya sendiri.

X:

Seluruh kritik ilmu tentu saja diterima dengan senang hati. Kritik tersebut memperlihatkan bahwa bagaimana pun ilmu mengakui keberadaan tahupat, walaupun dalam bentuk mempertanyakan. Apa responn kita terhadap kritik tersebut? Yakni bahwa kritik ilmu terhadap tahupat dalam isu adaptasi dan resiliensi, menunjukkan kepiawaiannya dalam logika formal, tetapi kritik itu juga sekaligus memperlihatkan keterbatasan mendasarnya sendiri, yakni kegagalan mengenali keragaman cara manusia membangun hubungan dengan dunia. Kritik tersebut berpijak pada standar epistemik yang telah lama dikembangkan dalam kerangka modernism. Persis inilah yang sudah sering diulang-ulang, yakni bahwa pengetahuan harus dapat diuji secara objektif, dijelaskan dengan proposisi formal, direplikasi lintas konteks, dan dibuka ke arena kritik universal. Bagi kita, kesemuanya itu justru secara telanjang membuka bias utamanya. Ilmu tidak hanya menyodorkan prosedur, melainkan juga menegaskan ideologi pengetahuan yang menyempitkan pemahaman terhadap kebenaran menjadi apa yang bisa diukur dan dikalkulasi.

Ketika ilmu mempertanyakan validitas tahupat karena tidak dapat diuji “secara sistematis dan intersubjektif”, sebenarnya ilmu tengah memproyeksikan satu bentuk rasionalitas sebagai tolok ukur tunggal bagi semua bentuk tahu. Dalam hal ini, ilmu gagal merefleksikan bahwa logika pengujian yang dibanggakan lahir dari konstruksi sejarah tertentu, yang berpijak pada pemisahan antara subjek dan objek, antara fakta dan nilai, serta antara alam dan budaya. Pernyataan ini tetap diucapkan, dengan resiko dianggap sebagai pernyataan klise, atau pernyataan politik untuk menghindari percakapan epistemik.

Hendak terus ditekankan bahwa dalam tahupat, cara tahu tidak bekerja melalui pemisahan itu. Tahu dibentuk dalam jaringan keterlibatan: antara tubuh dan tanah, antara ingatan dan tindakan, antara komunitas dan lanskap. Ketika ilmu menuntut agar tahupat menyediakan proposisi yang bisa direplikasi, sejatinya menuntut agar tahupat mengkhianati sumber kehidupannya sendiri, yaitu keterkaitan dengan konteks dan relasi.

Apa yang disebut sebagai “ruang tertutup” dalam tahupat, karena hanya berlaku dalam situasi tertentu, sesungguhnya bukan kekurangan epistemik, tetapi bentuk etika dari pengetahuan yang tidak melampaui tempatnya tanpa tanggung jawab. Ketika sebuah praktik hanya diterapkan dalam konteks tertentu, itu karena praktik tersebut menyadari bahwa makna dan efektivitasnya tidak bisa dicabut dari jalinan pengalaman yang melahirkannya.

Berbeda dengan ilmu yang sering memutlakkan hasilnya untuk semua tempat dan waktu, tahupat justru menunjukkan bentuk kerendahan hati yang otentik: bahwa kebenaran tidak selalu perlu berlaku di mana-mana untuk menjadi sah. Cukup benar bagi yang menghidupinya, dan itulah yang membuatnya bertahan, bukan karena ketertutupan, melainkan karena kesetiaan pada konteks dan tanggung jawab setempat.

Kritik terhadap seleksi teknologi yang dianggap tidak transparan pun lahir dari prasangka bahwa hanya metode ilmiah yang menyediakan ruang kritik terbuka. Padahal, transparansi dalam sistem setempat bukan hadir melalui publikasi atau peer-review, melainkan melalui interaksi sosial, pengalaman nyata, dan konsekuensi langsung. Seorang petani yang gagal panen karena mengikuti teknik baru akan lebih cepat mengubah praktiknya dibandingkan seorang ilmuwan yang mengoreksi modelnya setelah bertahun-tahun. Koreksi dalam sistem setempat tidak terjadi di ruang teoretis, tetapi dalam ranah yang lebih konkret—di ladang yang tandus, di tubuh yang sakit, di relasi yang retak. Ini bukan bentuk epistemologi yang lebih rendah, tetapi justru yang lebih terikat pada kenyataan.

