Istilah dolanan memang terasa berasal dari salah suku. Masing-masing daerah tentu punya istilah sendiri-sendiri dan bisa jadi memiliki makna yang tidak persis sama. Barangkali itulah kenyataan dari pengetahuan lokal atau yang ingin kita sebut di sini sebagai pengetahuan desa. Apa yang akan kita bahas di sini, tentu bukan istilah, akan tetapi tentang permainan anak-anak. Soalnya, apakah mainan lama dapat dihadirkan kembali? Atau mengapa mainan lama tetap tinggal “di sana” dan gagal hadir (terus) di masa kini? Apa yang terjadi, dan bagaimana memahaminya?
Pantulan Realitas
Jika kita kembali ke masa lalu, dan bertemu kembali dengan aneka dolanan anak-anak, maka akan ditemukan suatu kenyataan bahwa memang setiap wilayah dan komunitas, memiliki permainan yang berbeda satu sama lama, dan tidak jarang yang relatif sama. Mungkin dengan nama yang berbeda, akan tetapi dengan bentuk yang sama. Tampaknya, terjadi penyebaran ide permainan. Ada yang bisa diterima dan berkembang, dan ada yang tidak diterima, karena tidak kompatibel dengan realitasnya – baik realitas sosial maupun realitas ekologi setempat.
Pernyataan terakhir tersebut, sesungguhnya hendak menggambarkan kenyataan bahwa mainan anak-anak tidak dapat dilepaskan dari ruang adanya. Jika anak-anak tidak lagi bisa berenang di kali, bukan karena mereka enggan atau merasa berenang merupakan kegiatan klasik, melainkan karena kali telah tidak ada, baik karena pendangkalan ataupun karena telah berubah fungsi: lokasi pembuangan sampah. Mainan anak-anak dengan demikian adalah cermin langsung atas realitasnya.
Kisa bisa ambil contoh yang lain, seperti bermain kelereng (gundu, “neker”, atau nama lainnya): mungkinkan anak-anak kembali bermain kelereng jika ruang terbuka telah berubah menjadi bangunan, jalan atau fasilitas umum lainnya? Permainan tersebut, sebenarnya merupakan sarana anak-anak untuk bersentuhan langsung dengan tanah, mengenal struktur tanah dan kesesuaiannya dengan apa yang dimainkannya. Tidak hanya itu: tidak mungkin permainan dilakukan ditengah hujan deras dan genangan air dimana-mana.
Contoh yang lain adalah permainan gobak sodor. Suatu jenis permainan sederhana, yakni menjaga zona atau menghalangi lawan untuk mencapai atau melewati garis yang ditentukan. Permainan ini tidak hanya mengandalkan siasat dan kecepatan gerak. Akan tetapi juga membutuhkan ruang, dan jumlah. Artinya tidak bisa dimainkan satu orang. Dari situ jelas bahwa mainan tersebut hanya mungkin dimainkan jika di tempat tersebut terdapat sejumlah anak-anak. Artinya, berlangsungnya permainan tersebut, memberi tanda populasi anak di daerah tersebut.
Dari beberapa contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa permainan anak tidak sekedar suatu permainan, melainkan suatu aktivitas yang pada dirinya terdapat jejak sosial, jejak ruang ekologi setempat. Bahkan, jejak ketersediaan. Sebagai contoh, permainan anak-anak yang menggunakan pelepah daun kelapa, atau mainan yang dibuat dari kulit buah jeruk, dan lain-lain. Mainan anak-anak ada respon atas kenyataan tersebut.
Edukasi Sosial-Ekologi
Bagaimana cara mengajarkan kepada anak-anak bahwa pikiran dan tubuh, bukan sesuatu yang saling terpisah. Bagaimana mengajarkan kepada anak-anak bahwa “berpikir” tidak selalu dengan otaknya, akan tetapi juga dengan “tubuh”nya. Bagaimana mengajarkan pada anak-anak bahwa dirinya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan sosial dan ekologinya? Bagaimana mengajarkan pada anak-anak bahwa keutuhan dirinya sebagai pribadi tidak terletak pada dirinya sendiri, akan tetapi pada kehadirannya di tengah-tengah realitas tersebut?
