sumber ilustrasi: freepik
Oleh: Pandu Sagara
8 Mei 2025 11.45 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ada “rasa” yang makin hari makin terasa, yakni bahwa pembangunan desa, sedang bergerak, bukan membuat desa mampu membangun desanya, melainkan suatu gerak pembangunan yang dapat dikatakan sebagai gerak mentransformasikan desa menjadi kota. Alih-alih memulihkan kota untuk menemukan kembali asal-usulnya, sebagai tempat yang berada dalam realitas ekologi, sebaliknya justru menutup ruang kemungkinan bagi desa untuk bertahan. Apa yang makin jelas adalah mengintegrasikan seluruh keberadaan desa dalam ekonomi yang mencerabut desa dari realitas sosio-ekologinya, dan dengan itu, membuat desa tidak punya pilihan lain kecuali bertransformasi menjadi kota. Oleh sebab itulah, pertanyaan tentang apakah mungkin membangun ekonomi desa berlanjutan? Ekonomi yang sepenuhnya bersandar pada realitas sosio-ekologinya, dan dengan demikian gerak ekonomi bersifat regeneratif dan tidak bersifat “destruktif” terhadap tempatnya bermukim.
***
Hal yang tidak bisa dinegasikan keberadaannya adalah bahwa di tengah pusaran perubahan iklim global, krisis lingkungan yang kian meruncing, serta ketimpangan sosial-ekonomi yang terus menganga, desa-desa di Indonesia berdiri pada sebuah titik kritis. Di satu sisi, desa menyimpan potensi ekologis, budaya, dan sosial yang luar biasa. Di sisi lain, desa seperti “terjebak” sebagai wilayah yang paling rapuh, paling terdampak, sekaligus paling terabaikan dalam arus besar pembangunan nasional. Ketergantungan desa pada pembiayaan dari luar adalah saksi utamanya. Apa yang terjadi adalah momen dimana pendekatan pembangunan yang didominasi oleh logika industrialisasi dan eksploitasi sumber daya, telah membawa desa ke dalam pusaran sistem yang mengorbankan keberlanjutan demi pertumbuhan jangka pendek. Akibatnya, banyak desa mengalami degradasi lingkungan, krisis air bersih, kerusakan tanah, serta ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap pusat-pusat urban dan struktur pasar global yang timpang.
Selama ini, sebagaimana telah disebutkan di awal, pembangunan desa disederhanakan sebagai proyek modernisasi yang dengan itu, desa tengah diformasi bergerak meniru kota. Infrastuktur fisik dibangun, tetapi infrastruktur sosial dan ekologis dibiarkan rapuh. Pola ini menciptakan situasi paradoks: desa yang kaya akan sumber daya justru mengalami kemiskinan struktural. Sumber daya alam dikeruk oleh industri besar tanpa ada mekanisme pembagian manfaat yang adil kepada masyarakat desa. Penduduk desa kehilangan kontrol atas tanah, air, dan segala sumber kemakmuran mereka sendiri. Mereka menjadi buruh di atas tanahnya sendiri, tergantung pada harga pasar dan kebijakan yang ditentukan dari luar komunitasnya. Desa tidak lagi menjadi tempat tinggal yang bermartabat, melainkan hanya sebagai unit produksi dalam mata rantai akumulasi yang panjang.
Tentu saja kita tidak boleh tinggal diam. Masalah ini, bukan saja berbahaya bagi desa, namun juga bagi bangsa sendiri. Oleh sebab itulah, pandangan yang datang dari spirit pemberdayaan perlu mendapatkan ruang kesempatan. Bahkan mungkin membentuk ruang kesempatan itu sendiri. Desa tidak selayaknya diposisikan sebagai subyek pasif yang menunggu intervensi. Desa harus ditempatkan sebagai ruang hidup yang memiliki nalar, pengalaman, dan praktik tersendiri dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Desa menyimpan memori panjang tentang cara-cara hidup yang selaras dengan ekosistem. Tradisi bertani yang mengenal rotasi tanam, penggunaan pupuk alami, pemeliharaan hutan larangan, hingga upacara adat untuk menghormati siklus alam adalah bentuk-bentuk kearifan ekologis yang sudah lama terbukti keberlanjutannya. Harus diakui bahwa warisan pengetahuan ini kini tersisih oleh narasi-narasi utama modernisasi yang menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya ukuran kemajuan. Bahkan, melalui perlengkapan yang ada, cara berpikir “bermukim”, telah hampir sepenuhnya digantikan cara berpikir, yang tidak lagi sanggup melihat potensi besar pada dirinya sendiri.
Apa yang kini makin dibutuhkan. Tentu bukan sekadar pembangunan di desa dengan nalar yang asing bagi desa sendiri, melainkan pembalikan cara pandang tentang ekonomi dan kehidupan. Kita memerlukan ekonomi yang bermukim. Yakni ekonomi yang berakar pada tempat, pada lanskap ekologis, dan pada relasi sosial yang hidup. Ekonomi bermukim bukanlah gagasan nostalgia tentang masa lalu, melainkan visi masa depan yang radikal dan mendalam: suatu model ekonomi yang mengakui keterikatan manusia dengan tanahnya, memulihkan relasi komunitas dengan ruang hidupnya, serta mengedepankan regenerasi ekologi dan sosial sebagai prinsip utama. Dalam ekonomi bermukim, desa tidak diposisikan sebagai pemasok komoditas untuk kebutuhan eksternal, tetapi sebagai pusat kehidupan yang mandiri, resilien, dan penuh martabat.