Kritik bahwa resiliensi tidak identik dengan validitas epistemik juga menggambarkan sempitnya pemahaman tentang apa itu ketahanan pengetahuan. Ilmu menyamakan ketahanan dengan relevansi teoritis, namun tahupat memahami ketahanan sebagai kemampuan bertahan tanpa kehilangan makna, meskipun dunia di sekitarnya berubah secara brutal. Di tengah tekanan kolonialisme, modernisasi paksa, dan ekspansi pasar pengetahuan global, tahupat tidak hanya bertahan secara simbolik, tetapi tetap menjadi fondasi bagi keberlanjutan ekologis dan sosial di banyak tempat. Ketahanan ini tidak bersumber dari kekakuan, tetapi dari kemampuan merespons tanpa menyerah pada penyeragaman. Pengetahuan yang bertahan karena terus bisa menyesuaikan diri tanpa kehilangan akarnya justru menunjukkan bentuk kekuatan epistemik yang tidak bisa ditakar dengan logika kuantitatif.

Ambisi ilmu untuk memahami dan mengelola dunia memang terlihat sebagai bentuk tanggung jawab epistemik, tetapi juga tidak bebas dari problem etis. Dalam banyak kasus, intervensi atas nama pengelolaan dan penguasaan justru menghasilkan bencana ekologis dan sosial yang tidak diprediksi model mana pun. Terlalu banyak pengetahuan ilmiah yang gagal menjadi kebijaksanaan praksis karena tak mengenal waktu dan tempat yang diubah. Tahupat, dalam segala keterbatasannya, menawarkan alternatif: tindakan yang terikat pada ritme, relasi, dan makna, bukan semata kemungkinan teknis. Di sini, ketidakgesa-gesaan bukan kelemahan, melainkan bentuk kesadaran bahwa tidak semua yang bisa dilakukan layak untuk dilakukan. Inilah pokok yang perlu diingat.

Kritik bahwa tahupat “tidak terbuka untuk diuji oleh dunia yang lebih luas” juga perlu dibalik. Dunia yang lebih luas seperti apa? Diuji oleh siapa? Dengan standar siapa? Jika hanya ada satu model pengujian yang diakui—yakni model ilmu modern—maka ruang bagi pluralitas epistemik sudah ditutup sejak awal. Dunia setempat tidak menolak pengujian, tetapi meminta agar pengujian itu dilakukan dengan kehadiran, dengan partisipasi, dengan kepekaan terhadap konteks dan nilai-nilai tempat pengetahuan itu tumbuh. Bila ilmu menuntut bahwa tahupat harus menyerahkan dirinya pada laboratorium universal, maka il,u harus pula bersedia diuji oleh pengalaman, oleh lanskap, oleh komunitas, bukan hanya oleh logika dan statistic – yang dirancangnya sendiri secara eksklusif.

Dalam hal ini, klaim bahwa tahupat “menutup diri” justru bisa dibaca sebagai cermin dari ilmu yang menutup mata terhadap keberbagaian bentuk rasionalitas. Ilmu memang terus mengoreksi dirinya, tetapi dalam kerangka yang ditentukannya sendiri. Tentu tidak sepenuhnya terbuka terhadap sistem lain yang tidak dapat dikonversi menjadi parameter ilmiah. Karena itu, kritik terhadap tahupat yang tak bisa “diperbandingkan” sebenarnya menunjukkan batas komparabilitas itu sendiri: bahwa tidak semua kebenaran bisa diukur dengan satu timbangan.