Tentu saja hal tersebut sangat sulit untuk dijawab. Dalam batas-batas tertentu, kita bisa menyaksikan bahwa komunitas desa atau komunitas “tradisi” telah mengembangkan metode edukasi yang mungkin jarang sekali dieksplorasi. Yakni edukasi melalui permainan. Edukasi melalui pengalaman, persentuhan dengan realitas ekologi setempat dan bagaimana anak-anak dihadapkan pada masalah-masalah yang dikonstruksinya sendiri dalam suatu permainan.
Sebagai contoh: Permainan seperti bakiak atau egrang menuntut keseimbangan, ritme, dan kepekaan terhadap gerak tubuh sendiri dan orang lain. Sementara dalam permainan seperti petak umpet, dapat dikatakan sebagai wahan mengasah kesadaran spasial — bagaimana tubuh harus bersembunyi, bergerak diam-diam, dan memahami ruang melalui intuisi. Pada sisi yang lain, dalam bermain layang-layang, anak-anak belajar mengenali arah angin, ruang dan keadaan sekeliling. Dan banyak lagi contoh yang dapat diajukan untuk memperlihatkan bagaimana pembelajaran terselenggara.
Apa yang hendak diungkapkan di sini adalah bahwa mainan anak-anak tidak hanya sekadar sarana hiburan, melainkan ruang edukasi dan ruang eksistensial yang memungkinkan anak untuk memahami, mengalami, dan menyatukan berbagai dimensi kemanusiaannya — pikiran, tubuh, dan lingkungan sosial-ekologisnya. Karena itu, ketika permainan lama hilang dan digantikan dengan permainan baru, maka yang terjadi bukan hanya tentang apa yang datang dan apa yang pergi, melainkan terjadinya perubahan sosial dan perubahan ruang ekologi setempat.
Kembali: Nyata atau Ilusi?
Dalam situasi yang demikian, entah atas alasan romantik, alasan kesadaran ekologi, atau alasan lain, biasanya muncul rasa ingin mengembalikan “kejayaan” dolanan anak. Ada yang secara terbatas membuat ruang bagi dolanan. Ada pula yang mendorong menjadi program pemerintah. Atau inisiatif lain. Kita tentu menghargai setiap maksud baik. Lebih-lebih jika punya dampak pada perbaikan kualitas hidup manusia dan kemanusiaannya. Masalahnya, apakah langkah tersebut akan sampai ke tujuan ataukah berhenti sebagai suatu kampanye budaya?
Jika kita kembali kepada keberadaan dolanan anak yang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan realitas sosial budaya dan realitas sosial-ekologi, maka menghadirkan kembali dolanan anak pasti bukan masalah sederhana. Dolanan anak yang dapat dikatakan adalah produk dari interaksi komunitas dan realitas hidupnya, membuat segala upaya menghidupkan kembali, yang tidak ditopang dengan keadaan tidak akan sulit atau bahkan tidak mungkin.
Apa yang dibutuhkan adalah kesadaran penuh kaitan antara dolanan dan keadaan yang memungkinkannya. Ketiadaan ruang terbuka, paradigma pendidikan yang makin menjauhkan anak-anak dari “dunia bermain”, perubahan dalam tata ruang, dan berbagai hal lain, merupakan realitas yang makin tidak dimungkinkannya anak-anak bermain dengan permainan lama. Artinya menghadirkan dolanan anak sama artinya dengan langkah rekonstruksi atas realitas yang telah berubah – sebagaimana maksud dari ide kemajuan.
Kini anak-anak telah makin terintegrasi dengan pengetahuan yang tidak membutuhkan pengalaman dan persentuhan langsung. Bahkan teknologi telah berupaya menggantikan pengalaman sosial dan pengalaman ekologi dengan teknologi yang mampu menggabungkan antara “dunia nyata” dan konten digital. Teknologi menjanjikan pengalaman virtual dan berbagai bentuk produk baru, yang berupanya mendekatkan anak-anak dengan dunia riil yang telah makin tidak terjangkau.
Kesemuanya ini memperlihatkan bahwa upaya mengembalikan dolanan anak, tidak akan sampai jika tanpa disertai perubahan yang lebih mendasar. Di titik ini, kita mungkin masih bisa berharap pada desa. Apa maksudnya? Yakni ketika desa dapat berkembang dengan kesadaran sosio-ekologi. Dengan kesadaran tersebut, desa akan menghadapi laju perubahan prinsip bahwa keberlanjutan merupakan keharusan sejarah. Jika proses tersebut dapat terselenggara maka kita bisa optimis bahwa pada nantinya desa dapat menjadi rumah bagi dolanan anak-anak. [Desanomia – 22.3.25 – TM]