Membangun ekonomi desa berkelanjutan berarti memulai dari penguatan ruang hidup komunitas. Ini mencakup kedaulatan atas tanah, air, dan benih; pengakuan atas sistem pengetahuan lokal; serta ruang politik untuk menentukan arah pembangunan secara otonom. Setiap desa memiliki lanskap dan sejarah yang berbeda, dan karena itu pembangunan harus bersifat situasional. Desa di dataran tinggi dengan ladang-ladang curam tidak bisa disamakan kebutuhannya dengan desa pesisir yang menggantungkan hidup dari laut. Pembangunan universal berbasis cetak biru tunggal akan selalu gagal memahami keragaman dan kerentanan lokal. Kesemuanya ini merupakan langkah awal untuk agar desa menyadari sepenuhnya apa potensi yang dimilikinya, dan sekaligus memandang “ke depan”, apa yang paling mungkin, dan kemungkinan tersebut tetap dalam koridor menjaga dan terus meregenerasi lingkungan.
Dalam kerangka ekonomi ini, suatu keberlanjutan tidak hanya diukur dari konservasi sumber daya, tetapi juga dari keseimbangan kehidupan sehari-hari. Apakah anak-anak bisa tumbuh sehat dari hasil kebun keluarga? Apakah perempuan desa memiliki ruang untuk berproduksi tanpa tereksklusi dari proses ekonomi? Apakah warga bisa mengakses air tanpa harus menggali hingga puluhan meter? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih bermakna daripada indeks makroekonomi yang kerap tidak menyentuh realitas hidup. Ekonomi bermukim meletakkan kesejahteraan sebagai pengalaman hidup yang konkret, bukan sekadar statistik pembangunan.
Langkah nyata menuju ekonomi desa berkelanjutan adalah reorientasi kebijakan publik yang berpihak pada kehidupan desa. Negara tidak boleh menjadi etatis, melainkan pelindung ruang hidup komunitas. Dana pembangunan harus diarahkan untuk mendukung inisiatif lokal yang berbasis agromaritim-ekologi, perikanan tangkap berkelanjutan, energi terbarukan skala kecil, serta ekonomi desa berbasis solidaritas. Pelatihan dan pendidikan harus mencetak generasi muda desa yang tidak alergi terhadap tanah, tetapi mencintainya sebagai sumber kehidupan. Teknologi harus bersifat adaptif dan kontekstual, bukan mendatangkan mesin-mesin besar yang menggusur buruh tani dan merusak tanah.
Pada titik inilah perlu ditegaskan bahwa ekonomi desa berlanjutan bukan ekonomi ekslusif, melainkan ekonomi inklusif. Oleh sebab itu, pembangunan desa perlu tetap berseiring dengan meningkatnya kapasitas desa dalam masalah keuangan. Upaya literasi keuangan inklusi amat perlu ditingkatkan. Hal ini tidak saja dalam kerangka kepentingan desa itu sendiri, agar punya akses finansial yang memadai, dan agar ruang pembiayaan informal yang mencekik makin terbatas dan pada akhirnya hilang, akan tetapi juga agar dalam kerangka negara, ekonomi informal bertransformasi menjadi ekonomi formal secara elegan. Sebagaimana kita ketahui, dalam hal keuangan, masalah lingkungan juga telah tidak terhindarkan untuk menjadi muatan dan orientasi.
Jika semua telah dilewati, maka tidak ada salahnya untuk untuk membangun jejaring antardesa sebagai bentuk solidaritas horizontal. Desa-desa yang sudah berhasil membangun kemandirian pangan dan energi dapat menjadi pusat pembelajaran bersama. Untuk dijiplak atau diduplikasi, melainkan menjadi cermin pembelajaran bersama. Ini menciptakan ekosistem inovasi yang tidak bergantung pada satu titik, melainkan berkembang dari bawah dan dari jaringan. Jejaring ini juga bisa memperkuat posisi tawar desa dalam membangun kemungkinan bagi suatu kerjasama dengan korporasi dan kekuatan ekonomi lain, dalam kesamaan tujuan dalam membangun kehidupan yang lebih makmur, lebih baik dan lebih bermartabat.
Ekonomi desa berkelanjutan pada akhirnya adalah jalan untuk mengembalikan otonomi desa sebagai komunitas yang berdaulat atas kehidupannya sendiri. Ini adalah proses yang mengundang dialog dengan struktur dominan yang selama ini menempatkan desa sebagai pinggiran. Ini juga adalah proses ekologis yang menumbuhkan kembali rasa hormat terhadap tanah, air, dan udara sebagai mitra kehidupan. Dalam zaman yang ditandai dengan krisis iklim dan disintegrasi sosial, ekonomi bermukim adalah satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak merusak kehidupan, tetapi memperkuatnya.