Tahupat tidak meminta pengakuan dari ilmu. Pernyataan ini tidak perlu dibaca secara sempit sebagai deklarasi eksistensil. Tetapi karena tahupat tidak bersaing untuk menjadi sistem dominan. Tahupat hanya ingin dihargai sebagai cara tahu yang sah, meski tidak seragam; sebagai bentuk hidup yang mengakar, meski tidak dapat digeneralisasi. Dalam dunia yang sedang menghadapi krisis yang kompleks, mungkin justru bentuk pengetahuan seperti inilah yang kita butuhkan. Yang tidak tergesa-gesa mengubah, tidak memaksakan penyatuan, dan tidak menganggap dirinya satu-satunya jalan menuju terang. Ilmu sejati tahu kapan saatnya berhenti berbicara, dan mulai mendengar – dengan sepenuh hati.

Y:

Sebelumnya, tidak ada kesempatan bagi ilmu untuk merespon balik. Jika sekarang dimungkinkan, maka kesempatan ini akan digunakan menyingkap lebih luas dan lebih mendalam, dari sudut keilmuan.

Sebagaimana diketahui bahwa tahupat kerap kali mengajukan keberatan terhadap ilmu dengan menyatakan bahwa ilmu telah memaksakan dirinya sebagai tolok ukur tunggal, menutup ruang kemungkinan untuk pluralitas epistemik, dan dianggap telah menyamaratakan dunia dalam satu bahasa universal yang tak peka terhadap konteks. Kritik ini sahih sebagai peringatan etis, tetapi menjadi problematis ketika tahupat memisahkan ilmu dari kehidupan dan menuduhnya sebagai sistem yang tak mampu mendengarkan. Respon balik ini diperlukan bukan untuk mempertahankan supremasi ilmu, melainkan untuk meluruskan sejumlah miskonsepsi yang, ironisnya, justru menyederhanakan hakikat ilmu itu sendiri.

Pertama, keberatan terhadap universalitas ilmu sering berangkat dari pemahaman yang keliru: bahwa ilmu menuntut segala bentuk pengetahuan tunduk pada satu model logika dan satu bentuk verifikasi. Padahal, dalam tradisinya yang paling reflektif, ilmu modern justru tumbuh dari kesadaran akan keterbatasan, dari eksperimen yang gagal, dari koreksi terhadap teori yang mapan, dan dari pencarian bentuk rasionalitas yang sanggup menyerap kompleksitas realitas. Bahwa ilmu menyusun prosedur uji, formulasi, dan standar replikasi bukan untuk menegaskan dominasi, melainkan untuk memastikan bahwa klaim apa pun dapat dipertanggungjawabkan di luar otoritas setempat, kepercayaan, dan intuisi individual. Ini bukan pengingkaran terhadap konteks, tetapi usaha membangun jembatan pemahaman lintas konteks.

Kritik bahwa ilmu tidak peka terhadap keterikatan antara tubuh, tanah, dan relasi sosial menunjukkan kekeliruan dalam membaca arah perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Saat ini, cabang-cabang ilmu seperti ekologi politik, antropologi lingkungan, atau geografi kritis secara aktif mempelajari bagaimana pengetahuan berkembang dalam jaringan interaksi yang kaya akan dimensi kultural, historis, dan ekologis. Bahwa ilmu tidak hanya berbicara lewat laboratorium, melainkan juga lewat studi lapangan, partisipasi komunitas, dan interaksi dengan tahupat. Namun, perbedaan mendasarnya terletak pada usaha untuk menyusun pemahaman yang bisa diuji kembali oleh siapa pun, kapan pun, tanpa harus berada dalam jaringan relasi tertentu. Inilah yang dimaksud dengan objektivitas: bukan netralitas mutlak, tetapi komitmen untuk membuka pengetahuan terhadap pemeriksaan terbuka dan bebas.

