sumber ilustrasi: unsplash
16 Apr 2025 21.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [16.4.2025] Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal pertama 2025 mencatatkan kinerja di atas ekspektasi, didorong oleh konsumsi dan output industri yang kuat. Namun, para pengambil kebijakan kini menghadapi ancaman besar dari kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat yang diprediksi akan menjadi guncangan perdagangan terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Data resmi menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) China tumbuh sebesar 5,4% pada periode Januari-Maret dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka tersebut melampaui proyeksi konsensus sebesar 5,1% dalam jajak pendapat Reuters dan menyamai pertumbuhan pada kuartal keempat tahun lalu. Secara kuartalan, ekonomi tumbuh sebesar 1,2%, sedikit melambat dibandingkan dengan pertumbuhan 1,6% pada kuartal sebelumnya.
Pertumbuhan yang solid ini ditopang oleh stimulus pemerintah yang meningkatkan konsumsi masyarakat serta memperkuat investasi. Kenaikan penjualan ritel sebesar 5,9% dan percepatan output industri sebesar 7,7% pada Maret menjadi indikator utama pulihnya aktivitas ekonomi domestik. Lonjakan permintaan terhadap barang-barang elektronik rumah tangga dan furnitur, didukung oleh skema perdagangan barang konsumen yang diluncurkan pemerintah, turut memperkuat performa sektor konsumsi.
Namun demikian, tantangan besar datang dari luar negeri. Presiden AS Donald Trump kembali menaikkan tarif barang-barang asal China hingga 145%, sebagai bagian dari eskalasi perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia. Beijing merespons dengan tarif balasan hingga 125% atas produk-produk asal Amerika Serikat dan mengecam langkah tersebut sebagai “lelucon.” Ketegangan perdagangan ini meningkatkan ketidakpastian di pasar global dan menimbulkan kekhawatiran akan potensi terjadinya resesi global.
Para analis menilai bahwa pertumbuhan kuat di awal tahun ini bisa menjadi awal yang menipu, mengingat lonjakan ekspor pada Maret sebagian besar dipicu oleh percepatan pengiriman untuk menghindari dampak tarif baru. Seiring mulai berlakunya kebijakan tarif penuh dalam waktu dekat, kinerja ekspor diperkirakan akan terpukul tajam, memberikan tekanan tambahan pada perekonomian China di sisa tahun ini.
Prospek Pertumbuhan Suram di Tengah Ketidakpastian Global
Meskipun data kuartal pertama mencerminkan momentum positif, para analis memperkirakan perlambatan di kuartal-kuartal berikutnya akibat tekanan ekspor yang makin besar. Lonjakan ekspor pada bulan Maret dinilai bersifat sementara, dipicu oleh strategi pabrik-pabrik Tiongkok yang mempercepat pengiriman barang guna menghindari dampak tarif baru dari Amerika Serikat. Kenaikan ekspor ini diprediksi akan berbalik arah dalam beberapa bulan ke depan seiring mulai berlakunya tarif tinggi secara penuh.
UBS bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok untuk tahun 2025 dari 4% menjadi 3,4%, dengan asumsi bahwa kenaikan tarif dari Amerika Serikat akan tetap berlaku dan pemerintah Tiongkok harus menggulirkan stimulus tambahan guna meredam dampaknya. Dalam catatannya, UBS menyebut bahwa “guncangan tarif akan memaksa penyesuaian besar dalam ekonomi domestik,” mengindikasikan bahwa tantangan ini bukan hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga menyentuh struktur ekonomi secara menyeluruh.
Tekanan lainnya berasal dari sektor properti yang terus mengalami kontraksi tajam. Investasi properti anjlok 9,9% secara tahunan dalam tiga bulan pertama 2025, memperpanjang penurunan sebesar 9,8% yang tercatat pada Januari-Februari. Kondisi pasar properti juga tidak menunjukkan perbaikan, dengan harga rumah baru pada bulan Maret tercatat stagnan tanpa adanya kenaikan bulanan. Sektor ini, yang sebelumnya menjadi pendorong utama pertumbuhan, kini menjadi beban berat dalam pemulihan ekonomi nasional.
Di tengah tekanan global dan domestik, pemerintah Tiongkok menyatakan masih memiliki ruang kebijakan yang luas untuk merespons perlambatan. Perdana Menteri Li Qiang menjanjikan peluncuran stimulus tambahan dalam waktu dekat, dengan konsumsi ditetapkan sebagai prioritas utama dalam strategi ekonomi tahun ini. Pemerintah juga berencana meningkatkan peran belanja fiskal sebagai alat penyangga, sembari mendorong efisiensi stimulus agar tepat sasaran.
Langkah-langkah stimulus terbaru termasuk peningkatan defisit anggaran dan pelonggaran kebijakan moneter, yang sebelumnya telah dilakukan pada akhir tahun lalu. Namun, lembaga pemeringkat internasional Fitch baru-baru ini menurunkan peringkat kredit Tiongkok, dengan alasan meningkatnya utang pemerintah dan risiko terhadap kesehatan fiskal negara. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ruang kebijakan masih tersedia, pemerintah harus berhati-hati dalam menyeimbangkan antara kebutuhan jangka pendek dan keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Buah Pikiran
Kinerja impresif ekonomi China pada awal 2025 memberikan sinyal positif terhadap efektivitas stimulus fiskal dan moneter dalam menstabilkan pertumbuhan. Namun, angka-angka tersebut harus dibaca dengan kewaspadaan karena kondisi eksternal, terutama eskalasi perang dagang dengan Amerika Serikat, menempatkan China pada posisi yang sangat rentan. Ketergantungan pada ekspor serta tekanan dari sektor properti dan deflasi domestik menunjukkan bahwa fondasi pertumbuhan masih rapuh.
Ke depan, pemerintah China perlu mengalihkan fokus dari sekadar menjaga pertumbuhan jangka pendek menuju penguatan daya saing domestik jangka panjang. Reformasi struktural seperti diversifikasi ekonomi, transformasi industri, serta peningkatan perlindungan sosial bagi masyarakat perlu diakselerasi untuk menghadapi dinamika ekonomi global yang semakin tidak menentu. Dalam konteks ini, arah kebijakan China dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi penentu utama apakah negara ini dapat mempertahankan perannya sebagai motor utama ekonomi dunia. (NJD)
Sumber: reuters