Ilmu tidak menolak bahwa tahupat berguna. Sebaliknya, ilmu mengakui kontribusi tahupat dalam menjaga keberlanjutan ekologis, dalam memelihara keanekaragaman hayati, dan dalam mengembangkan teknologi yang sesuai konteks. Namun ilmu memiliki kewajiban epistemik untuk mengajukan pertanyaan yang melampaui kegunaan setempat: apakah pengetahuan ini bisa menjelaskan fenomena yang lebih luas? Dapatkah diuji dalam lingkungan berbeda? Bagaimana kita membedakan antara praktik yang berhasil karena kebetulan dengan yang berhasil karena prinsip yang dapat dikenali dan ditransfer? Tanpa pertanyaan seperti ini, pengetahuan akan tetap bersifat partikular dan tidak pernah menjangkau potensi kolaborasi lintas ruang dan waktu.

Ketika ilmu dikritik karena gagal menjadi “kebijaksanaan praksis”, perlu ditegaskan bahwa ilmu tidak pernah menempatkan dirinya sebagai moralitas. Ilmu adalah sistem yang menyediakan cara memahami gejala, bukan sistem yang menetapkan bagaimana manusia harus hidup. Justru karena itu, ilmu membutuhkan keterlibatan nilai, politik, dan budaya dalam penerapan hasilnya. Namun, menyalahkan ilmu atas kegagalan teknokratik atau bencana ekologis adalah pengalihan tanggung jawab. Dalam banyak kasus, bukan ilmu yang gagal, melainkan sistem sosial dan politik yang menggunakan ilmu tanpa refleksi etis. Kesalahan manusia dalam menggunakan pengetahuan tidak bisa diubah menjadi dakwaan terhadap ilmu itu sendiri.

Klaim bahwa ilmu memaksa tahupat masuk ke laboratorium universal juga mengaburkan fakta bahwa banyak tahupat yang memilih tidak terbuka terhadap kritik luar. Ketika suatu komunitas menolak pertanyaan dari luar hanya karena si penanya tidak “mengalami langsung”, maka kita berhadapan bukan dengan bentuk perlindungan terhadap nilai, tetapi dengan bentuk isolasi epistemik. Keterbukaan terhadap kritik tidak menghapus konteks; justru akan memperkaya pengetahuan dengan cara menguji batas, mempertanyakan asumsi, dan memperluas cakrawala. Jika tahupat menutup diri terhadap pertanyaan, maka bukan tidak mungkin menjadikan dirinya tak tersentuh. Dan ini bertentangan dengan prinsip dasar dari segala bentuk pencarian pengetahuan.

Ilmu tidak menuntut pengakuan. Tetapai berkembang karena mekanismenya untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Teori-teori ilmu telah berubah secara radikal sepanjang sejarah karena ilmu membuka ruang bagi koreksi internal dan tantangan eksternal. Namun jika tahupat ingin berdialog dalam ruang bersama, maka perlu membuka dirinya terhadap kritik dan evaluasi intersubjektif. Tidak untuk menyerahkan diri, tetapi untuk membuktikan bahwa pada dirinya ada kesanggupan untuk berdiri dalam diskusi global bukan hanya karena berguna bagi komunitasnya, tetapi karena benar, dalam artian bisa dipahami lintas komunitas.

Ilmu sama sekali tidak menolak pluralitas, tetapi membedakan antara pluralitas pandangan dan relativisme tak terbatas. Tidak menuntut semua orang berpikir sama, tetapi meminta agar setiap bentuk klaim kebenaran dapat diuji, dibahas, dan dikembangkan dalam kerangka yang bisa dipahami bersama. Ini jelas bukan bentuk hegemoni, tetapi bentuk etika epistemik: pengakuan bahwa pengetahuan bukan hak milik, melainkan tanggung jawab kolektif umat manusia.

Dengan demikian, kritik terhadap ilmu yang menyebutnya terlalu universal, terlalu teknokratik, dan terlalu memaksa, sesungguhnya menunjukkan bahwa ilmu sedang diuji dengan standar yang bukan miliknya sendiri. Ilmu tidak akan pernah menjadi tahupat, dan tidak seharusnya menjadi demikian. Tetapi juga bukan musuh tahupat. Bisa dibilang sebagai mitra keras kepala yang bersedia mendengar, asalkan juga didengar. Dalam dunia yang saling terkait dan semakin rentan, kita tidak membutuhkan pengetahuan yang hanya berlaku di satu tempat. Kita membutuhkan pengetahuan yang bisa menjembatani perbedaan, menyaring kebenaran, dan mengarah pada tindakan bersama. Dan keterbukaan bukan hanya tugas ilmu, tetapi tugas setiap pengetahuan yang ingin menyebut dirinya bertanggung jawab.

Z:

Percakapan kali ini lebih panjang, karena Y, mendapatkan kesempatan untuk memberikan respon balik, setelah mendapatkan kritik balik dari X. Dengan uraian Y tersebut, sebenarnya telah makin jelas apa yang sebenarnya inti percakapan.

Kita dapat melihat bahwa percakapan antara ilmu modern dan tahupat dalam soal adaptasi dan resiliensi telah memunculkan dua posisi epistemologis yang sama-sama berakar pada visi etis yang kuat, namun berbeda dalam asumsi dasar mengenai apa itu pengetahuan, bagaimana pengetahun bekerja, dan untuk siapa pengetahuan berlaku. Kedua pihak menyampaikan argumen yang secara internal konsisten: ilmu berbicara atas nama objektivitas, akuntabilitas, dan keterbukaan intersubjektif; sementara tahupat berbicara atas nama keterlibatan, kedekatan, dan tanggung jawab kontekstual.

Namun ketika masing-masing mulai mempertahankan dirinya dengan bahasa pembenaran total, dialog yang mestinya membuka ruang pengertian justru berubah menjadi medan perbatasan epistemik. Di sinilah pandangan lain terasan perlu masuk menjadi bagian yang hidup dalam percakapan tersebut. Tentu saja bukan menjadi hakim yang mengadili, tetapi untuk menelaah secara jernih apa yang benar-benar dipertaruhkan.

Sebagaimana yang kita rasa sudah sering disampaikan bahwa substansi dari argumen ilmu bertumpu pada tuntutan bahwa pengetahuan harus dapat diuji secara terbuka, direproduksi oleh siapa pun, dan dipisahkan dari konteks partikular agar dapat menjangkau cakupan yang lebih luas. Pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara setempat, tetapi juga secara lintas-kultural dan lintas-temporal. Dalam posisi ini, ilmu bukan semata-mata kumpulan hasil, melainkan struktur metodologis yang mengizinkan dunia dibaca ulang terus-menerus, tanpa mengandalkan otoritas tradisi atau pengalaman terbatas. Kritiknya terhadap tahupat, yang dianggap terlalu terikat pada pengalaman, terlalu sulit diuji dari luar, dan terlalu tertutup terhadap evaluasi lintas konteks, muncul dari keprihatinan epistemik terhadap klaim yang tidak bisa dibawa ke ruang pembandingan bersama.

Sementara itu, tahupat menekankan bahwa kebenaran tidak selalu harus berlaku di mana-mana untuk menjadi sah. Pengetahuan yang tumbuh dari interaksi langsung dengan lingkungan, dari pengalaman yang dialami dan diwariskan, memiliki nilai bukan karena bisa dikonfirmasi oleh pihak luar, tetapi karena ia terbukti bermakna dan berguna dalam kehidupan komunitas yang menjalankannya. Dalam pandangan ini, ketepatan tidak terletak pada akurasi statistik, melainkan pada kesesuaian dengan siklus hidup, dengan tanda-tanda yang hanya muncul dalam keterlibatan, dan dengan relasi sosial yang tak dapat direduksi menjadi angka. Kritiknya terhadap ilmu lahir dari kesadaran bahwa cara tahu modern sering kali datang dengan pretensi netralitas yang justru mengabaikan nilai-nilai setempat, dan bahwa dalam banyak kasus, intervensi yang didorong oleh model ilmiah telah mengabaikan suara komunitas yang selama ini merawat lanskapnya dengan cara lain.

Di luar keduanya, kita melihat bahwa yang sedang terjadi bukan sekadar pertentangan antara dua cara berpikir, melainkan dua cara berada di dalam dunia. Pandangan ini telah pula disampaikan dalam percakapan yang lalu. Ilmu bekerja dengan cara mengambil jarak terhadap objek, demi membangun generalisasi. Tahupat bekerja dengan cara mendekat, melebur, dan menyelami. Keduanya sah sebagai strategi, tetapi masalah muncul ketika masing-masing mengklaim keunggulan total atas yang lain. Ketika ilmu mengatakan “semua harus diuji secara terbuka”, maka ilmu lupa bahwa tidak semua pengalaman bisa dikeluarkan dari tempatnya tanpa kehilangan makna. Dan ketika tahupat mengatakan “yang tahu adalah yang terlibat”, maka tahupat lupa bahwa keterlibatan pun bisa membatasi daya tinjau, dan menutup ruang kritik dari luar.

Yang perlu dikritisi dari keduanya adalah tendensi untuk menyederhanakan posisi lawan. Ilmu kerap menampilkan tahupat sebagai sistem yang irasional, mistik, atau terlalu partikular, padahal banyak tahupat memiliki struktur penalaran internal yang sangat kompleks, meskipun tidak dikemas dalam bentuk proposisi formal. Sebaliknya, tahupat sering menggambarkan ilmu sebagai instrumen kekuasaan yang menutup pluralitas, padahal sejarah ilmu juga dipenuhi dengan upaya merevisi dirinya sendiri, membuka ruang terhadap pendekatan partisipatif, dan mengembangkan metodologi transdisipliner yang menggabungkan data dengan narasi.

Dengan kata lain, problem mendasar dari kedua pihak adalah kecenderungan mempertahankan integritasnya dengan cara mengasingkan yang lain. Kita justru ingin mengusulkan agar keduanya meninggalkan posisi defensif dan mulai bertanya: apa yang bisa dibawa oleh masing-masing untuk memperkaya pemahaman kita terhadap dunia yang kompleks ini? Bukan semua bentuk pengetahuan harus dibawa ke laboratorium, dan bukan semua pengetahuan bisa dibiarkan hanya dalam kebijaksanaan setempat. Dunia saat ini menuntut kita untuk berpikir pada dua tingkat sekaligus: dalam dan luas. Kita perlu pengetahuan yang sensitif terhadap detail, tetapi juga sanggup membangun jejaring makna yang menjangkau lintas ruang dan waktu.

Kita percaya bahwa kebenaran tidak hanya hadir dalam bentuk angka dan grafik, juga tidak hanya hadir dalam ritus dan pengalaman. Kebenaran muncul ketika pengetahuan, apa pun bentuknya, digunakan untuk merawat kehidupan. Untuk itu, kita butuh ilmu yang rendah hati dan bersedia mendengar, serta tahupat yang terbuka untuk diuji, tidak dengan standar dominasi, tetapi dengan etika pertanggungjawaban. Kita butuh bahasa baru yang tidak bertanya “mana yang lebih benar?”, tetapi “bagaimana keduanya dapat bertemu, menguji diri, dan memperkuat daya tanggap kita terhadap dunia yang luka?”

Dunia tidak sedang kekurangan data, tetapi kekurangan kebijaksanaan. Dunia tidak sedang miskin teknologi, tetapi miskin kepekaan. Maka, kerja epistemik kita hari ini bukan memperkuat kubu, tetapi membangun ruang lintas di mana berbagai cara tahu bisa saling menguatkan tanpa kehilangan integritasnya. Sebab pada akhirnya, pengetahuan bukan hanya soal benar atau salah, melainkan soal apa yang dapat menyelamatkan kehidupan. [Desanomia – 8.5.25 – TM]

One thought on “Dialog (9)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *